Bocoran Nasionalisme Presiden Terpilih

Sartana
Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
21 Mei 2024 7:14 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sartana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengamankan sumber daya alam Indonesia. Sumber : gambar dibuat penulis dengan microsoft designer
zoom-in-whitePerbesar
Mengamankan sumber daya alam Indonesia. Sumber : gambar dibuat penulis dengan microsoft designer
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menarik menyimak pernyataan presiden terpilih, Prabowo Subianto, di acara Bimtek dan Rakornas PAN di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (9/5). Dalam kesempatan itu, Prabowo Subianto menyampaikan bahwa tujuan dia bekerja sebagai presiden adalah untuk mengamankan kekayaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Narasi tentang mengamankan kekayaan Indonesia ini bukan yang pertama kali dia sampaikan. Dalam kampanye-kampanye pemilihan presiden sebelumnya, mulai dari tahun 2014, 2019 hingga tahun 2024, dia secara konsisten menarasikan isu itu.
Istilah “bocor” merupakan salah satu istilah berulang ia gunakan untuk menggambarkan banyaknya kekayaan Republik Indonesia yang diambil oleh pihak asing. Bahkan, dalam satu kesempatan, ia menyatakan bangsa Indonesia hanya menikmati satu persen saja dari kekayaan alam Indonesia.
Prabowo mengatakan bahwa masalah tersebut bersifat sistemik, dan terus berlangsung. Menurutnya, pengurasan kekayaan alam oleh asing itu belum terselesaikan hingga kini, karena pengelola negara tidak setia kepada cetak biru rancang bangun negara Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, yang dibuat oleh pendiri bangsa.
Sangat mungkin bahwa yang dia maksud adalah Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
ADVERTISEMENT
Dengan melihat konsistensi Prabowo Subianto dalam mengemukakan narasi tentang 'mengamankan kekayaan alam Indonesia' dalam berbagai kesempatan, kita dapat memprediksi bahwa gagasan dan narasi tersebut akan menjadi landasan dan arah kebijakan pemerintahan mendatang terkait pengelolaan sumber daya alam.
Dalam kajian kebangsaan, narasi yang disampaikan oleh Prabowo sering dilabeli sebagai nasionalisme sumber daya (resource nationalism). Istilah nasionalisme sumber daya ini digunakan untuk merujuk situasi, gagasan, atau semangat yang dimiliki oleh masyarakat atau pemerintah untuk mengambil alih kontrol atas sumber daya alam yang ada di wilayah mereka, biasanya karena pertimbangan strategis dan ekonomi (Richard Mills, 2011).
Bagi bangsa-bangsa atau perusahaan yang meraup keuntungan melalui eksploitasi sumber daya alam di negara lain, mereka cenderung menganggap nasionalisme sumber daya alam sebagai hal yang merugikan. Bahkan, nasionalisme dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan mereka. Anggapan ini muncul karena nasionalisme bisa dianggap menghambat investasi serta mengganggu tata niaga global, terutama dalam hal ketersediaan bahan baku untuk industri.
ADVERTISEMENT
Namun, bagi bangsa pemilik sumber daya alam, nasionalisme sumber daya alam justru dianggap sebagai sesuatu yang positif. Bahkan, bagi mereka nasionalisme tersebut harus diperkuat dan dipertahankan. Itu terjadi karena nasionalisme tersebut berkaitan erat dengan kelangsungan hidup dan kesejahteraan bangsa bersangkutan.
Sebagai contoh, Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam. Namun, dalam sejarah yang panjang sejak kedatangan penjajah ke Indonesia pada akhir abad ke-16, kekayaan alam Indonesia dieksploitasi dan dimanfaatkan sebagai mesin ATM bagi negara-negara penjajah seperti Belanda, Portugis, Inggris, dan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, bangsa Indonesia juga tidak sepenuhnya menguasai dan mendapatkan manfaat dari sumber daya alamnya. Kebijakan Soekarno untuk menasionalisasi aset-aset nasional dan menjaga kekayaan alam dari tangan-tangan asing akhirnya terhenti ketika dia berhenti menjabat sebagai presiden. Pada masa Orde Baru, ketika ekonomi Indonesia diarsiteki oleh Mafia Berkeley, perusahaan-perusahaan asing kembali mengeksploitasi kekayaan alam di Indonesia (Fikri dan Hasudungan, 2021).
ADVERTISEMENT
Pada masa reformasi dan setelahnya, terlihat bahwa arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak mengalami perubahan yang signifikan. Eksploitasi alam secara besar-besaran oleh perusahaan asing tetap berlanjut.
Dalam perjalanannya, kebijakan-kebijakan populis dibuat oleh pemerintah bersama elit politik terkait kedaulatan sumber daya alam, terutama menjelang pemilihan umum. Namun,pada saat yang sama, pemerintah juga secara agresif mengundang investor asing untuk mengeksploitasi kekayaan alam di Indonesia.
Sehingga terlihat kurang jelas kedaulatan sumber daya alam seperti apa yang ingin dipraktekan pemerintah. Sekilas, yang terlihat, program nasionalisasi sumber daya alam itu akhirnya hanya semacam perpindahan kepemilikan saja, termasuk perubahan kelompok elit yang mereguk untung dari pengelolaan sumber daya alam tersebut.
Oleh karena itu, ketika Prabowo menyatakan bahwa mereka akan menjadikan gagasan 'mengamankan kekayaan alam Indonesia' sebagai visi utama pengelolaan sumber daya alam Indonesia, hal itu sungguh luar biasa. Luar biasa karena ia cenderung berbeda dengan narasi yang ditekankan oleh pemimpin sebelumnya, kecuali Soekarno. Selain itu, ia juga karena memerlukan keberanian besar untuk mewujudkannya.
ADVERTISEMENT
Keberanian itu dibutuhkan karena dengan kebijakan tersebut, Indonesia menghadapi risiko ditinggalkan oleh investor asing. Sementara bangsa Indonesia sendiri tampaknya belum sepenuhnya siap untuk mengelola kekayaan alamnya secara mandiri.
Jika seandainya Indonesia berhasil mengolah sumber daya alamnya, untuk memasarkan hasil olahan tersebut juga tidak mudah. Karena negara atau perusahaan-perusahaan asing yang memiliki kepentingan terhadap sumber daya alam Indonesia juga tidak tinggal diam.
Mereka tentu akan melakukan beragam upaya untuk menghambat proses nasionalisasi aset tersebut. Kita bisa ambil contoh kasus hilirisasi nikel di Indonesia. Usaha nasionalisasi nikel itu juga berusaha dijegal oleh pihak asing, misalnya Uni Eropa berusaha menghentikan progam itu dengan menggugatnya ke WTO (World Trade Organization).
Penguasaan sumber daya alam oleh sekelompok elit menyebabkan ketimpangan sosial dan ekononomi. Sumber : Gambar dibuat penulis menggunakan microsoft designer.
Itu satu soal. Soal lainnya adalah makna “mengamankan sumber daya alam” pun juga belum cukup jelas. Ia dapat diinterpretasikan secara beragam. Bisa jadi 'mengamankan sumber daya alam' itu bukan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan, namun hanya diamankan sekedar untuk kemakmuran segelintir elit.
ADVERTISEMENT
Adanya sistem dinasti dan oligarki politik, juga ketimpangan sosial ekonomi di Indonesia yang masih umum dalam sistem sosial di Indonesia, cenderung mengindikasikan bahwa ‘pengamanan’ sumber daya alam itu hanya akan menggelembungkan pundi-pundi kelompok elit dan mereka yang berafiliasi dengan kekuasaan.
Ini misalnya dapat dilihat dari ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia. Laporan Oxfam tahun 2017 menyebutkan bahwa empat orang terkaya di Indonesia memiliki jumlah kekayaan yang lebih besar dibandingkan dengan gabungan kekayaan dari 100 juta orang termiskin.
Ketimpangan di Indonesia itu juga sudah berlangsung lama. Menurut laporan The Inequality Report tahun 2022, selama lebih dari satu 100 tahun terakhir, mulai dari tahun 1900 hingga 2021, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 40-50 persen dari total pendapatan nasional. Sementara itu, dalam periode yang sama, 50 persen penduduk terbawah hanya menguasai 12-18 persen dari total pendapatan nasional.
ADVERTISEMENT
Secara khusus, laporan tersebut juga menunjukkan bahwa dalam periode 2001-2021, 50% dari penduduk Indonesia hanya menguasai kurang dari 5% dari total kekayaan rumah tangga nasional. Berbagai data ini menunjukan bahwa distribusi hasil pengelolaan kekayaan alam Indonesia masih terkonsentrasi pada kelompok elit, sementara sebagian masyarakat hanya mendapatkan remah-remahnya.
Sebagai warga masyarakat, tentu kita tidak ingin melihat praktik ketidakadilan demikian terus terjadi. Sebaliknya, kita berharap hasil pengelolaan sumber daya alam Indonesia oleh presiden terpilih akan didistribusikan secara adil dan merata kepada seluruh rakyat. Kami yakin Prabowo, sebagai presiden, akan memilih jalan keadilan ini dan melaksanakannya, karena dia adalah pemimpin untuk rakyat sebagaimana yang berulang kali ia sampaikan dalam kampanye.
Sartana, M.A.
ADVERTISEMENT
Dosen Psikologi Sosial di Universitas Andalas