Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Dunia Baru dan Publik yang Tumpul Rasa
16 September 2024 9:43 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Sartana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Manusia menciptakan teknologi dan teknologi menciptakan manusia. Terhadap proses yang pertama, kita dapat dengan gampang mengamati dan memahaminya. Namun, terhadap proses yang kedua, kadang kita kesulitan untuk mengidentifikasi dan menjelaskannya.
ADVERTISEMENT
Kita dapat dengan mudah mengenali dan mengetahui kemunculan berbagai macam teknologi baru di sekitar kita. Mulai dari teknologi transportasi, telekomunikasi, hiburan dan yang lainnya.
Namun, dampak kehadiran teknologi tersebut pada kehidupan kita, kerap kali sulit untuk kita tangkap dan jelaskan. Terutama dampak kehadiran teknologi terhadap kondisi psikososial masyarakat. Kita seringkali hanya dapat menerka-nerka saja dampak teknologi itu.
Misalnya, soal dampak internet dan media sosial terhadap mentalitas dan perilaku masyarakat. Kita sulit untuk membuat penjelasan yang akurat tentangnya. Tulisan ini juga hanya terkaan penulis terhadap dampak internet dan media sosial tersebut.
Kita tahu, bahwa hadirnya internet telah melahirkan dunia baru, sehingga dunia seolah terbelah dua: dunia nyata dan ruang maya atau digital. Dan perubahan dunia itu membawa konsekuensi terhadap kondisi psikososial masyarakat. Salah satunya adalah ia dampak terhadap tingkat kepekaan afektif masyarakat.
ADVERTISEMENT
Internet dan media sosial perlahan menumpulkan kepekaan kita. Kita semakin kurang peka secara emosi, moral, maupun sosial terhadap berbagai hal yang sebelumnya kita peduli dengannya. Teknologi ini membuat kita semakin abai terhadap lingkungan sekitar. Perhatian dan empati kita memudar. Kita menjadi semakin acuh. Keterlibatan kita terhadap berbagai peristiwa yang ada pun cenderung dangkal, sekadar berpikir tanpa rasa, dan hanya berlangsung sementara.
Dalam kehidupan sehari-hari, gejala tumpul rasa dapat muncul pada berbagai situasi. Misalnya, hal ini terlihat ketika kita terpapar berita kematian atau berita duka lainnya. Kita cenderung memberikan reaksi yang datar terhadap berita-berita tersebut. Meskipun kita menyampaikan ucapan duka kepada pihak yang berduka, seringkali ucapan itu terasa lebih mekanis daripada tulus.
ADVERTISEMENT
Ketika kita dihadapkan pada tragedi hidup lainnya, reaksi kita pun tidak jauh berbeda. Misalnya, saat melihat kematian puluhan atau ratusan orang di belahan dunia lain, atau bahkan di sekitar kita, kita cenderung merasa biasa saja. Kita tidak lagi merasakan duka yang mendalam. Peristiwa tersebut terasa seperti sekadar adegan dalam drama, film, atau tayangan di televisi.
Beberapa tahun lalu, sebelum internet dan media sosial berkembang seperti sekarang, perasaan kita terhadap peristiwa duka sangat berbeda. Setiap kali terjadi kedukaan, terutama yang melibatkan orang dekat atau orang banyak, kita cenderung merasakan kesedihan dan duka yang lebih mendalam.
Perubahan kepekaan perasaan itu tidak hanya terjadi pada emosi duka, tetapi juga pada jenis emosi lainnya, seperti emosi romantis dalam hubungan antar lawan jenis. Hubungan percintaan yang dahulu melibatkan ikatan emosional yang mendalam, kini tampak menjadi hubungan yang cenderung dangkal secara emosional. Hubungan romantis lebih berfokus pada aspek kognitif dan rasional, di mana logika dan pertimbangan praktis lebih diutamakan dalam membangun relasi.
ADVERTISEMENT
Perbedaan ini tampak jelas dalam hiburan, terutama lagu-lagu tentang percintaan. Lagu-lagu sekarang cenderung kurang menonjolkan emosi yang mendalam. Perasaan cinta sering digambarkan dengan cara yang lebih santai dan dangkal.
Hubungan percintaan tanpa ikatan emosional yang mendalam tersebut menjadikannya cenderung rapuh. Cinta terasa mudah dibangun, namun juga mudah runtuh. Hal ini menjadi melatarbelakangi berkembangnya berbagai bentuk hubungan romantis yang cenderung bertahan sementara. Data terkini tentang pernikahan dan perceraian mencerminkan situasi ini, termasuk berbagai isu lain yang mengitarinya.
Dalam relasi yang minim afeksi, komitmen dan kesetiaan sulit tumbuh. Keduanya membutuhkan pemahaman mendalam dan ikatan emosional. Tanpa keterikatan afektif, sulit membangun komitmen yang kuat. Rendahnya komitmen ini menjelaskan mengapa orang lebih mudah berganti pasangan atau memutuskan pernikahan.
ADVERTISEMENT
Salah satu penyebab yang membuat publik cenderung tumpul perasaannya tersebut adalah desensitisasi. Desentisisasi adalah proses berkurangnya respons emosional terhadap sebuah stimulus karena seseorang terpapar oleh stimulus yang relatif sama berulangkali.
Internet dan media sosial memungkinkan kita untuk dibanjiri oleh beragam informasi, dari sejak membuka mata hingga menutup mata kembali. Dan kita sangat sering mendapatkan berita yang dapat menguras emosi. Misalnya, peristiwa tentang kedukaan, penderitaan, kejahatan, atau tragedi lainnya.
Paparan yang peristiwa emosional yang intens dan berulang tersebut dapat mengikis kepekaan emosional kita. Dalam arti, kemampuan kita untuk berempati, merasakan kepedihan, bersimpati, atau prihatin terhadap berbagai hal di sekitar kita secara perlahan berkurang.
Kondisi tersebut bisa menjadi indikasi bahwa semakin hari, sebagai manusia kita menjadi semakin rasional, sementara kepekaan emosional, moral dan sosial kita semakin terkikis. Sisi-sisi kemanusiaan kita semakin tergerus. Bila ini terus berlaku, mungkin ke depan, kita akan tumbuh menjadi masyarakat robot, kumpulan manusia tanpa rasa kemanusiaan.
ADVERTISEMENT