Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Euforia Sepak Bola dan Rasa Kebangsaan Kita
12 September 2024 11:04 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Sartana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2026 kemarin, Indonesia telah berhasil menahan imbang dua raksasa sepak bola Asia, yaitu Arab Saudi dan Australia. Meskipun hanya memperolah hasil imbang di dua pertandingan, terlihat masyarakat Indonesia sangat girang bukan kepalang menyambut hasil tersebut.
ADVERTISEMENT
Dan wajar bila perasaan demikian meraup, mengingat ranking FIFA Indonesia dengan kedua tim terpaut sangat jauh. Saat ini, Indonesia berada pada posisi 133 dunia, sementara Australia berada peringkat 24, dan Arab Saudi berada di peringkat 56 dunia.
Selain itu, kedua tim yang dikalahkan Indonesia itu juga telah menjadi tim langganan piala dunia. Sementara Indonesia adalah negara yang hanya pernah sekali ikut Piala Dunia, dan itu pun terjadi sekitar hampir satu abad yang lalu.
Kegembiraan nasional itu memperkuat anggapan bahwa bagi bangsa Indonesia, sejauh ini, sepak bola telah menjadi salah satu tiang kokoh perasaan kebangsaan. Sepak bola selalu berhasil mengaktifkan dan mengembalikan semangat persatuan yang kadang meredup.
Ketika timnas sepak bola Indonesia bertanding, semua warga Indonesia merasa satu. Perbedaan apa pun yang membuat kita bertengkar satu sama lain sebelumnya, akan luruh dan lebur, dan kita merasa satu Indonesia kembali di hadapan sepak bola.
ADVERTISEMENT
Terlebih ketika Indonesia berhasil mengalahkan tim nasional dari negara lain, terutama tim-tim yang merupakan langganan Piala Dunia. Perasaan positif dan rasa keindonesiaan akan menyebar ke seluruh penjuru Indonesia. Lalu, menciptakan euforia nasional yang akan menegaskan kembali bahwa kita adalah sebuah bangsa.
Pada momen itu, setiap warga mendaku dan mengaku dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Semua orang menyorongkan wajahnya ke dunia, “Saya orang Indonesia”. Dengan kata lain, pada saat itu, nasionalisme dan identitas nasional masyarakat menguat. Ingin tetap menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Namun, perasaan kebangsaan itu jarang bertahan lama. Ketika perhatian kita bergeser, ketika menyaksikan berita dari berbagai daerah di Indonesia melalui media, gelembung kebanggaan nasional perlahan mengempis.
Itu terjadi misalnya, saat membaca berita tentang pejabat yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menonton video di YouTube tentang penggundulan jutaan hektare hutan di Indonesia, atau mendengar kabar tentang jurang ketimpangan sosial yang semakin melebar.
ADVERTISEMENT
Pada situasi yang terakhir itu, kita merasa marah, sedih dan kecewa. Kebanggaan kita sebagai bangsa mereda. Rasa nasionalisme dan semangat persatuan kita mengendur. Kita kembali dipaksa menanyakan ulang status dan makna keindonesiaan kita.
Peristiwa itu memberikan gambaran bahwa menjadi Indonesia telah membuat kita saling berbagi emosi dan perasaan bersama. Ada afeksi yang menular dan meresap ke dalam tubuh kita sebagai bangsa ketika kita terpapar oleh wacana, pesan, berita atau informasi yang sama. Saat itu, kita merasa sebagai subjek nasional yang homogen.
Pembayangan-pembayangan kita tentang bangsa Indonesia membolak-balikan dan mengaduk-aduk perasaan kita. Perasaan kita berubah seiring dengan pergeseran imajinasi kita mengenai Indonesia.
Kadang kita merasa bangga, di saat lain kita merasa malu. Kadang kita merasa optimis, di saat berbeda kita merasa pesimis. Kadang kita ingin tetap menjadi bagian Indonesia, namun kadang kita juga merasa lelah sebagai bagian darinya. Dan lewat emosi dan perasaan nasional ini kebangsaan kita dilemahkan dan dikuatkan.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, kita juga dapat melihat bahwa penguatan rasa kebangsaan itu seringkali tumbuh dari bawah. Tidak selalu tumbuh dari atas seperti yang kita kira. Bahwa banyak kejadian yang meningkatkan perasaan kebangsaan tersebut ada di sekitar kita dan sering kita anggap sebagai hal yang sepele, sederhana, dan juga tidak asosiasikan dengan soal kebangsaan atau kenegaraan.
Kadang kita bangga dan lekat dengan Indonesia ketika kita ada talenta muda Indonesia terlibat dalam proyek mercusuar kelas dunia; atau ada orang Indonesia yang menang kejuaraan internasional; atau ketika mendengar kabar karya peneliti di Indonesia diakui dunia internasional.
Di saat yang lain, perasaan keindonesiaan kita dikuatkan dalam berbagai peristiwa keseharian yang remeh temeh. Misalnya, ketika kita bertemu dengan orang Indonesia dari daerah atau etnis berbeda dan kita bisa bertegur sapa dengan ramah. Atau, ketika kita hidup rukun dengan tetangga. Atau saat kita melihat video kesenian tradisional di media sosial yang diapresiasi positif oleh banyak orang.
ADVERTISEMENT
Dan kita juga dapat merasai, kadang perasaan kebangsaan itu justru dilemahkan dari atas. Dari orang atau pihak yang kita beri mandat, wewenang, juga fasilitas oleh negara, untuk menjaga perasaan kebangsaan. Dari orang-orang yang mendapatkan banyak dari negeri dan bangsa ini.
Pelemahan rasa keindonesiaan dari atas itu terjadi ketika para pemimpin gagal menghadirkan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan publik atau keadilan untuk seluruh lapisan masyarakat. Atau saat pejabat terlibat korupsi dan menyalahgunakan uang rakyat, atau ketika pemerintah abai dalam menyediakan layanan publik yang layak. Pelemahan rasa kebangsaan itu juga terjadi ketika para pemimpin terus bertikai untuk kepentingan masing-masing.
Dan semua paparan ini menunjukkan bahwa semua pihak memiliki jasa dalam membangun, menjaga dan memelihara perasaan kebangsaan. Karena rasa kebangsaan lahir dari keterlibatan aktif semua pihak, bukan hanya keputusan pemimpin atau kebijakan pemerintah. Setiap individu dan kelompok, yang di atas dan yang di bawah, memainkan peran penting dalam menjaga dan memelihara bangsa.
ADVERTISEMENT
Sehingga, semestinya tidak ada pihak yang merasa lebih penting atau lebih berjasa daripada yang lainnya, atau merasa lebih Indonesia hanya karena status sosialnya. Keindonesiaan itu tergantung pada kontribusi setiap individu pada bangsanya, bukan pada posisi atau kekuasaan.