Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Membangsa di Era Digital
6 November 2024 9:11 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Sartana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kehadiran dunia digital telah melahirkan pertanyaan besar tentang keberadaan bangsa : apakah bangsa akan tetap ada atau pudar ditelan zaman? Banyak orang berusaha menjawab pertanyaan ini. Ada yang optimis bangsa akan terus eksis, namun ada juga yang percaya bahwa dunia bangsa-bangsa akan segera sirna.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri cenderung yakin bahwa bangsa-bangsa akan tetap ada di era mondial itu, namun kita akan membangsa dengan cara berbeda. Ada beberapa alasan uang mendukung keyakinan saya itu.
Pertama, bangsa akan tetap ada karena eksistensi bangsa tidak ditopang oleh sesuatu yang sifatnya fisik, melainkan dibangun berdasarkan entitas yang sifatnya sosiopsikologis. Bangsa bukan semata kumpulan banyak orang yang tinggal di suatu wilayah tertentu, tetapi bangsa menyangkut apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh sekelompok orang bahwa mereka satu bangsa.
Karena itu, eksistenasi bangsa hanya membutuhkan kesadaran dan perasaan bahwa orang-orang adalah satu bangsa. Orang-orang yang tidak tinggal di wilayah geografis yang sama mereka tetap dapat merasakan sebagai satu bangsa, sejauh mereka masih bersama-sama mengidentifikasi diri dengan bangsanya.
ADVERTISEMENT
Untuk konteks sekarang ini, kita bisa menjadikan para warga keturunan atau warga diaspora sebagai contohnya. Mereka masih merasa dirinya sebagai bangsa Indonesia, dan sebagian tetap memilih berkomitmen untuk menjadi warga negara Indonesia, meskipun secara geografis tidak tidak tinggal di Indonesia dalam waktu lama. Selain itu, mereka juga setiap saat berinteraksi dengan warga berbeda, sehingga mereka sebenarnya juga tidak memiliki ikatan sosial dan kultural yang kuat terhadap Indonesia. Namun, kondisi demikian tidak serta merta mengikis identitas nasional mereka.
Secara nyata, kita bisa melihat bahwa rasa kebangsaan dapat tetap ada pada warga keturunan yang beberapa waktu terakhir banyak dinaturalisasi sebagai pemain timnas. Mereka adalah orang yang sudah puluhan tahun tidak lagi menjadi bagian apapun dari Indonesia. Mereka juga tidak tinggal di Indonesia. Namun, ketika mereka menyadari dan memiliki kesempatan untuk menjadi Indonesia, mereka dapat membangun kesadaran dan ikatan kebangsaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Kedua, identitas nasional dan rasa kebangsaan terus diciptakan, dibangun dan dipelihara ulang secara terus menerus melalui hasa. Bahasa yang dimaksud tidak sekedar bahasa dalam pengertian nominal, yaitu karena kita menggunakan bahasa Indonesia misalnya, melainkan juga bahasa dalam pengertian yang lebih substantif. Ada banyak kata, istilah, kalimat atau wacana yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, yang secara terus menerus, menegaskan identitas nasional kita. Bahwa kita adalah bangsa yang sama, yang berbeda dengan bangsa yang lainnya.
Pemahaman ini dapat menjelaskan mengapa interaksi seseorang yang berlangsung secara intens dengan bangsa asing tidak serta merta mengikis identitas nsional, bahkan justru hak itu dapat memperkuat kesadaran kebangsaan. Karena, ketika orang bertemu dengan warga bangsa lain, mereka bukan sekedar menjadi penerima pasif berbagai narasi tentang bangsa melalui bahasa yang mereka gunakan. Dalam situasi itu, mereka juga menjadi subjek aktif yang menegaskan identitasnya dengan berbagai bahasa yang mereka gunakan. Kita akan menegaskan “kekitaan” dan “kemerekaan” dalam dialog yang kita lakukan.
ADVERTISEMENT
Bahasa tidak hanya memiliki kekuatan keluar, melainkan juga memiliki kekuatan ke dalam untuk menegaskan identitas nasional. Itu terjadi melalui penggunan kata “kita” 'kita', 'kita' dan 'milik kita' dan sebagainya, yang itu akan menempa dan terus menempa ulang identitas nasional kita.
Ketiga, faktor afeksi atau perasaan kebangsaan. Interaksi intens dengan bangsa lain maupun beragam wacana tentang bangsa di berbagai media juga memfasilitasi seseorang untuk lebih intens untuk terlibat dengan secara emosional dengan bangsanya. Ketika ada peristiwa yang menyenangkan yang dialami oleh warga bangsa lain, orang akan merasa senang. Pun sebaliknya, ketika ada warga bangsa lain yang ditimpa kemalangan, orang akan merasa sedih.
Tentang pengaruh emosi dalam memperkuat rasa kebangsaan ini kerap tidak disadari, namun kerjanya sangat efektif. Berbagai peristiwa terkait bangsa yang memapari kita selalu membangkitkan emosi tertentu. Lewat momen itu, ikatan kebangsaan kita dikuatkan dan terus dikuatkan.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, perasaan nasional itu juga dapat menjadi pedang bermata dua bagi nasionalisme. Perasaan nasional dapat berupa perasaan negatif, misalnya senang, sedih, kecewa atau marah. Ia juga dapat berupa perasaan positif, seperti senang, bangga, bahagia dan sebagainya.
Perasaan nasional yang negatif tersebut dapat mengikis rasa kelekatan masyarakat pada bangsa. Di sisi lain, perasaan positif dapat menguatkan nasionalisme dan identitas nasional seseorang. Oleh karena itu, penting adanya usaha-usaha untuk menjaga perasaan nasional masyarakat.
Mempertimbangkan paparan demikian, kita semestinya tidak perlu risau dengan pengaruh kehadiran ruang digital terhadap rasa kebangsaan. Kita tidak perlu khawatir nasionalisme masyarakat akan luntur, atau identitas nasionalnya akan kabur dan pudar.
Kita dapat yakin bahwa ruang digital memiliki insfrastrukturnya sendiri untuk menjaga agar bangsa tetap ada. Hanya saja, yang perlu kita sadari, kita perlu menafsirkan dan mengidentifikasi bentuk-bentuk nasionalisme di ruang digital tersebut, supaya dapat mengelolanya.
ADVERTISEMENT
Kita perlu insyaf bahwa nasionalisme di era digital tentu tidak bisa kita lihat dan ukur dengan standard-standard nasionalisme konvensional. Nasionalisme digital perlu dipahami dalam kerangka makna yang lebih luas, tidak sekedar pada hal-hal yang simbolis. Kita tidak bisa mengukur nasionalisme hari ini hanya sekedar dengan aktivitas mengibarkan bendera, mengikuti upacara, atau menyanyikan lagu kebangsaan.
Beragam aktivitas itu tetap penting, namun kita perlu mengidentifikasi adanya ritual-ritual kebangsaan yang baru dan khas, terutama berbagai ritual kebangsaan di ruang digital. Misalnya, di ruang digital orang dapat menunjukan kebangsaannya dengan berperilaku sebagai bangsa beradab, menghormati keberagam, toleran terhadap pandangan atau pendapat berbeda, dan sebagainya.
Dalam jangka panjang, norma-norma dan ritual kebangsaan yang dikembangkan masyarakat di ruang digital tersebut akan menjadi mapan. Dan kita akan membangsa dengan norma-norma serta ritual kebangsaan yang baru tersebut.
ADVERTISEMENT
Sartana, M.A.
Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas