Konten dari Pengguna

Menyigi Kesetiaan Nasional Warga Negara Naturalisasi

Sartana
Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
5 November 2024 12:00 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sartana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kesetiaan nasional warga negara naturalisasi. Sumber : Gambar dibuat sendiri oleh penulis dengan aplikasi Microsoft Designer.
zoom-in-whitePerbesar
Kesetiaan nasional warga negara naturalisasi. Sumber : Gambar dibuat sendiri oleh penulis dengan aplikasi Microsoft Designer.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, PSSI banyak melakukan naturalisasi pemain sepak bola untuk tim nasional Indonesia. Presiden baru kita, Prabowo Subianto, dalam satu kesempatan juga menyatakan bahwa dia mendukung naturalisasi pemain bola itu, agar timnas Indonesia tembus piala dunia.
ADVERTISEMENT
Saat melakukan naturalisasi itu ada seseorang yang berpindah atau masuk menjadi bagian dari warga negara baru, Indonesia. Di sisi lain, orang bersangkutan menanggalkan status kewarganegaraan di negara asalnya. Warga negara Indonesia bertambah, sementara warga negara asal orang tersebut berkurang.
Bersamaan dengan banyaknya pemain timnas yang dinaturalisasi itu, ada banyak juga warga Indonesia yang bermigrasi ke luar negeri, lalu menaturalisasi diri atau pindah menjadi warga negara lain. Mereka menanggalakan kewarganegaraan Indonesia, dan masuk menjadi dari warga negara tujuan.
Dan jumlah WNI yang menaturalisasi diri sebagai WNA itu tidak sedikit. Dalam sebuah siaran Pers Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tahun 2023, diungkapkan bahwa antara tahun 2019-2022 terdapat sebanyak 3.912 WNI pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura.
ADVERTISEMENT
Laporan itu hanya mengungkap jumlah perpindahan WNI ke satu negara. Tentu, di luar warga yang pindah ke Singapura itu, masih banyak lagi warga negara Indonesia yang mengalihkan kewarganegaraan ke negara lain. Sayangnya, penulis kesulitan untuk mendapatkan data tentang peralihan kewarganegaraan tersebut. Penulis hanya mendapatkan catatan Tirto.id yang menggambarkan bahwa sejak tahun 1957 hingga tahun 2006, sebanyak 38.024 orang Indonesia yang pindah ke Malaysia.
Fenomena naturalisasi demikian tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan menjadi fenomena umum di banyak negara. bahkan, mungkin ke depan, ia akan menjadi fenomena yang akan menjadi semakin umum terjadi.
Data di beberapa negara telah menunjukan gejala tersebut. Di Jerman misalnya, menurut data Kantor Statistik Federal tahun 3023, ada sekitar 200.100 orang resmi memperoleh kewarganegaraan Jerman (iamexpat.de., 2023). Di Amerika, selama satu dekade hingga tahun 2023, ada 7,7 juta warga yang dinaturalisasi. Bahkan, pada tahun 2023, ada 878.500 warga negara baru hasil naturalisasi tersebut (USCIS, 2023).
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang psikologi kebangsaan, ada satu hal yang menarik perhatian dari proses naturalisasi tersebut, yaitu soal kesetiaan nasional. Loyalitas nasional mengacu pada keterikatan emosional dan komitmen yang dimiliki seseorang terhadap bangsanya.
Orang yang memiliki kesetiaan nasional yang tinggi akan bersedia untuk melakukan apapun untuk bangsanya. Bahkan, mereka bersedia untuk berperang, membunuh, atau mati demi bangsanya.
Karena itu, kesetiaan nasional sering dianggap sebagai tiang utama penyangga berdirinya sebuah bangsa. Kesetiaan nasional juga dapat dilihat sebagai tali pengikat warga bangsa yang berbeda-beda sehingga dapat bersatu sebagai sebuah bangsa.
Tanpa ada dukungan kesetiaan dari warganya, sulit bagi sebuah bangsa untuk dapat terus ada dan bertahan. Apalagi bangsa Indonesia yang terdiri dari kelompok etnis, ras, juga asal daerah yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Mengingat peran penting kesetiaan nasional tersebut, beberapa pihak menempatkan loyalitas nasional ini sebagai komponen utama nasionalisme. Misalnya, Hans Kohn menyatakan bahwa nasionalisme merupakan suatu paham yang mengajarkan tentang kesetiaan tertinggi diserahkan kepada negara kebangsaan. Itu artinya, seorang yang memiliki kesetiaan nasional yang tinggi adalah seorang yang nasionalis.
Dalam kaitannya dengan naturalisasi, seseorang dikatakan setia terhadap bangsanya, mereka tidak akan bersedia mengalihkan dukungannya terhadap negara lain. Mereka berusaha dapat tetap menjadi bagian dari bangsanya, apapun yang terjadi. Termasuk ketika mereka mendapatkan kenikmatan yang lebih besar saat berpindah menjadi warga negara lain.
Oleh karena itu, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tindakan ketidaksetiaan merupakan salah satu tindakan yang paling dibenci. Karena, orang atau warga yang tidak setia pada bangsanya, dianggap sebagai musuh dalam selimut. Mereka bisa jadi lebih berbahaya daripada musuh di luar sana.
ADVERTISEMENT
Terkait pemain naturalisasi, bagi warga negara yang ditinggalkan, pemain yang berpindah kewarganegaraan tersebut akan dianggap sebagai orang yang tidak memiliki kesetiaan nasional. Kecuali, negara bersangkutan menganut sistem kewarganegaraan yang ganda atau jamak.
Oleh warga negara yang menerima, warga naturalisasi ini juga kerapkali diragukan kesetiaan nasionalnya. Warga di negara baru merasa khawatir bahwa warga naturalisasi tidak akan dapat menyatu, baik pada sisetem negara maupun masyarakatnya. Dalam arti, mereka akan melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip atau aturan hukum di negara yang menerimanya. Atau mereka tidak dapat membaur dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa warga baru tersebut tetap loyal terhadap negara asal mereka. Dalam arti, ketika mereka hidup di negara baru, mereka tetap mempertahankan nilai, norma dan identitas negara asal. Bahkan mungkin mereka masih mengutamakan kepentingan negara asalnya, daripada negara baru, yang ini dapat merugikan atau bahkan mengancam masyarakat negara yang baru.
ADVERTISEMENT
Uraian itu menunjukan bahwa ketika seseorang melakukan naturalisasi pada dasarnya mereka mendapatkan beban ganda. Di satu sisi, mereka dipandang negatif oleh warga negara yang mereka tinggalkan, dan di sisi yang lain mereka juga sulit diterima oleh warga negara yang baru, dalam kaitannya dengan kesetiaan nasional.
Dalam situasi normal, di negara yang dituju, keraguan warga terhadap kesetiaan nasional mereka itu tidak terasa. Keraguan itu akan muncul pada situasi-situasi tertentu, misalnya ketika ada salah satu oknum warga naturalisasi yang “bermasalah terkait kesetiaan nasional” dengan negara yang dituju, kemudian warga naturalisasi yang lain juga akan terkena getahnya.
Atau, ketika seorang warga melakukan tindakan yang kurang menguntungkan atau malah merugikan negara baru, maka perilakunya itu akan diatribusikan sebagai tindakan ketidaksetiaan, meskipun sebenarnya mereka sama sekali tidak saling berkaitan.
ADVERTISEMENT
Misalnya, ada pemain naturalisasi yang enggan dipanggil timnas Indonesia, karena ada persoalan lain di klubnya, maka publik akan mengaitkan perilakunya itu dengan kesetiaan nasional atau nasionalisme. Padahal, persoalan itu sebenarnya sama sekali tidak berkaitan dengan kesetiaan nasional tersebut. Dan penilaian-penilaian demikian kerap menjadi beban psikologis sendiri bagi sang pemain.
Mempertimbangkan realitas demikian, publik perlu lebih objektif dan tidak terlalu sensitif dalam menilai kesetiaan nasional atau nasionalisme pemain naturalisasi. Terkait rasa kebangsaan, kita perlu melihat mereka mereka tidak jauh beda dengan warga negara lainnya. Tidak semua perilaku mereka dapat kita maknai dalam konteks atau kaitannya dengan kesetiaan dan nasionalisme.
Ketika suatu kali seseorang tidak tampil baik dalam sebuah laga sepak bola, atau gagal mengeksekusi pinalti, atau tidak dapat ikut training camp dan sebagainya, itu kerapkali terjadi karena persoalan teknis, dan tidak ada kaitanya dengan nasionalisme dan kesetiaan.
ADVERTISEMENT
Dalam menilai pemain naturalisasi kita dapat melakukannya sama dengan ketika kita menilai loyalitas kita sendiri, atau loyalitas warga negara yang lain, bahwa loyalitas nasional seseorang tidak dapat kita nilai hanya dari satu dua tindakan yang mereka lakukan, melainkan perlu kita lihat dari keseluruhan perilakunya, baik ketika mereka gagal maupun berhasil.
Sartana, M.A.
Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas