Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Naturalisasi dan Desensitisasi Kolektif
15 September 2024 10:24 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Sartana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa hari terakhir, isu tentang kewarganegaraan pemain sepak bola naturalisasi menjadi topik diskusi hangat di ruang publik. Topik yang menjadi perdebatan seputar kepantasan dan keabsahan PSSI untuk menaturalisasi pemain sepak bola keturunan.
ADVERTISEMENT
Sebagian pihak mempertanyakan dampak naturalisasi terhadap pemain lokal. Sebagian yang lain mengangkat isu tentang pembinaan talenta lokal, serta soal kaitan antara naturalisasi terhadap martabat dan harga diri bangsa. Dan secara umum, diskusi bermuara pada status keindonesiaan mereka.
Para pihak yang kontra masih melihat sisi-sisi “asing” dalam diri pemain naturalisasi, sementara pihak yang pro cenderung sudah mengabaikan itu. Mereka melihat para pemain naturalisasi sudah “sah” dan menjadi bagian dari bangsa Indonesia, meskipun sebelumnya mereka adalah bagian dari bangsa asing.
Diskusi mengenai kewarganegaraan ini ke depan akan semakin sering terjadi. Bahkan diskusinya akan berlangsung semakin intens serta serius. Hal demikian terjadi proses globalisasi yang semakin nyata dan dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bila dua hingga tiga dekade lalu globalisasi masih merupakan “dunia” yang abstrak, seperti dalam cerita fantasi, hari ini globalisasi adalah dunia yang nyata dan dapat kita rasakan secara langsung. Globalisasi memfasilitasi masyarakat untuk melakukan mobilitas secara global, juga untuk berpindah kewarganegaraan. Ini yang menyebabkan polemik seputar isu kebangsaan dan kewarganegaraan akan kerap terjadi.
Isu tentang warga negara naturalisasi hanya salah satu isu yang mengemuka. Isu lain seperti lingkungan dan perubahan iklim, keadilan sosial dan ketimpangan ekonomi, serta perdamaian global juga akan semakin banyak mendapat perhatian. Termasuk juga isu identitas budaya dan nasional, dampak perkembangan teknologi, dan keamanan global.
Terkait dengan naturalisasi pemain bola di Indonesia, terlihat bahwa saat ini mayoritas masyarakat Indonesia sangat mendukung naturalisasi mereka. Arus dukungan publik tersebut dapat menggambarkan kondisi psikososial kolektif masyarakat Indonesia yang telah bergeser. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?
ADVERTISEMENT
Dukungan masyarakat terhadap pemain naturalisasi itu menunjukan bahwa saat ini masyarakat cenderung tidak lagi mempertimbangan aspek keaslian atau kepribumian dalam identitas nasional keindonesiaan. Mereka relatif terbuka atau menerima kehadiran orang asing, terutama ketika orang asing tersebut mereka anggap dapat berkontribusi terhadap bangsa Indonesia.
Kondisi ini sangat berbeda dengan yang terjadi satu hingga dua dekade lalu. Yang mana publik sangat sensitif terhadap aspek keaslian atau kepribumian dalam identitas keindonesiaan. Mereka menganggap Indonesia adalah orang pribumi yang merupakan keturunan orang Indonesia, serta lahir dan besar di Indonesia. Sekilas, saat itu, terlihat ada ketakutan pada masyarakat terhadap entitas asing dalam identitas nasional keindonesiaan.
Bahkan, sebagai respons terhadap hal itu, beberapa tokoh publik sampai berusaha mengkonter klaim keindonesiaan model demikian dengan mengurai susunan DNA masyarakat Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sebenarnya merupakan keturunan atau berasal dari campuran berbagai bangsa di Asia, Eropa, hingga Afrika, yang membentuk keragaman etnis dan budaya di nusantara.
ADVERTISEMENT
Sementara hari ini, publik terlihat justru sangat mendukung identitas keindonesian yang lebih terbuka dan inklusif. Mereka terlihat tidak lagi merasa takut terhadap kehadiran entitas yang berbau asing dalam identitas keindonesiaan, dan justru merasa senang dan mendukung.
Pergeseran sikap masyarakat tersebut salah satunya terjadi karena desensitiasi afektif. Desentisiasi adalah proses dimana seseorang secara perlahan berkurang kepekaan emosionalnya terhadap suatu stimulus atau isu tertentu karena paparan berulang. Masyarakat menjadi kurang peka terhadap berbagai hal yang berbau asing.
Konsep desensitiasasi ini umumnya digunakan untuk menjelaskan atau melakukan intervensi terhadap masalah psikologis tertentu, seperti fobia, ketakutan, atau gangguan kesehatan mental lainnya. Misalnya, desentisasi dilakukan dengan cara menghadirkan objek atau sumber fobia terhadap seorang secara bertahap dan berulang dalam kondisi tidak mengancam. Seiring berjalannya waktu, tingkat fobia orang tersebut akan berkurang secara perlahan, sebelum akhirnya hilang sama sekali.
ADVERTISEMENT
Konsep desensitiasi ini memang jarang digunakan untuk menjelaskan perilaku psikososial kolektif. Meskipun sebenarnya ia banyak fenomena sosial di masyarakat yang dapat dijelaskan dengan konsep ini. Apalagi, saat ini orang cenderung terpapar oleh sebuah informasi secara intens dan berulang melalui internet atau media sosial.
Terkait perubahan afeksi dan sikap masyarakat terhadap bangsa asing terjadi karena orang terpapar secara bertahap dan berulang oleh berbagai hal yang sebelumnya mereka anggap sebagai representasi bangsa asing.
Sebelum ada internet dan media sosial, dulu, masyarakat di berbagai belahan dunia hidup dalam sekat geografis dan informasi. Kita jarang berinteraksi dengan bangsa asing termasuk berbagai simbol atau informasi yang merepresentasikannya. Pengenalan kita terhadap bangsa lain umumnya didasarkan pada pengetahuan yang dikonstruksi oleh media massa, atau melalui pemerintah melalui buku teks pelajaran di sekolah atau melalui berbagai narasi yang diproduksi aparatus birokrasi.
ADVERTISEMENT
Sekat geografis, komunikasi yang terbatas, dan indoktrinasi tersebut cenderung menggiring masyarakat untuk membangun citra tertentu tentang bangsanya sendiri dalam kaitannya dengan bangsa luar atau bangsa asing. Kita kerap membayangkan bangsa asing adalah entitas berbahaya dan mengancam. Selain itu, mereka juga kita bayangkan memiliki sejumlah karakter buruk, yang potensial mengancam eksistensi kita sebagai bangsa.
Dengan narasi demikian kita memiliki emosi tertentu, yang umumnya negatif, ketika terpapar berbagai stimulus berbau asing. Bagi bangsa Indonesia, sentimen anti asing tersebut dapat mengerucut pada bangsa-bangsa yang dulu pernah menjajah Indonesia, khususnya bangsa Belanda, dan bangsa lain yang dianggap merugikan Indonesia.
Kemudian, dalam satu dekade terakhir, publik secara intens terpapar oleh berbagai informasi atau artefak lain yang berbau asing. Bahkan kita dapat berinteraksi dengan orang asing secara intens. Dan pandemi Covid-19 semakin mengintensifkan paparan terhadap berbagai hal yang bernuansa asing tersebut.
ADVERTISEMENT
Persinggungan yang intens dengan beragam hal yang berbau asing ini secara perlahan menggeser sentimen afektif masyarakat. Mereka tidak lagi merasakan “yang asing” tersebut sebagai “yang asing”, tetapi sebagai hal yang biasa dan sudah terasa menjadi bagian dari dirinya. Pergeseran afeksi ini juga dibarengi dengan pergeseran kognisi masyarakat, yang mana mereka mengalami “yang asing” ini tidak sekedar berdasarkan stereotip dengan informasi terbatas, namun berdasarkan pemahaman yang mendalam.
Pergeseran dalam perasaan dan pemahaman mengenai “bangsa asing” ini yang saya duga menjadikan masyarakat kini lebih mendukung pemain sepak bola naturalisasi dibanding pada masa sebelumnya. Dan dukungan pada entitas “asing” ini tidak hanya terjadi di dunia sepak bola, namun juga terjadi pada objek atau bidang lainnya. Secara umum, kini, publik lebih terbuka terhadap berbagai hal yang berbau asing.
ADVERTISEMENT
Tentu keterbukaan pada berbagai hal yang berbau asing tersebut ada plus dan minusnya. Keterbukaan tersebut memungkinkan masyarakat untuk lebih cepat menyerap dan beradaptasi dengan berbagai perubahan. Kita juga lebih toleran terhadap berbagai macam perbedaan yang terjadi di masyarakat.
Namun, di sisi lain, keterbukaan yang tanpa kontrol yang memadai, potensial menyebabkan kita melupakan budaya lokal dan lebih fokus pada budaya global. Selain itu, kita juga dapat tergantung pada bangsa-bangsa lain yang lebih maju. Lebih jauh, kondisi ini dapat menimbulkan krisis identitas yang menyebabkan bangsa Indonesia terombang-ambing dalam kebingungan sehingga mudah dipermainkan serta dijajah secara psikososial.
Sartana, M.A.
Dosen Psikologi Sosial Departemen Psikologi FK Universitas Andalas