Konten dari Pengguna

Riset dan Literasi Membaca di Indonesia

Sartana
Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
18 Mei 2024 16:16 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sartana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Budaya membaca bisa menjadi bagian dari identitas bangsa. Sumber : Gambar dibuat dengan Microsoft designer.
zoom-in-whitePerbesar
Budaya membaca bisa menjadi bagian dari identitas bangsa. Sumber : Gambar dibuat dengan Microsoft designer.
ADVERTISEMENT
Tanggal 17 Mei kemarin, kita memperingati Hari Buku Nasional (Harbuknas). Namun, berbeda dengan Hari Valentine atau hari besar lain yang dirayakan secara meriah, sedikit dari kita yang mengingat apalagi merayakan Harbuknas.
ADVERTISEMENT
Dan itu wajar. Kita tahu bahwa membaca bukan bukan elemen yang menonjol dalam budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu, membaca juga tidak menjadi bagian dari identitas nasional kita. Jika kita ditanya, "Siapa orang Indonesia?", sangat jarang dari kita menjawab, "Orang Indonesia adalah orang yang gemar membaca."
Hal ini berbeda dengan bangsa Jepang, Finlandia, Swedia, Belanda, atau Australia, di mana membaca buku sudah menjadi bagian utama dari budaya mereka. Membaca juga menjadi bagian dari identitas nasional mereka. Salah satu yang mereka ingat ketika membayangkan bangsanya adalah kebiasaan mereka dalam membaca.
Mengenai tingkat literasi membaca di Indonesia, kita sudah berkali-kali terpapar hasil penelitiannya. Dan hasilnya selalu sama: masih rendah. Misalnya, riset UNESCO menunjukan bahwa hanya satu dari seribu penduduk Indonesia yang gemar membaca. Dan hasil tidak juga berubah sejak dahulu.
ADVERTISEMENT
Padahal, sudah banyak program digelar untuk meningkatkan minat baca masyarakat, dan tidak sedikit dana yang digelontorkan untuk itu. Namun, mengapa sulit sekali kita meningkatkan tingkat literasi membaca masyarakat?
Bisa jadi, membaca buku memang bukan bakat kolektif kita sebagai bangsa. Bakat utama kita adalah berbicara. Itu yang terlihat jelas dan melekat pada kita. Tidak perlu lagi diragukan atau diukur soal bakat ini.
Seandainya ada survei yang dilakukan secara global tentang lamanya waktu yang kita habiskan untuk berbicara, mungkin bangsa Indonesia akan menjadi juaranya. Namun sayangnya, riset semacam itu tidak ada yang melakukan.
Namun, perihal kita yang bakat berbicara itu dapat dengan mudah kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Di mana pun kita bertemu orang Indonesia, 'suara' mereka selalu yang paling kentara. Contohnya, saat pertandingan olahraga internasional, suporter Indonesia selalu menjadi yang paling ramai dibanding negara lainnya.
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan sehari-hari, ketika orang Indonesia bertemu dengan teman-temannya, baik di rumah atau di warung kopi, mereka akan betah ngobrol berjam-jam. Kadang-kadang, bahkan kita lupa segalanya ketika sudah asyik ngobrol dengan teman-teman.
Namun, jika sudah disuruh untuk membaca, situasi sebaliknya yang terjadi. Kita menjadi lemas dan malas. Terasa kehilangan semangat. Dan waktu berjalan terasa lambat. Membaca kita rasakan sebagai pekerjaan yang berat dan tidak menyenangkan.
Tapi, saya sendiri kurang percaya pada anggapan bahwa minat baca bangsa Indonesia yang rendah itu terjadi karena faktor alam, atau faktor genetik yang diwariskan nenek moyang. Saya lebih percaya itu terjadi karena faktor belajar dan pembiasaan. Itu artinya, dengan intervensi yang tepat, ia dapat diubah atau ditingkatkan.
Perlu penelitian tentang faktor penentu minat baca masyarakat. Sumber : Gambar dibuat dengan Microsoft Designer.
Tentang sebab bangsa kita tidak gemar membaca ini mestinya diteliti. Supaya kita tahu dengan pasti, mengapa sebagai bangsa, kita tidak memiliki kebiasaan dan budaya membaca buku. Dengan bukti-bukti empiris hasil riset tersebut, kita dapat melakukan intervensi yang lebih tepat.
ADVERTISEMENT
Misalnya, pada anak-anak di sekolah dasar, apa yang menjadi kendala anak-anak tidak dapat mengembangkan budaya baca. Mungkin karena siswanya yang tidak minat baca, atau karena orang tuanya yang tidak membiasakan membaca, atau malah justru bersumber dari gurunya sendiri yang tidak suka membaca.
Mungkin juga karena kurikulumnya yang lebih terpaku pada buku teks. Atau metode pembelajarannya yang fokus pada hafalan daripada pemahaman bacaan. Atau karena perpustakaan sekolahnya yang jarang buka, seperti yang saya alami saat sekolah dasar dan SMP.
Itu baru riset permasalahan di sekolah. Perlu juga diidentifikasi sumber-sumber masalah pada seting yang lain. Di rumah, perpustakaan daerah, dinas pendidikan, sampai kebijakan-kebijakan dan berbagai regulasi di tingkat kementrian.
Adanya bukti-bukti empiris demikian akan membantu para pemangku kepentingan dapat mendiagnosis masalah secara akurat. Sehingga, mereka juga dapat menyusun kebijakan-kebijakan yang lebih tepat.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi, tidak adanya landasan riset empiris tersebut yang menjadikan tingkat literasi membaca kita tidak banyak beranjak naik, meskipun program peningkatan literasi membaca ini telah dilakukan dalam rentang waktu yang panjang.
Penulis juga kesulitan menemukan laporan riset empiris tentang faktor-faktor yang memengaruhi minat baca masyarakat Indonesia. Padahal, riset-riset empiris tersebut sangat penting untuk menjadi dasar perumusan kebijakan dan berbagai intervensi peningkatan literasi membaca.
Kita berharap, riset-riset demikian dapat dilakukan. Supaya program peningkatan literasi membaca di Indonesia berjalan sukses. Alhasil, semakin banyak masyarakat yang gemar membaca.
Dan kalau tingkat literasi membaca bangsa Indonesia naik, kita bisa menjadi bangsa yang hebat. Kita memiliki kemampuan menyimak dan berbicara yang bagus. Aktivitas membaca itu akan memperkaya pengetahuan kita, sehingga kita dapat berbicara dengan materi atau isi yang lebih berkualitas.
ADVERTISEMENT
Sebagai dampaknya, ruang-ruang publik kita lebih banyak berisi pertukaran wacana yang berkualitas. Banyak diskusi tentang topik-topik yang lebih bermutu. Topik yang bisa membawa kita menjadi bangsa yang lebih maju.
Ruang publik yang lebih aman dan nyaman. Jauh dari perdebatan tentang hal-hal kurang bermanfaat. Bebas dari lontaran kata-kata kasar yang merenggangkan hubungan sosial. Dan pada akhirnya, bangsa Indonesia menjadi lebih sehat secara mental dan sosial.
Sartana, M.A.
Dosen Psikologi Sosial di Universitas Andalas