Konten dari Pengguna

Pintarkan Pesertanya, Bukan Narasumbernya!

Sarwendah Puspita Dewi
Sarwendah Puspita Dewi merupakan seorang pranata humas BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Kegemarannya merangkai kata menggunakan pena sama besarnya dengan kesukaannya membaca aksara dalam wajah dan perilaku manusia.
7 September 2021 13:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sarwendah Puspita Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Foto pribadi (Sarwendah Puspita Dewi/2021)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Foto pribadi (Sarwendah Puspita Dewi/2021)
ADVERTISEMENT
Badrun dan Kirun baru saja bertemu sapa melalui sambungan telepon genggam. Sebagai teman sekantor di suatu lembaga pemerintahan, Badrun dan Kirun bertukar cerita mengenai aktivitas kerja masing-masing selama musim pandemi ini.
ADVERTISEMENT
Badrun : Run, kamu jadi ikut seminar ‘Bagaimana Cara Membuat Karya Tulis Ilmiah’ kemarin gak?
Kirun : Jadi dong.. Bukannya kamu ikut juga ya?
Badrun : Gak jadi, Run. Kantor memintaku untuk ikut rapat internal. Padahal aku udah pengin banget ikut seminar itu.
Kirun : Wah, sayang banget ya. Padahal topiknya seru loh. Pembicaranya aja lulusan luar negeri, embel-embel gelarnya panjang banget.
Badrun : Ya mau gimana lagi. Namanya juga penugasan. Eh, boleh dong, Run aku di-share hasil seminarnya. Jadi, gimana sih cara nulis KTI itu?
Kirun : Ya gitu deh. Intinya sama aja. Pokoknya nulis, tapi perlu penelitian.
Badrun : Ya masak gitu doang. Kalau cuma seperti itu anak SMP juga tahu. Detailnya dong….
ADVERTISEMENT
Kirun : Mmm.. Gimana ya, susah ngejelasinnya. Slide-nya panjang dan banyak. Pakai bahasa Inggris pula. Aku sendiri bingung! Mau tanya juga gak leluasa, hehe….
Aktivitas berkumpul bagi sekelompok masyarakat pekerja ataupun pegawai di suatu organisasi di era new normal ini dilakukan secara daring, memanfaatkan fasilitas teknologi tercanggih abad ini: internet. Seminar, rapat, bimbingan teknis, pengajaran, pelatihan, dan semacamnya yang biasanya dilakukan secara tatap muka tanpa halangan apa pun, kini menjadi bersandar pada gesitnya laju jaringan dan kuatnya sinyal internet.
Individu, lembaga, maupun organisasi dengan mudah dapat menyelenggarakan pertemuan-pertemuan semacam itu. Calon peserta dengan kebutuhan yang sesuai pun juga dapat langsung mendaftar dan mengikuti kegiatan tersebut. Apalagi jika dirasa narasumber yang akan mengisi acara tersebut bukan sembarang orang. Gelarnya berderet-deret, tanda ia telah menekuni bidang keilmuan selama bertahun-tahun. Pasti calon peserta memiliki harapan besar untuk mendapatkan banyak ilmu nantinya.
ADVERTISEMENT
Pada saat acara berlangsung, narasumber menampilkan slide presentasi berlembar-lembar. Istilah-istilah asing berbahasa Inggris banyak mendominasi tulisan dalam tampilan slide-nya. Setali tiga uang dengan tampilan materinya, ujaran penyampaiannya pun sering dibumbui dengan kalimat-kalimat berbahasa Inggris yang kadang-kadang terasa asing di telinga peserta. Biasa makan nasi dan jagung, peserta disuguhi hotdog dan hamburger. Bingung bagaimana cara mengunyah sambil menikmatinya, peserta memutuskan untuk manggut-manggut, meng-iya-kan segala pernyataan narasumber sambil meyakini bahwa apa yang disampaikannya pasti benar semua. Secara sadar atau tidak, peserta berhasil dibuat ‘wah’ dengan penyajian narasumbernya, namun entah paham atau tidak dengan isi materi yang disampaikan.
Dengan bahasa yang terdengar asing di telinga peserta, bisa jadi peserta tidak terlalu mampu menangkap dan mengerti isi materi. Hingga acara usai, bisa jadi mereka tidak memperoleh detail isi seminar sesuai harapan mereka. Mereka hanya memahami garis besarnya saja, seperti yang dialami oleh Kirun dalam dialognya dengan Badrun yang menjadi catatan pembuka tulisan ini. Badrun dan Kirun adalah metafora pegawai yang perlu dipintarkan serta ditingkatkan keilmuannya. Dan forum yang diikuti Kirun adalah mimikri dari sekian banyak forum yang acap kali terjadi di sekeliling kita.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari persoalan ini, satu hal yang penting untuk dipersiapkan ketika mengisi acara, khususnya secara daring, adalah cara narasumber membawakan materinya. Bagaimana materi itu dapat disampaikan dengan luwes, dengan down to earth (membumi) dan tentunya disesuaikan dengan budaya dan latar belakang keilmuan peserta agar apa yang disampaikan dapat diserap, dipahami, dan diterima dengan baik oleh peserta. Mungkin saja beberapa di antara mereka benar-benar mampu memahami dengan baik isi seminar, dan bisa jadi masih banyak di antara mereka yang merasakan hal yang sama sebagaimana dialami oleh Kirun.
Kemampuan dan kesadaran akan hal ini semakin penting di era new normal seperti saat ini sebab interaksi antara narasumber dan peserta sangat terbatas. Peserta tidak bisa dengan leluasa menyampaikan ketidakmengertiannya, tidak bisa dengan tegas menegasi uraian sang narasumber bilamana pernyataan narasumber berlandaskan argumen logika yang berbeda dengan argumen sebagaimana yang selama ini ia pahami. Padahal di titik ini, penyamaan persepsi antara peserta dan narasumber seharusnya dapat terjadi.
ADVERTISEMENT
Inilah salah satu tantangan menjadi pembicara/narasumber pada suatu forum secara daring di era new normal. Akses yang terbatas antara narasumber dan peserta menuntut narasumber untuk dapat memastikan bahwa apa yang disampaikan dapat dipahami dengan baik oleh peserta. Ini dikarenakan narasumber tidak bisa melihat secara langsung raut muka kegelisahan, ketidaktahuan, maupun ketidakpahaman peserta sebab biasanya (kebanyakan) peserta menon-aktifkan kamera mereka. Narasumber tidak dapat mengajak pesertanya untuk berdiskusi dengan bebas sebab biasanya isi pikiran peserta ke narasumber dituangkan dalam bentuk tulisan. Kalaupun bisa berdiskusi, itupun juga terbatas, masih tak leluasa.
Itulah mengapa menjadi seorang narasumber secara daring memiliki tantangannya sendiri. Semua ini perlu diperhatikan. Kemampuan dan keterampilan terkait hal ini harus ditingkatkan sehingga diharapkan ke depan jelmaan-jelmaan Kirun lainnya akan dapat diminimalkan.
ADVERTISEMENT