Konten dari Pengguna

Menjadi Adik dan Kakak dalam Kesendirian

Sasmita Nur Azmi
Mahasiswa Jurnalistik di Politeknik Negeri Jakarta
8 Juni 2024 12:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sasmita Nur Azmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan duduk sendirian (sumber: https://pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan duduk sendirian (sumber: https://pixabay.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Sering merasa terabaikan dan terkucilkan,” itulah kalimat yang menggambarkan diriku sebagai anak tengah.
ADVERTISEMENT
Tumbuh dewasa tanpa didengar adalah luka yang membekas dalam setiap sudut hatiku, sebuah kenyataan yang tak pernah kuinginkan.
Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara, terlahir dalam peran ganda dan dituntut harus bisa menjadi Adik yang patuh dan Kakak yang menjadi teladan.
Kakakku hanya lima tahun lebih tua dariku. Aku dilahirkan saat Kakak sedang merasakan kebahagian diberikan hadiah dan dimanjakan oleh Kakek, Nenek, Paman, dan Bibi, serta merasakan manisnya menjadi satu-satunya anak dari Ayah dan Ibu.
Sejak kecil, aku selalu mengikuti kemana pun Kakak pergi, terutama saat ingin bermain. Kehadiranku, seperti bayangan yang mengusik ketenangannya, sering kali membuatnya risih. Kakak merasa kebebasannya terkekang oleh langkah-langkah kecilku yang selalu mengikutinya.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, aku mencari hiburan sendiri. Dalam kesendirian, Nenek, satu-satunya sahabat setia yang menemani langkah-langkah kecilku dan mengisi kesunyian itu dengan cerita-cerita masa lalu.
Ketika aku masuk sekolah TK, Kakak mulai menerima kehadiranku meskipun belum sepenuhnya. Kami mulai bermain boneka dan menonton film kartun secara bersama.
Setiap Idulfitri, Ibu selalu membelikan baju atau mukena yang sama untuk menambah kehangatan di antara kami. Namun, kebersamaan itu tidak pernah sepenuhnya menghapus rasa sepi yang mengintai di sudut hatiku.
Saat sekolah TK, aku selalu dititipkan kepada tetangga untuk berangkat sekolah bersama. Ayah dan Ibu terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka, sementara Kakak harus fokus sekolah. Meskipun di rumah ada Nenek, tetapi sudah tak lagi mampu berjalan jauh untuk mengantarku sekolah.
ADVERTISEMENT
Aku masih ingat perebutan ice cream pertama kami. Kakak menang dan aku hanya bisa menangis. Ayah dan Ibu selalu berusaha mengajarkan Kakak untuk mengalah. Namun, tetap saja, Kakak adalah pusat perhatian mereka. Rasa iri yang timbul perlahan-lahan menggerogoti hatiku, menambah luka yang sudah ada.
Memasuki Sekolah Dasar, aku sering mendapat tugas keterampilan yang sulit. Ayah, dengan keahliannya yang luar biasa, selalu siap membantuku. Ayah menemaniku dan membimbingku dengan sabar dalam menyelesaikan setiap tugas. Hal ini membuat hubunganku dengan ayah semakin erat.
Ayah pernah sesekali mengajakku pergi dengan berjalan kaki melalui jalan pintas, membuat perjalanan kami lebih cepat dan penuh petualangan. Ayah juga membawaku ke tempat-tempat yang belum pernah Kakak dan Ibu kunjungi. Aku mulai menceritakan sedikit demi sedikit kisah di sekolahku kepada ayah, dan aku pun dijuluki “anak ayah” oleh Ibu dan Kakak.
ADVERTISEMENT
Namun, julukan itu tidak bertahan lama. Beberapa tahun berlalu, lahirlah Adikku ke dunia. Kehadiran Adik laki-lakiku mengubah segalanya. Ayah mulai mengutamakannya dan aku merasa peranku tergantikan. Aku bukan lagi hanya seorang Adik, tetapi juga harus menjadi Kakak yang bijaksana.
Kelahiran Adikku bagaikan badai yang menghancurkan kenyamanan hidupku. Perananku berubah dan rasa terabaikan semakin mendalam. Kini, aku berdiri di antara dua hati, mencoba menyeimbangkan cinta yang terkadang terasa tidak adil.
Seiring bertambahnya usia, dunia luar mulai membuka pintu-pintunya untukku. Aku tidak lagi bergantung pada Kakak untuk teman bermain. Ayah yang sibuk dengan Adik laki-laki, membuatku harus menyelesaikan pekerjaan sekolah sendiri. Ibu, yang sejak awal jarang peduli, semakin jauh dari jangkauan.
Bagiku bukan hanya Ayah saja yang berbeda, Kakak pun juga mulai beralih dariku. Kakak lebih sering mengajak Adik laki-lakiku untuk bermain. Kakak juga terlihat lebih sayang dengan Adik terakhirnya dibandingkan dengan diriku. Saat itu, Adik mulai menjadi pusat perhatian oleh Ayah, Ibu, dan Kakak di rumah.
ADVERTISEMENT
Aku selalu merasa diperlakukan tidak adil. Bagaimana tidak? Aku masih ingat saat Ayah membelikan mainan baru untuk Adik dan Ibu memperbolehkan Kakak untuk membeli baju baru. Aku dan Kakak sama-sama perempuan. Kakak selalu memberikan pakaian yang sudah tidak ingin dipakai untuk diriku. Tak hanya pakaian, tas sekolah, sepatu, dan sandal juga diberikan.
Bisa dibilang barang milikku adalah barang bekas kakakku. Untungnya perhatian dari Ayah dan Ibu tidak bekas Kakakku. Sangat jarang aku membeli barang baru karena Ibu pernah berkata, “kan bekas Kakak masih bagus”.
Aku teringat saat rebutan sesuatu dengan Adik, Ibu selalu memarahiku agar mengalah. Adikku selalu menginginkan apa yang aku inginkan dan aku selalu disuruh mengalah. Aku tahu, itu peranku sejak menjadi Kakak, tetapi tidak bolehkah aku merasakan apa yang aku mau, sekali saja?
ADVERTISEMENT
Sejak itu, aku selalu menerima apa yang diberikan untukku meski aku tidak menyukainya. Aku sudah mulai memendam apa pun rasa yang kualami. Rasa terabaikan, memendam, dan kecemburuan tumbuh bersama dalam diriku. Aku menjadi sosok pribadi yang suka menyendiri, jarang berbicara, dan tidak bisa mengekspresikan apa yang kurasakan.
Rasa mandiri dan kesendirian pun juga ikut tumbuh bersama dengan diriku. Aku mulai asik dengan duniaku sendiri. Dalam perjalanan menemukan tempatku sendiri, aku belajar bahwa meski bayangan sering kali menyelimuti langkahku, cahaya selalu ada di suatu tempat, menunggu untuk ditemui.
Aku adalah anak tengah, yang meskipun terasa tersembunyi di antara dua hati, kini kutahu bahwa aku juga memiliki cahaya sendiri yang berkilauan di balik bayangan. Di bawah bayang-bayang kesepian, aku berdiri sendiri, mengarungi lautan kehidupan dengan perasaan yang terpendam, mencoba menemukan tempatku dalam keluarga yang terasa begitu jauh.
ADVERTISEMENT