Konten dari Pengguna

Orang Pintar, Tapi Kenapa Sulit Menjadi Bijak?

Satria Nugraha
Mahasiswa Sarjana di Universitas Pamulang dengan program studi Teknik Informatika tahun 2024
6 Mei 2025 10:25 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Satria Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Kecerdasan yang Tajam, Kebijaksanaan yang Dalam, Mengapa Keduanya Tidak Selalu Sejalan?

lustrasi seseorang berdiri di persimpangan antara kepintaran dan kebijaksanaan. ( Sumber https://pixabay.com/id/photos/pilih-arah-yang-benar-arah-karir-1536336/ )
zoom-in-whitePerbesar
lustrasi seseorang berdiri di persimpangan antara kepintaran dan kebijaksanaan. ( Sumber https://pixabay.com/id/photos/pilih-arah-yang-benar-arah-karir-1536336/ )
Kecerdasan sering kali dijadikan tolak ukur utama keberhasilan di tengah era informasi yang serba cepat dan kompetitif. Gelar akademik, prestasi gemilang, atau kemampuan berpikir logis menjadi simbol orang pintar. Namun, realitas kerap menunjukkan ironi meskipun secara intelektual brilian, tidak sedikit orang yang justru membuat keputusan keliru, bersikap arogan, atau gagal memahami orang lain. Pertanyaannya sederhana, tetapi penting:
ADVERTISEMENT
Secara mendasar, pintar dan bijak adalah dua hal yang berbeda. Pintar berkaitan dengan kemampuan kognitif cara seseorang memproses informasi, berpikir kritis, menganalisis, dan menyelesaikan masalah. Seseorang bisa menjadi pintar melalui pendidikan formal, pelatihan teknis, atau pengalaman akademik. Namun, kebijaksanaan tidak tumbuh dari kecerdasan semata. Ia berkembang melalui perenungan, empati, dan kemampuan memahami manusia secara utuh.
Orang pintar mungkin mampu menyusun strategi yang kompleks, tetapi belum tentu mampu memahami perasaan orang lain. Mereka bisa mahir menjelaskan teori, tetapi tidak selalu peka terhadap realitas sosial. Di sinilah perbedaan itu terasa. Kebijaksanaan bukan soal mengetahui jawaban, melainkan memahami konteks; bukan tentang menang debat, tetapi mampu menahan diri untuk tidak menyakiti.
ADVERTISEMENT
Banyak orang pintar merasa yakin bahwa cara berpikir mereka adalah yang paling benar. Kepintaran bisa menumbuhkan rasa percaya diri, tetapi juga menutup ruang bagi keraguan dan introspeksi. Akibatnya, mereka kurang terbiasa mendengar sudut pandang lain atau mengakui bahwa mereka bisa saja keliru. Padahal, kebijaksanaan justru tumbuh dari keberanian untuk mempertanyakan diri sendiri.
Menjadi bijak membutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan; ia tumbuh dari kepekaan dan pengalaman hidup. ( Sumber https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/ )
Selain itu, bijak tidak lahir dari teori, melainkan dari pengalaman hidup. Dari kegagalan, luka, penyesalan, dan proses berdamai dengan semua itu. Menjadi bijak memerlukan waktu, kepekaan, dan ketulusan sesuatu yang tidak bisa diajarkan di ruang kelas.
Kita kerap mengira bahwa dunia hanya membutuhkan kecerdasan. Padahal, di tengah kompleksitas sosial dan krisis kemanusiaan, yang lebih dibutuhkan adalah kebijaksanaan. Pengetahuan tanpa empati bisa melahirkan keangkuhan. Logika tanpa hati bisa menciptakan jarak. Dan keberhasilan tanpa kedewasaan bisa berakhir dengan kehancuran.
Kebijaksanaan tidak datang seketika; ia adalah perjalanan panjang yang dimulai dari kerendahan hati. ( Sumber https://pixabay.com/id/photos/wanita-sepeda-matahari-terbenam-2711279/ )
ADVERTISEMENT