Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menyoal Kriminalisasi Kebebasan Akademik
15 Juni 2023 16:59 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Satria Unggul Wicaksana Prakasa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat ini kebebasan akademik sedang menjadi ujian serius di alam demokrasi, yakni ketika kebebasan ekspresi warga yang didasarkan pada dasar-dasar saintifik dikriminalsiasi negara. Salah satu kasus penting untuk kita soroti adalah kasus hukum yang menimpa dua aktivis HAM, Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru dan Dewan Penasihat Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik/KIKA), yang saat ini statusnya memasuki proses peradilan dan tahap pemeriksaan perkara, atas tuntutan pencemaran nama baik terhadap Menko Marves, Luhut Binsar Panjaitan (LBP).
ADVERTISEMENT
Tuntutan ihwal Haris dan Fatia yang membahas hasil riset di Papua dan bagaimana keterlibatan jejaring bisnis LBP di Blok Wabu, Papua yang memberikan penderitaan luar biasa bagi warga Papua. Hasil riset yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil dengan judul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua” telah didiskusikan secara terbuka, tapi direspons dengan tindakan kriminalisasi terhadap dua orang yang memahami anatomi konflik di Papua dan mendiskusikan hasil penelitian tersebut.
Ruang kebebasan sipil dan kebebasan akademik direnggut oleh kekuasaan predatoris yang menyasar kepada orang-orang kritis berbasis saintifik seperti Haris-Fatia. Terbaru, sidang mendengarkan keterangan saksi pelapor pada 8 Juni 2023, LBP hadir dan memberikan keterangan alasan mengapa ia memperkarakan Haris dan Fatia atas video yang diunggah di channel YouTube milik Haris yang berjudul 'Ada lord Luhut di balik relasi ekonomi-ops militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada1! >NgeHAMtam'.
ADVERTISEMENT
Setelah sidang sebelumnya pada 29 Mei 2023 LBP mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan dinas di luar negeri, padahal faktanya berdasarkan postingan di media sosial Sri Mulyani, LBP justru masih rapat di Istana Negara, hal tersebut jelas jauh mencederai proses hukum yang berjalan plus aspek moral-publik yang tak dijalankan LBP.
Kejanggalan Hukum
Ada berbagai kejanggalan terhadap proses hukum yang dijalani oleh Haris-Fatia dalam tindakan intensi jabatan (malicious intent) yang dilakukan, antara lain proses mediasi dihentikan sepihak oleh Penyelidik dan/atau Penyidik, Saksi Pelapor tidak mau menghadiri undangan klarifikasi di Podcast yang sama, kemudian penyelidikan/penyidikan dugaan pelanggaran HAM dan tindak pidana korupsi, gratifikasi dan/atau suap yang diduga melibatkan LBP seharusnya didahulukan penegakan hukumnya.
ADVERTISEMENT
Lalu, LBP sebagai pelapor tidak pernah diperiksa pada tahap penyelidikan, kemudian kejanggalan surat dakwaan yang cacat formil karena keterangan ahli, Trubus Rahardiansyah yang baru mendapat surat tugas 4 hari setelah diambil keterangannya, hal yang mengejutkan lagi tak ada gelar perkara untuk penentuan penyelidikan dan penyidikan, serta beberapa kejanggalan lainnya.
Fakta-fakta demikian yang membuat ketakutan disertai ancaman dan upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh penguasa, kemudian melahirkan praktik impunitas. Pada konteks ini kita perlu melacak bagaimana aspek hukum dan HAM perlindungan terhadap kebebasan berekspresi di satu sisi, seraya melihat kasus Haris-Fatia sebagai simbol pembungkaman negara bagi aktivis pro-demokrasi, serta bagaimana masa depan kebebasan berekspresi di Indonesia ke depan.
Memaknai Kebebasan Berekspresi dan Akademik
Banyak sarjana telah menyebut bahwa di bawah rezim Joko Widodo telah terjadi kemunduran demokrasi, Aspinall & Mietzner yang menyebut telah terjadi defective democracy (Mietzner, 2016) Vedi R.Hadiz menyebut sebagai democracy setback (R.Hadiz, 2016), democratic decline (P.Power , 2018), democratic regression (Aspinall & Warburton, 2018), neo-authoritarianism (Wiratraman, 2018), dan democratic backsliding (Aspinall & Mietzner, 2018).
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui, Konstitusi UUD 1945 telah menjamin bahwa kebebasan berekspresi merupakan hak dasar warga negara. Hal tersebut tertuang pada Pasal 28C, Pasal 28E, dan Pasal 28F yang masing-masing mengatur hak dasar mendapatkan pendidikan yang layak, kebebasan meyakini dan menyatakan pikiran, serta berkomunikasi dan memperoleh informasi dan menyampaikan informasi dengan gunakan berbagai jenis saluran yang tersedia.
Amnesti Internasional menjelaskan, sepanjang 2019-2022, setidaknya ada 332 masyarakat yang dikriminalisasi dengan menggunakan UU ITE. Selain itu kurang lebih ada 328 serangan fisik/digital yang diarahkan langsung ke masyarakat sipil dengan total 834 korban, mulai dari intimidasi/serangan fisik, kriminalisasi, penangkapan polisi, serangan digital, dan juga pembunuhan di luar prosedur hukum, di mana korban menyasar kepada jurnalis, akademisi kampus, kelompok masyarakat adat, entitas politik dan juga aktivis HAM (Amnesti Internasional, 2022).
ADVERTISEMENT
Ruang kebebasan berekspresi merupakan jantung dari negara demokrasi. Hal ini tentu berimplikasi kepada jaminan kebebasan untuk mendiskusikan suatu fakta, termasuk dalam hal ini adalah hasil riset ilmiah tanpa rasa takut akan ancaman dan diskriminasi. Karena sejatinya ruang dialog harus dibuka luas sehingga praktik impunitas dapat dihapuskan.
Kita tentu menyadari, apa yang dilakukan Haris-Fatia merupakan bagian dari kebebasan akademik, karena konsepsi insan akademik tidak hanya dosen, peneliti, maupun mahasiswa. Namun, siapa pun yang bekerja bagi integritas dan kemanusiaan seharusnya tidak boleh dibatasi ataupun dikekang. Hal ini sejalan dengan Prinsip Surabaya tentang Kebebasan Akademik. Apa yang dilakukan Haris-Fatia melalui pendiskusian hasil riset
Simbol Pembungkaman Suara Kritis
Sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, pula mendiskusikan hasil riset sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebebasan akademik. Tentu, upaya kriminalisasi yang mengarah kepada Haris-Fatia adalah bagian dari upaya pembungkaman negara terhadap nalar kritis warga sipil. Ancaman kriminalisasi menjadi kian lazim karena bebalnya pejabat publik terhadap kritik di satu sisi, dan bagaimana benturan kepentingan (conflict of interest) antara urusannya sebagai penyelenggara negara serta kepentingan bisnis yang dilakukan.
ADVERTISEMENT
Benturan kepentingan ini semakin direnggangkan dengan bekerjanya jaringan oligarki yang kendalikan negara. Gene Sharp dalam bukunya “From Dictatorship to Democracy: a Conceptual Framework for Liberation” (Gene Sharp, 2002) menyebut kolapsnya suatu negara diakibatkan praktik diktatorisme yang membiarkan terjadinya suatu kemiskinan, kriminalitas, birokrasi yang tak efisien, serta upaya merusak lingkungan hidup dan meninggalkan jejak rezim yang brutal.
Kasus Haris-Fatia, telah cukup membuka mata publik, bahwa serangan terhadap masyarakat sipil dalam bentuk kriminalisasi akan memberikan efek pada kemunduran demokrasi kita. Dan lebih spesifik, akan berdampak pada masa depan kebebasan berekspresi dan akademi di Indonesia. Dalam konteks demokrasi dan HAM, jangan mudah mengkriminalisasi kebebasan akademik atau produk akademik yang berbasis keilmuan.