Konten dari Pengguna

Terus Dinyinyiri, Memangnya Kenapa Dengan Program Naturalisasi Timnas Indonesia?

Satrio
Mahasiswa Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Yogyakrta
1 Oktober 2024 11:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Satrio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Para pemain dan staff pelatih Timnas Indonesia seusai menahan imbang Arab Sausi 1-1 dalam laga pertama Grup C Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia di Jeddah, 6 September 2024 WIB. (Instagram/@PSSI)
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain dan staff pelatih Timnas Indonesia seusai menahan imbang Arab Sausi 1-1 dalam laga pertama Grup C Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia di Jeddah, 6 September 2024 WIB. (Instagram/@PSSI)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat ini sepakbola Indonesia sudah mengalami perkembangan, terbukti dengan berhasilnya lolos ke putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia dan berhasil naik ke peringkat 129 setelah menahan imbang Arab Saudi dan Australia dimana mereka adalah langganan piala dunia. Hal itu tidak lepas dari peran Shin Tae-yong sebagai pelatih dan juga para pemain termasuk pemain naturalisasi.
ADVERTISEMENT
Sekarang Indonesia sudah memiliki sejumlah pemain naturalisasi, kemarin Mees Hilgers dan Eliano Reijnders sudah menjalani proses pengambilan sumpah menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) pada 30 September 2024 dan siap untuk memperkuat Timnas Indonesia. Dan mungkin PSSI akan terus menambah pemain keturunan untuk dinaturalisasi dan memperkuat Timnas Indonesia.
Dengan adanya hal itu, PSSI terus mendapat kritik dan nyinyiran karena terlalu banyak mendatangkan pemain naturalisasi. Contohnya, baru-baru ini Hifni Hasan Komite Eksekutif (Exco) NOC Indonesia memberikan kritik di hadapan pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae-yong secara langsung pada acara Santini Jebreeet Media Award.
"Pertama saya mau berbicara tentang coach Shin Tae-yong. Jadi saya orang yang paling keras untuk masalah naturalisasi. Saya coba memberitahu kepada beliau, jangan terlalu banyak pemain naturalisasi dibawa ke tubuh sepakbola Indonesia," kata Hifni Hasan.
ADVERTISEMENT
Lalu baru-baru ini juga ramai dibicarakan spanduk yang ada di Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) di bilangan Jakarta. Dalam spanduk itu bertuliskan tolakan kepada program naturalisasi di Timnas Indonesia.
Viral spanduk menolak pemain naturalisasi di Timnas Indonesia. (Instagram/@garuda.feast)
"NATURALISASI BUKAN KAMI....KAMI ANAK KAMPUNG SINI(AKAMSI), MASYARAKAT SEPAKBOLA INDONESIA (MBSI)," tulisan dalam spanduk tersebut.
Sebenarnya masih banyak krikitikan-kritikan soal program naturalisasi ini dan sudah dimulai sejak semakin seringnya PSSI melakukan naturalisasi pemain.
Program naturalisasi yang dilakukan oleh Timnas Indonesia seharusnya sudah jelas memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas tim. Lalu, mengapa kritik terus bermunculan? Mari kita bahas mengapa hal itu bisa terjadi.
Identitas Nasional
Beberapa pihak berpendapat bahwa naturalisasi pemain asing dapat mengaburkan identitas nasional dalam sepakbola, karena Timnas seharusnya menjadi cerminan dari bakat dan potensi pemain lokal.
ADVERTISEMENT
Mengurangi Fokus Terhapap Pembinaan Pemain Muda
Program naturalisasi sering dikatakan sebagai jalan pintas untuk meraih prestasi instan, sehingga mengalihkan perhatian dari pembinaan pemain muda lokal.
Peluang Untuk Pemain Lokal
Banyak yang berpendapat bahwa program naturalisasi mengurangi peluang bagi pemain lokal untuk bisa tampil di timnas.
Kritik yang muncul mungkin berasal dari orang yang memiliki rasa nasionalime yang tinggi atau mungkin berasal dari orang yang iri terhadap perkembangan sepakbola Timnas Indonesia.
Namun, penting untuk mengingat bahwa para pemain naturalisasi juga sudah merupakan bagian dari warga Indonesia. Jadi, seharusnya kita harus mendukung dan tidak usah membeda-bedakan pemain lokal dengan pemain naturalisasi, karena mereka juga berjuang untuk bisa membanggakan Indonesia dan membuat sepakbola Indonesia semakin berkembang.
ADVERTISEMENT
Satrio, mahasiswa Teknologi Pendidikan UNY