Konten dari Pengguna

Menelisik Kebenaran dalam Putusan Penundaan Pemilu 2024

Satrio Alif
Peneliti di Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
13 Maret 2023 9:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Satrio Alif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Menggunakan Hak Suara. Sumber: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Menggunakan Hak Suara. Sumber: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Seminggu ke belakang, masyarakat kembali dibuat heboh oleh isu penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Isu penundaan Pemilu 2024 memang sudah berulang kali bergaung dari sejak dua tahun lalu, namun hanya sebatas wacana yang disampaikan oleh para tokoh politik saja.
ADVERTISEMENT
Wacana tersebut digulirkan dengan berbagai alasan mulai dari Pandemi COVID-19 yang belum usai, permasalahan resesi ekonomi yang tengah menghantui seluruh dunia, sampai dengan konflik bersenjata antara Ukraina dan Rusia yang belum juga reda.
Setelah sempat mereda beberapa bulan ke belakang, isu penundaan Pemilu 2024 kembali menghangat pasca munculnya Putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakarta Pusat) dengan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt Pst pada tanggal 2 Maret 2023 yang lalu.
Putusan tersebut dalam amar putusannya menyatakan beberapa poin yang salah satunya adalah melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang dua tahun 4, empat bulan, tujuh hari.
Meskipun sama sekali tidak ada kata penundaan pemilu dalam putusan tersebut, keberadaan kata mengulang pelaksanaan menjadi bermasalah karena terdapat penyebutan waktu secara spesifik yang mana lewat dari tanggal pelaksanaan Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024.
ADVERTISEMENT

Kontroversi Putusan Penundaan Pemilu

Ilustrasi mencoblos saat pemilu. Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Jakarta Pusat, Putusan Penundaan Pemilu diajukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) yang diwakili oleh Agus Priyono dan Dominggus Oktavianus Tobu Kiik selaku penggugat kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai tergugat pada 8 Desember 2022.
Perkara ini menggunakan landasan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU terhadap rekomendasi yang diterbitkan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengenai Keputusan KPU yang tidak meloloskan Partai Prima sebagai Peserta Pemilu 2024. Partai Prima mendalilkan bahwa KPU tidak melaksanakan rekomendasi dari Bawaslu secara tepat.
Dalam keterangannya, Partai Prima menyatakan bahwa KPU tidak menjalankan rekomendasi Bawaslu secara keseluruhan untuk melakukan verifikasi administrasi ulang. Hal tersebut menurut Partai Prima merugikannya karena KPU akhirnya kembali memutuskan Partai Primatidak memenuhi syarat. Padahal, komponen-komponen lain yang ada di dalam Putusan Bawaslu tersebut dapat dipenuhi.
ADVERTISEMENT

Tidak Berwenang Memutuskan

Dalam berbagai tanggapan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang maupun para akademisi, rasa-rasanya semuanya sepakat bahwa kewenangan untuk memutuskan permasalahan sengketa dalam pemilihan umum bukan ranah PN Jakarta Pusat sebagai Pengadilan Negeri.
Pada dasarnya, permasalahan penetapan partai politik peserta pemilu merupakan sengketa proses yang menjadi kewenangan Bawaslu sebagaimana diatur pada Pasal 93 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Lebih lanjut, Bawaslu akan mengeluarkan rekomendasi yang harus dipatuhi oleh KPU untuk dilaksanakan atas dugaan pelanggaran administrasi yang dilakukan.
Pada kasus ini, Bawaslu melalui Putusan Nomor 002/PS.REG/BAWASLU/X/2022 memerintahkan kepada KPU untuk melakukan verifikasi administrasi ulang terhadap Partai Prima dan lima Partai lainnya yang dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk menjadi partai politik peserta Pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Dari verifikasi administrasi ulang tersebut, hanya Partai Ummat yang lolos dari verifikasi administrasi ulang tersebut. Kondisi tersebut mendorong Partai Prima untuk melakukan beberapa upaya hukum lainnya dalam rangka memperjuangkan hak politiknya, menjadi partai politik peserta Pemilu 2024.
Upaya hukum tersebut berupa gugatan ke Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta). Dalam upaya hukumnya ke Bawaslu, Permohonan Partai PRIMA diputuskan tidak dapat diterima karena telah pernah diputus sebelumnya.
Putusan tersebut diambil berdasarkan Pasal 15 ayat (2) poin a Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa terdapat pengecualian terhadap Keputusan KPU yang dapat diajukan gugatannya ke bawaslu yaitu Keputusan KPU mengenai tindak lanjut dari Putusan Bawaslu tentang penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu.
ADVERTISEMENT
Kondisi serupa juga dialami pada Gugatan yang dilayangkan Partai Prima ke PTUN Jakarta. Dalam gugatan tersebut, PTUN Jakarta memutuskan gugatan tersebut tidak dapat diterima pada tahap dismissal process karena objek sengketanya hanya berita acara saja.
Padahal, objek sengketa yang dapat diajukan ke PTUN adalah Keputusan KPU yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Pasal 470 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Kedua upaya hukum yang berujung pada kegagalan tersebut bermuara pada gugatan ke PN Jakarta Pusat.

Ruang Kosong dalam Pemilu Kita

Terlepas dari permasalahan penundaan pemilu yang menjadi pembahasan hangat pasca dikeluarkannya Putusan PN Jakarta Pusat tersebut, Putusan tersebut sejatinya membuka tabir bahwa terdapat celah hukum yang dimiliki dalam penyelenggaraan pemilihan umum hari ini. Celah hukum tersebut terdapat pada pengecualian Keputusan KPU yang dapat dijadikan landasan Permohonan ke Bawaslu sebagaimana yang disebutkan di atas.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut tentu merugikan bagi seluruh peserta pemilihan umum karena kehilangan haknya untuk dapat memperoleh keadilan atas Keputusan KPU. Meskipun sudah terdapat Putusan Bawaslu, tidak terdapat kepastian tindakan KPU pasca adanya Putusan Bawaslu dapat memenuhi rasa keadilan tersebut. Oleh karena itu, pelarangan Keputusan KPU hasil tindak lanjut dari Putusan Bawaslu seharusnya bukan menjadi hak yang mutlak dan tidak dapat diajukan upaya hukum.
Dengan demikian, Keputusan KPU yang dikeluarkan dengan alasan apapun seyogyanya memiliki upaya hukum untuk mengujinya. Upaya hukum tersebut diperlukan untuk memastikan hadirnya ruang bagi peserta pemilihan umum untuk memperjuangkan haknya. Perjuangan hak tersebut merupakan langkah mewujudkan penyelenggaraan pemilihan umum yang keadilan.