Konten dari Pengguna

Mengupas Fenomena 'Atas Nama' dalam Gerakan Mahasiswa

Satrio Alif
Peneliti di Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
23 Juni 2023 18:48 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Satrio Alif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi Aksi Tolak Statuta UI di depan gedung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 3 Desember 2021. Foto: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi Aksi Tolak Statuta UI di depan gedung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 3 Desember 2021. Foto: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Saat Ujian Akhir Semester (UAS) tengah berlangsung bagi mahasiswa pada sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Depok, terdapat diskursus yang menarik mengenai aktivisme–dan tentunya gerakan–mahasiswa. Diskursus tersebut dipicu atas "saling" balas gagasan di Instagram Story antara dua orang ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
ADVERTISEMENT
Keduanya seolah saling sindir terkait dengan permasalahan keberpihakan elemen kampus dalam spektrum politik yang ada, baik yang dicerminkan dalam politik kekuasaan dengan mendukung kandidat/partai tertentu maupun politik anti-kekuasaan melalui kolaborasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk melakukan agenda bersama.
Diskursus dimulai dengan unggahan Instagram Story dari ketua BEM petahana yang mempertanyakan pencantuman nama almamater dalam gerakan sosial yang berisikan alumni maupun mahasiswa aktif pendukung salah satu kandidat dalam pemilihan umum nanti.
Narasi tersebut mendapat balasan dari seorang ketua BEM Fakultas demisioner yang notabene menjadi bagian dari gerakan yang dipertanyakan tadi. Balasan tersebut dilakukan dengan mengangkat berita terdapat seorang bekas ketua BEM mencalonkan diri sebagai seorang calon anggota legislatif (caleg), padahal ia merupakan kritikus ulung penguasa saat menjabat.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut diangkat oleh sang ketua BEM demisioner dengan argumentasi bahwa banyak aktivis mahasiswa yang "menipu" rakyat karena berjuang atas nama rakyat dan mendiskreditkan kekuasaan, namun pada akhirnya berjuang untuk ikut serta memperoleh kekuasaan.
Bagi penulis, kedua argumentasi tersebut sah-sah saja. Hal ini dikarenakan setiap pendapat dalam diskursus antar kedua ketua BEM tersebut memiliki pendukungnya masing-masing, baik dari pihak yang pro maupun yang kontra akan keberpihakan politik mahasiswa khususnya berbentuk dukungan pada kandidat tertentu.
Lebih lanjut, keberpihakan politik yang berbeda tersebut juga merupakan hal yang alamiah karena keduanya mewakili spektrum politik berbeda yang ada di masyarakat–termasuk kampus. Sehingga, argumentasi keduanya tentu saja memiliki spektrum dukungannya sendiri-sendiri.
Dibanding sekadar memperdebatkan permasalahan pilihan dukungan politik masing-masing orang, terdapat permasalahan lebih substansial dalam dukung-mendukung tersebut yang menjadikannya problematika.
ADVERTISEMENT
Permasalahan substansial tersebut adalah penggunaan identitas khas, mulai dari nama, singkatan, sampai dengan corak khas dari suatu instansi–termasuk almamater. Lantas, mengapa gerakan “atas nama” almamater ini menjadi penting?

Keberpihakan Nilai dalam Gerakan Mahasiswa

Esensi dari sebuah pergerakan mahasiswa adalah sebuah gerakan sosial yang dilakukan oleh Mahasiswa. Gerakan sosial sendiri merupakan peristiwa terjadinya pertikaian terorganisir atau sebagai pertikaian antar pelaku terorganisir atas "penggunaan sosial" dari suatu nilai-nilai budaya yang sama.
Maksud dari "penggunaan sosial" tersebut adalah perbedaan kepentingan antar pelaku dalam memahami suatu nilai budaya yang berlaku di masyarakat. Lebih lanjut, perbedaan kepentingan dalam pemahaman tersebut berangkat dari perbedaan nilai yang diyakini oleh antar pelaku.
Dalam konteks tersebut, tentu berbagai gerakan sosial termasuk gerakan mahasiswa tidak dapat dikatakan tidak memihak nilai manapun. Nilai yang dimaksud di sini adalah ideologi yang digunakan sebagai perspektif dalam menguraikan dan menyelesaikan suatu masalah.
ADVERTISEMENT
Keberadaan ideologi tersebut menjadi bahan bakar pergerakan mahasiswa karena kesamaan pemikiran tentang sesuatu yang dianggap benar menjadi pemersatu. Meskipun memiliki preferensi nilai yang berbeda antar aktornya, gerakan mahasiswa memiliki kecenderungan umum melawan kemapanan siapapun penguasanya.
Lebih lanjut, gerakan mahasiswa memiliki kecenderungan ideologi kerakyatan (yang dekat dengan sosial demokrasi), walaupun tidak selamanya seperti itu. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar dikarenakan terdapat kecenderungan nilai dari gerakan mahasiswa mengikuti spektrum politik yang ada di negaranya.
Kondisi tersebut terjadi di Indonesia dalam berbagai bentuk, baik organisasi maupun komunitas yang terdiri atas tiga spektrum besar yaitu nasionalis, nasionalis-religius, dan Islam Politik.
Terkait dengan penerapan pembagian spektrum tersebut dalam tataran praktis, rasa-rasanya sudah diketahui secara umum melalui keberadaan organisasi mahasiswa ekstra kampus yang tergabung dalam Cipayung Plus dan berbagai kelompok advokasi hak asasi manusia yang motor penggeraknya adalah mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Keberadaan berbagai instrumen tersebut memperjelas bahwa pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa mewakili berbagai spektrum politik di Indonesia. Sehingga, setiap aksi maupun penyikapan yang dilakukan oleh organisasi kemahasiswaan internal sudah seyogyanya tidak terlepas dari identitas organisasi eksternal yang dimiliki pengurusnya.

Gerakan Mahasiswa “Atas Nama” sebagai Validasi Eksistensi

Fenomena “atas nama” yang terjadi dalam berbagai institusi–termasuk kampus muncul sebagai residu atas pertentangan nilai yang berkembang dalam institusi tersebut. Dalam konteks kampus secara spesifik, pertentangan nilai yang terjadi dikemas dengan akademis melalui riset ilmiah maupun pengajaran yang menjadikan perdebatan nilai terjadi pada tataran filosofis dan menghasilkan gagasan yang ilmiah.
Label ilmiah tersebut menjadi faktor utama kampus menarik bagi para kandidat untuk dapat memiliki kelompok pendukung karena memberikan verifikasi dukungan yang diberikan kelompok berdasarkan pilihan rasional bukan sekadar perasaan semata.
ADVERTISEMENT
Keberadaan kelompok pendukung tersebut bermakna penting bagi kandidat sebagai simbol dan pembangunan persepsi bahwa ia telah memiliki dukungan dari suatu instansi tertentu.
Simbol tersebut menjadi nilai jual yang akan diangkat dalam bahan kampanyenya sebagai bentuk keunggulan dibandingkan kandidat lain. Bahkan, keberadaan kelompok pendukung ini dapat dikapitalisasi lebih lanjut dalam pelaksanaan kampanye sebagai bukti ‘intelektualitas’ dari kandidat tersebut.
Terlepas dari strategi kampanye kandidat, keberadaan kelompok pendukung menyertakan mahasiswa aktif pada prinsipnya merupakan implementasi dari pertentangan nilai yang ada di kampus.
Hal tersebut lumrah karena terdapat berbagai spektrum dalam gerakan mahasiswa sendiri. Sehingga, keterlibatan mahasiswa pada kelompok pendukung mencerminkan pilihan spektrum politiknya sebagai landasan aktivismenya dalam gerakan mahasiswa.

Posisi Kritis Gerakan Mahasiswa Bukan Sekadar Perihal Keberpihakan

Berangkat dari kondisi pertentangan nilai yang ada di kampus, keberadaan dari gerakan “atas nama” bukanlah suatu hal yang salah. Hal ini dikarenakan keberadaannya merupakan bentuk aspirasi yang ada di mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, keberadaan gerakan “atas nama” jangan dipandang sebagai upaya memperoleh kekuasaan semata yang melibatkan mahasiswa. Seyogyanya, keberadaan dari gerakan ini dilihat sebagai aksi gerakan mahasiswa dengan cara yang berbeda saja melalui berkompetisi dalam merebut kekuasaan.