Konten dari Pengguna

Perppu Cipta Kerja, di Mana Letak Kondisi Mendesaknya?

Satrio Alif
Peneliti di Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
5 Februari 2023 16:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Satrio Alif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Massa buruh demo tolak Perppu Cipta Kerja tiba di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Sabtu (14/1). Foto: Jonathan Devin/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Massa buruh demo tolak Perppu Cipta Kerja tiba di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Sabtu (14/1). Foto: Jonathan Devin/kumparan
ADVERTISEMENT
Menjelang berakhirnya tahun 2022, pemerintah kembali memberikan "kejutan" kepada masyarakat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Peraturan yang dikeluarkan Desember 2022 pada dasarnya bukan merupakan kejutan pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 2022. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa kejutan lainnya yang telah dihadirkan Pemerintah sebelum itu seperti kenaikan harga bensin jenis pertalite, kenaikan tarif dasar listrik, dan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai menjadi 11 persen.
Jika dibandingkan dengan kejutan lainnya yang diberikan oleh pemerintah, rasa-rasanya kemunculan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 menjadi yang paling mengejutkan. Rasa kejutan tersebut makin menjadi-jadi karena keberadaan Perppu ini tiba-tiba disahkan dan diumumkan kepada masyarakat secara sepihak dari Pemerintah tanpa ada desas-desus sebelumnya.
Kondisi tersebut berbeda dengan beberapa kejutan lainnya dari pemerintah yang sempat menjadi bahan diskursus dan perdebatan di masyarakat seperti permasalahan kenaikan pajak pertambahan nilai dan harga bensin.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari situs resmi Sekretariat Kabinet, Airlangga Hartarto selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dalam siaran pers pengumuman penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tersebut dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai bentuk antisipasi terhadap resesi ekonomi global dan geopolitik khususnya konflik Rusia-Ukraina yang belum berkesudahan.
Lebih lanjut, Airlangga menerangkan bahwa keberlanjutan konflik tersebut berakibat pada terjadinya krisis pangan perekonomian, pangan, dan iklim. Di samping itu, Airlangga juga menyinggung tentang keberadaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang membatalkan keberlakuan dari UU Cipta Kerja memberikan ketidakpastian hukum bagi para pelaku usaha dan investor yang mana hal tersebut berupaya diatasi dengan mengeluarkan Perppu ini.
Pernyataan Airlangga tersebut menimbulkan pro dan kontra yang besar di masyarakat. Perdebatan paling besar yang muncul berkaitan dengan konstitusionalitas Perppu ini yang ditempatkan sebagai jawaban atas putusan MK yang membatalkan keberlakuan dari UU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, terdapat pula permasalahan rasionalisasi yang digunakan oleh Pemerintah dalam mengeluarkan Perppu ini yang masih bersifat spekulatif dan asumtif karena kekhawatiran tersebut belum memiliki konsekuensi konkret. Permasalahan Rasionalisasi ini akan dikupas secara lebih mendalam dalam tulisan ini.

Persyaratan Dikeluarkannya Perppu

Sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan, Perppu memiliki kedudukan sejajar dengan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Jika kita kaji secara konstitusional, penempatan kedudukan sejajar tersebut berlandaskan pada kondisi kedua jenis peraturan tersebut yang disebutkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Lebih lanjut, UUD NRI 1945 mengatur Perppu melalui pengaturan khusus yang spesifik mengenai prosedur pembentukannya sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD NRI 1945.
ADVERTISEMENT
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa Perppu hanya dapat ditetapkan Presiden dalam kondisi mendesak saja dan perlu persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengesahkan keberlakuannya.
Meskipun prosedur pembentukannya sudah jelas karena diatur secara eksplisit di dalam UUD NRI 1945, terdapat ketidakjelasan terkait dengan maksud dari frasa kegentingan yang memaksa. Ketidakjelasan ini kemudian menjadi landasan pengujian undang-undang kepada MK sebanyak beberapa kali seperti Putusan MK Nomor 03/PUU-III/2005 dan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 03/PUU-III/2005, frasa kegentingan yang memaksa tersebut tidak harus disamakan dengan keadaan bahaya dalam tingkatan kondisi kedaruratan sipil, militer, maupun perang.
Lebih lanjut, Prof. Maria Farida Indrati menyatakan bahwa frasa kegentingan yang memaksa ini merupakan penilaian subjektif dari Presiden untuk menentukannya yang kemudian akan menjadi objektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.
ADVERTISEMENT
Sebagai upaya untuk membatasi terlalu umumnya arti frasa kegentingan yang memaksa, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa terdapat tiga syarat untuk menyatakan suatu situasi termasuk ke dalam kegentingan yang memaksa antara lain, yang pertama adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang
Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai. Dan yang ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang- Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Pemenuhan Kondisi Mendesak dalam Perppu Cipta Kerja

Sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian permulaan tulisan ini, landasan utama pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja adalah ketidakpastian situasi global di bidang geopolitik dan perekonomian yang berpotensi turut berdampak pada pelemahan perekonomian Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut dalam hemat penulis sangat kontras dengan realita di lapangan yang menunjukkan perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 5,72 persen pada triwulan ketiga tahun 2022. Lebih lanjut, dalam proyeksi perekonomian Indonesia di tahun 2023 yang ada dalam rancangan undang-undang tentang Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (UU APBN) berada pada angka 4,9-5,2 persen.
Artinya, pemerintah sendiri masih merasa optimis dengan kondisi perekonomian nasional di tahun 2023. Meskipun Perppu ini disahkan pada akhir Desember 2023 dan UU APBN sendiri disahkan pada akhir September 2023, situasi global pada rentang masa tersebut tidak mengalami perubahan di mana konflik Rusia-Ukraina tetap saja terjadi.
Lebih lanjut, alasan tersebut jika dikaitkan dengan ketiga syarat yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang disebutkan pada Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 juga tidaklah memenuhi syarat-syarat yang ada.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut dikarenakan UU Cipta Kerja sendiri pada dasarnya merupakan gabungan dari sekitar 79 undang-undang yang telah ada sebelumnya. Artinya, tidak terdapat kekosongan hukum terhadap permasalahan yang diperkarakan dan kondisi mendesak pun tidak terpenuhi berdasarkan argumentasi penulis pada paragraf sebelumnya.
Dengan demikian, kondisi tersebut bermuara pada satu pertanyaan mendasar yaitu apakah terdapat kondisi mendesak sebagai dasar pengeluaran Perppu tersebut?