Konten dari Pengguna

Potret Demokrasi Waktu Pandemi

Satrio Alif
Peneliti di Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
29 Mei 2023 21:01 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Satrio Alif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah Satu Demonstrasi pada masa Pandemi COVID-19 di Amerika Serikat. Sumber: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Salah Satu Demonstrasi pada masa Pandemi COVID-19 di Amerika Serikat. Sumber: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Meskipun COVID-19 telah dicabut statusnya oleh World Health Organization (WHO) sebagai pandemi per tanggal 5 Mei 2023 yang lalu, Indonesia sendiri tercatat belum mengeluarkan peraturan baru untuk mencabut Keputusan Presiden Nomor 11 dan Nomor 12 Tahun 2020 yang menjadi dasar penerapan kedaruratan COVID-19 sebagai pandemi. Sampai dengan hari ini, Indonesia masih terus mengalami penambahan pasien penderita COVID-19. Tercatat, terdapat penambahan kasus sebanyak 1.768 orang yang dinyatakan positif COVID-19 pada tanggal 10 Mei 2023.
ADVERTISEMENT
Angka tersebut pada dasarnya relatif sedikit, jika kita bandingkan dengan pengalaman Indonesia sepanjang dua tahun lalu saat COVID-19 sedang ganas-ganasnya. Hal tersebut dapat dilihat dari penambahan kasus yang pernah mencapai angka lebih dari 50.000 kasus baru per hari saat menyebarnya COVID-19 varian delta di Indonesia. Secara akumulatif, Indonesia memiliki total kasus COVID-19 sebanyak 6.792.173 orang. Angka ini bahkan lebih besar dari perolehan suara dari Partai Persatuan Pembangunan yang notabene merupakan partai politik pemilik kursi parlemen.

Perubahan akibat Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia sejak awal tahun 2020 berdampak kepada kehidupan seluruh lapisan masyarakat. Pandemi ini bukan hanya berdampak pada aspek kesehatan saja. Lebih dari itu, pandemi ini mengubah tatanan kehidupan yang ada di masyarakat pada seluruh aspek kehidupan. Contoh dari perubahan tatanan kehidupan tersebut adalah kebiasaan baru untuk sering mencuci tangan dan memakai masker serta penerapan protokol kesehatan yang ditujukan untuk menekan angka penderita COVID-19.
ADVERTISEMENT
Perubahan tatanan kehidupan ini menyebabkan terjadinya disrupsi pada seluruh lini kehidupan. Hal ini mengakibatkan semua orang harus beradaptasi dengan adanya pola-pola kehidupan yang baru. Munculnya pola kehidupan baru tersebut mendorong terjadinya perubahan di bidang sosial politik untuk mengakomodasi pemenuhan hal tersebut seperti dengan realokasi anggaran untuk membantu penanggulangan Pandemi COVID-19 sekaligus mengatasi dampak yang hadir di berbagai sektor kehidupan akibat terjadinya Pandemi COVID-19.

Mulai dari Legislasi, sampai dengan Cawe-Cawe di Perguruan Tinggi

Permasalahan tersebut dalam hemat penulis bukan hanya sebatas tentang komunikasi politik yang kurang baik dari pemerintah di masa pandemi. Lebih dari itu, penulis mencium terdapat pergeseran orientasi politik hukum Indonesia ke arah sistem demokrasi pasar yang ditandai dengan pengesahan UU Cipta Kerja dan Perubahan Statuta UI yang menekankan pada penyesuaian instrumen negara termasuk di dalam bidang pendidikan terhadap kebutuhan industri.
ADVERTISEMENT
Dalam hemat penulis, hal ini berimplikasi positif pada kesesuaian sumber daya manusia Indonesia dengan kebutuhan pasar yang membuat penyerapan tenaga kerja menjadi tinggi. Kondisi tersebut Indonesia telah masuk ke masa bonus demografi sampai dengan 15 tahun ke depan. Namun, di sisi lain, orientasi tersebut berbahaya bagi dunia pendidikan karena orientasinya hanya untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar, bukan pada bagaimana mencerdaskan bangsa dengan menghasilkan intelektual-intelektual baru.
Terkait dengan UU Cipta Kerja, penulis hendak membahas beberapa bagian yang sangat menunjukkan keberpihakan kepada sistem demokrasi pasar yaitu lingkungan, perizinan usaha, dan hukum perusahaan. Salah satu tujuan utama dari UU Cipta Kerja adalah memberikan kemudahan pembukaan usaha dan masuknya investasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal ini tercermin dari Pasal 6 UU Cipta Kerja yang menyatakan bahwa Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha meliputi: a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko; b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha; c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan d. penyederhanaan persyaratan investasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah melalui peraturan ini mendorong kemudahan seluas-luasnya dalam rangka meningkatkan investasi yang sejalan dengan sistem demokrasi pasar.
Selain itu, perubahan besar terjadi di bidang lingkungan di mana izin lingkungan dihapuskan dan digabungkan dengan izin usaha. Posisi izin lingkungan tersebut digantikan dengan persetujuan lingkungan yang merupakan syarat diterbitkannya izin usaha sebagaimana disebutkan dalam pasal 13 dan dibahas secara terperinci pada paragraf ketiga bagian ketiga UU Cipta Kerja. Menurut hemat penulis, hal ini seolah mengenyampingkan perhatian terhadap aspek lingkungan karena kedudukannya yang dianggap sama sebagaimana syarat-syarat administratif lain. Padahal, aspek lingkungan merupakan aspek yang akan terdampak langsung dari keberadaan suatu investasi.
ADVERTISEMENT
Di samping kedua aspek yang telah disebutkan tersebut, definisi perseroan terbatas karena mengubah pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) menjadi Pasal 109 UU Cipta Kerja. Perbedaan definisi antara kedua undang-undang tersebut adalah terletak pada penambahan frasa ‘Badan Hukum perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil.’.
Hal ini secara konseptual berbahaya karena membuat rancu perbedaan antara badan usaha yang kekayaannya terpisah dengan pemilik usaha seperti PT dengan badan kekayaan yang kekayaannya menyatu dengan pemilik usaha seperti perusahaan perseorangan. Dengan dimasukkannya frasa tersebut, konsep perseroan terbatas secara khusus dan badan usaha secara umum menjadi rancu karena terjadi penggabungan konsep antara jenis-jenis badan usaha yang disebutkan tersebut.
ADVERTISEMENT
Perubahan regulasi secara signifikan tidak hanya terjadi secara nasional, perguruan tinggi sebagai kawah candradimuka perkembangan ilmu pengetahuan bangsa juga mengalami perubahan regulasi. Pada tahun 2021 yang lalu, perubahan statuta yang merupakan hukum dasar pada suatu kampus berubah di perguruan tinggi yang menyandang nama bangsa, Universitas Indonesia (UI).
Perubahan ini tidak hanya sekadar kebolehan rangkap jabatan saja sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 35 PP No. 75 Tahun 2021 tentang statuta UI. Lebih dari itu, terjadi perubahan paradigma dari perguruan tinggi yang seharusnya netral terhadap pihak luar menjadi aktif berkolaborasi dan bermitra dengan pihak luar kampus seperti perusahaan swasta dan instansi milik negara. Hal ini dapat dilihat dari konsep rangkap jabatan yang terdapat pada pasal 39 PP No. 75 Tahun 2021 yang mengubah Pasal 29 PP No. 68 Tahun 2013 di mana pimpinan universitas yaitu Rektor, Wakil Rektor, dan Sekretaris Universitas Indonesia hanya dilarang untuk menjadi direksi di Badan Usaha Milik Negara maupun perusahaan swasta.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut tentu kontras dengan peraturan pada statuta lama yang melarang pimpinan UI untuk menjadi pejabat dalam posisi posisi apa pun di Badan Usaha Milik Negara maupun perusahaan swasta. Dalam hemat penulis, perubahan statuta tersebut dilandasi oleh konsep triple helix yaitu konsep untuk membangun sinergi antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah. Hal ini diindikasikan melalui keterlibatan perguruan tinggi ke dalam industri dan begitu pula sebaliknya yang dapat dilihat dari susunan Majelis Wali Amanat (MWA) universitas yang berasal dari industri maupun susunan komisaris di beberapa korporasi yang berasal dari tokoh perguruan tinggi.
Intervensi pemerintah secara mendadak tidak hanya terjadi di UI saja, baru-baru ini permasalahan serupa juga terjadi di UNS. UNS yang seharusnya memiliki rektor baru pada 11 April 2023 yang lalu-atau setidaknya rektor lama dapat diperpanjang masa jabatannya melalui mekanisme pemilihan harus menghadapi konflik internal. Hal ini dikarenakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi secara mendadak menyatakan bahwa regulasi MWA terkait dengan pemilihan rektor batal dengan alasan ketidaksesuaian dengan regulasi mutakhir. Pembatalan peraturan tersebut membuat rektor UNS terpilih, Prof. Dr. Sajidan tidak dapat dilantik dan menjadi landasan bagi perpanjangan jabatan bagi Prof. Dr. Jamal Wiwoho.
ADVERTISEMENT
Kedua tindakan di atas yang dilakukan oleh Pemerintah membahayakan independensi dan kebebasan akademik dari perguruan tinggi sebagai etalase ilmu pengetahuan. Kebebasan akademik pada prinsipnya adalah implementasi dari nilai demokrasi yang hadir di ruang-ruang kampus sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan bagi civitas akademika kampus yang notabene merupakan akademisi. Sehingga, pengekangan terhadap kebebasan akademik merupakan salah satu bentuk pengekangan demokrasi.

Represifitas Aparat Atas Nama Pencegahan Penyebaran Pandemi

Di samping pergeseran secara politik hukum, pergeseran juga terjadi pada aspek kebebasan berpendapat di mana represifitas aparat cenderung meningkat yang dapat ditandai dengan kecenderungan unsur represif yang digunakan aparat untuk menjaga ketertiban umum. Hal ini tercermin dari cara yang digunakan oleh aparat dalam menghadapi massa demonstrasi aksi tolak UU Cipta Kerja, aksi hari buruh, dan aksi hari pendidikan nasional.
ADVERTISEMENT
Dalam ketiga demonstrasi massa tersebut, aparat cenderung represif dalam menangani massa aksi yang dapat tercermin dari represifitas berupa ancaman dan gerakan fisik seperti pukulan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Bahkan, 9 orang massa aksi yang terdiri dari mahasiswa dan buruh ditangkap oleh pihak aparat kepolisian dan dijadikan tersangka atas dasar melanggar protokol kesehatan pada aksi demonstrasi untuk memperingati hari pendidikan nasional di tanggal 3 Mei 2021. Hal yang sungguh memprihatinkan bahwa protokol kesehatan yang seharusnya menjadi pedoman bagi seluruh masyarakat untuk dapat beraktivitas di masa pandemi secara aman, malah menjadi alat ‘pukul’ untuk mengkriminalisasi masyarakat yang hendak menyalurkan hak kebebasan berpendapatnya di muka publik.
Menurut hemat penulis, kondisi-kondisi tersebut menunjukkan terjadinya degradasi iklim demokrasi di Indonesia yang tercermin dari partisipasi publik yang minim dalam pembuatan kebijakan dan represifitas aparat yang meningkat. Pernyataan ini diamini oleh data dari The Economist Intelligence Unit (EIU) di tahun 2020 yang menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia berada pada peringkat ke-64 dengan angka 6,3. Perolehan tersebut memang sempat meningkat ke angka 6,71 di tahun 2021. Meskipun demikian, angka tersebut stagnan di tahun 2022. Artinya, EIU menilai demokrasi Indonesia tidak memiliki kemajuan apa pun selama tahun 2021-2022.
ADVERTISEMENT
Serangkaian kejadian yang terjadi selama pandemi beserta data-data yang ada menunjukkan, bahwa Indonesia menghadapi dua ancaman dalam waktu bersamaan yaitu represifitas aparat dan pergeseran politik hukum menuju sistem demokrasi pasar yang dalam hemat penulis kedua hal tersebut bukan hanya berbahaya bagi demokrasi. Lebih dari itu, keduanya merupakan ancaman bagi konsep politik hukum pancasila yang menekankan pada keadilan sosial di mana negara berperan aktif untuk menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakatnya, bukan hanya sebatas memberikan regulasi yang mempermudah perkembangan pasar.