Konten dari Pengguna

Bahaya Laten Kaum Pelangi

satrio nurbantara
Mahasiswa Hukum Keluarga IAIN Pontianak
27 Juni 2023 15:07 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari satrio nurbantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peserta parade komunitas LGBT+ Turki berkumpul untuk meski dilarang oleh otoritas setempat, di pusat Istanbul, Turki, Minggu (25/6/2023). Foto: Dilara Senkaya/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Peserta parade komunitas LGBT+ Turki berkumpul untuk meski dilarang oleh otoritas setempat, di pusat Istanbul, Turki, Minggu (25/6/2023). Foto: Dilara Senkaya/Reuters
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan ini berhembus sebuah kasus ditemukannya grup WA khusus LGBT pada salah satu hp siswa SD Pekanbaru. Beberapa, tahun lalu juga sempat viral salah satu calon mahasiswa hukum UNHAS yang mengidentifikasi diri sebagai non-binary. Ditambah lagi kasus terselipnya unsur LGBT dalam buku LKS, dan beragam kasus serupa lainnya. Adanya kasus-kasus ini menunjukkan bahwa gerakan kaum LGBT dalam memperjuangkan pandangan dan hak-hak mereka masih terus bergerak, meski secara pasif namun masif.
ADVERTISEMENT
Propaganda LGBT yang semakin masif ini selain dipengaruhi oleh kancah dunia barat, juga sebenarnya telah berlangsung cukup lama di Indonesia. Melihat dari sejarahnya, mereka telah memperjuangkan hak-haknya sejak bahkan sebelum era orde baru. Pergerakan step by step ini, bukan tidak membuahkan hasil, ibarat bom waktu ancaman keberadaan mereka layak dikategorikan sebagai bahaya laten.
Gerakan LGBT di Indonesia diyakini dimulai dengan berdirinya organisasi transgender pertama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD), yang difasilitasi oleh Gubernur Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin, tahun 1969. Wadam merupakan akronim dari Wanita Adam, istilah ini kemudian diprotes karena membawa-bawa Nabi Adam. Kemudian, diganti menjadi Waria alias wanita pria, meski secara politis lebih menggunakan istilah transpuan dan transpria.
ADVERTISEMENT
Bahkan, organisasi GAY pertama di Asia berdiri di Indonesia. Tepatnya di Solo, Jawa Tengah, pada Maret 1982 dengan nama Lambda Indonesia. Mereka mengornasisasi pertemuan sosial terkait meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai hak-hak LGBT. Untungnya, organisasi ini bubar pada 1986.
Namun, organisasi-organisasi lainnya terus bertambah seperti berdirinya IWAYO (Ikatan Waria Yogyakarta), juga Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara (KKLGN) di Pasuruan, sebagai penerus Lambda. Namanya, kemudian secara resmi disingkat menjadi GAYa Nusantara (GN) yang menjadi organisasi LGBT tertua yang terus bertahan bahkan hingga sekarang. Pada 1993, sekelompok organisasi, aktivis dan individu menyelenggarakan Kongres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI) di Kaliurang, dekat Yogyakarta. Dalam Kongres ini, GAYa Nusantara mendapat mandat untuk mengkoordinasi jaringan lesbian dan gay Indonesia. Kongres kedua kemudian diadakan di Lembang, Jawa Barat, pada Desember 1995 dan di Denpasar, Bali, pada 1997.
ADVERTISEMENT
Menjelang berakhirnya rezim orde baru, perjuangan mereka tampak membuahkan hasil. Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan homoseksual dari daftar gangguan kejiwaan melalui Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III tahun 1993. Yayasan Srikandi Sejati didirikan dengan fokus utama pada kesehatan orang-orang transgender. Yayasan Srikandi Sejati ini berfungsi memberikan konseling HIV/AIDS dan juga kondom gratis untuk transgender yang juga pekerja seks di sebuah klinik kesehatan gratis.
Pada Desember di tahun yang sama, Kongres Koalisi Perempuan Indonesia pada 1998 secara resmi mengikutsertakan perwakilan dari komunitas lesbian, perempuan biseksual, dan pria transgender. Pada bulan Oktober 1999, GAYa Nusantara menjadi salah satu pendiri Jaringan Asia/Pacific Rainbow (APR), yaitu sebuah jaringan lesbian, gay, biseks, waria, interseks dan queer Asia dan Asia Pasifik.
ADVERTISEMENT
Kaum pelangi ini terus memperjuangkan hak-haknya. Dibentuknya Ardhanary Institute pada 14 November 2005, sebagai lembaga pusat kajian, penerbitan, dan advokasi hak-hak LBT perempuan. Serta Persaudaraan Gay Arus Pelangi dibentuk pada 15 Januari 2006 di Jakarta, didorong oleh kebutuhan yang mendesak di kalangan komunitas LGBT untuk membentuk organisasi massa yang mempromosikan dan membela hak-hak dasar komunitas LGBT di Indonesia.
Hingga, titik puncaknya pada 17 Mei 2015, puluhan lelaki perempuan, dengan berbagai dandanan, unik maupun wajar, sebagian berjilbab, berunjuk rasa di beberapa titik di kawasan Car Free Day, Jakarta. Dengan aneka atribut pelangi, berpuncak di Bundaran HI. Mereka bagian dari unjuk rasa di seluruh dunia, merayakan Hari Internasional Melawan Homofibia dan Transfobia (IDAHOT).
ADVERTISEMENT
Bahkan, mereka telah sempat berulang kali mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk memperjuangkan hak-haknya. Seperti gugatan atas Pasal 284 KUHP yang menkriminalisasi hubungan seks sesama jenis. Beruntungnya Indonesia dihuni mayoritas umat muslim masih berpegang teguh pada agama menolak LGBT, sebagaimana ditegaskan Pendeta Mell Atock belakangan ini. Sampai sekarang hak-hak LGBT yang mereka perjuangkan masih belum mendapat ruang baik secara normatif maupun sosial. Bahkan, Indonesia termasuk dalam daftar negara yang kurang ramah terhadap transgender di Asia Tenggara.
Mengapa sampai sebegitunya kita perlu waspada terhadap LGBT ini, memang seberapa bahaya jika hak-hak mereka dan paham mereka dinormalisasikan? Perlu diketahui bahwa begitu banyak dampak negatif yang tak sepadan dengan hak asasi manusia yang diperjuangkan dengan yang didapatkan. Diantaranya;
ADVERTISEMENT

LGBT Penyumbang Virus HIV/AIDS Terbesar

Menurut data UNAIDS pada 2019, populasi penderita HIV baru dari kalangan LSL (Lelaki Seks Lelaki) dan transgender mencapai 18 persen. Sementara peningkatan risiko tertular HIV terbesar adalah kelompok LSL (22 kali) sementara kelompok transgender memiliki potensi risiko tertular 12 kali. Jumlah kasus HIV di Indonesia menurut faktor risiko menunjukkan bahwa LSL menyumbang sebanyak 506 kasus pada tahun 2010 dan 555 kasus pada tahun 2011, terjadi peningkatan sebanyak 49 kasus.
Hal ini juga dibuktikan oleh pemerintahan Uganda. Semenjak mereka mulai mengesahkan UU Anti LGBT, kunjungan pasien di pusat pengobatan HIV/AIDS mengalami penurunan drastis. Beragam penyakit menular seksual (PMS) yang terjadi pada kalangan komunitas LGBT ialah sesuatu yang tak dapat lagi disangkal. Hal ini menjadi alasan empuk mengapa LGBT berbahaya jika terus dibiarkan.
ADVERTISEMENT

LGBT Mempengaruhi Tumbuh Kembang Moral Anak

Ketua KPAI menolak LGBT, ia meyakini bahwa faktor pola asuh dalam keluarga dan lingkungan memiliki pengaruh besar atas perilaku homoseksualitas anak, seperti melihat pornografi lalu meniru adegan yang dilihat. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa materi pornografi yang beredar luas di dunia siber sangat banyak mengekspose hubungan seksual sesama jenis dan sangat mudah diakses oleh anak-anak karena minimnya pengawasan dari orang tua.
Oleh karenanya, KPAI terus mewanti-wanti setiap orang tua untuk selalu mengawasi tumbuh kembang anak. Jangan sampai terjangkit virus LGBT. Bahaya fenomena pelangi ini dapat menyebabkan anak mengalami disorientasi seksual ketika dewasa. Propaganda LGBT di kalangan anak sudah meresahkan, bayangkan belakangan ini baru saja ditemukan grup whatsapp khusus LGBT di salah satu hp siswa sekolah dasar.
ADVERTISEMENT

Doktrin LGBT Merenggut Hak Asasi

Mereka memperjuangkan hak asasi, namun di sisi lain malah merenggut hak asasi lainnya. Bukti nyata telah terjadi belakangan ini di Amerika sana. Sekelompok orang tua di Amerika dan Kanada ricuh melakukan unjuk rasa atas pemaksaan doktrin LGBT terhadap anak-anak mereka. Kronologinya, beberapa sekolah di US memasukkan doktrin LGBT ke dalam kurikulum wajib sekolah, hal ini secara tidak langsung telah memaksakan suatu doktrin dan merupakan sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Normalisasi LGBT dapat mengancam kebebasan. Hal ini telah terlihat dari perilaku mereka dalam menyikapi kelompok yang tidak sejalan dengan mereka: diskriminatif, intoleran, playing victim, pemaksaan doktrin, dan hal lainnya mereka lakukan yang sejatinya telah melanggar hak-hak asasi.
ADVERTISEMENT
Serta masih banyak bahaya-bahaya lainnya yang mengancam. Oleh karena itu, wajar jika pemerintah Uganda sahkan UU Hukuman Mati bagi LGBT. Bahkan, Uganda disebut sebagai negara dengan UU Anti LGBT terberat di dunia. Bahkan di California, sekelompok orang tua mengenakan kaos “Jangan ganggu anak kami!” sebagai aksi unjuk rasa atas doktrin LGBT yang masuk dalam kurikulum sekolah. Ini mengindikasikan dengan jelas, lambat laun kaum pelangi akan semakin meresahkan dan membahayakan. Jangan sampai kita terlena, ingat terus awas bahaya laten kaum pelangi!