Konten dari Pengguna

“Broken Family” Dampak Korban Stigmatisasi PKI

satrio nurbantara
Mahasiswa Hukum Keluarga IAIN Pontianak
30 September 2024 9:38 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari satrio nurbantara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi gambar dari freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi gambar dari freepik.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Peristiwa G30S/PKI merupakan salah satu titik kelam dalam sejarah Indonesia yang membawa dampak mendalam bagi berbagai lapisan masyarakat. Di balik narasi utama yang berfokus pada peristiwa politik dan ideologi, ada kisah-kisah yang jarang terdengar, terutama mengenai mereka yang tak bersalah tetapi terperangkap dalam stigma sebagai simpatisan atau bagian dari PKI.
ADVERTISEMENT
Korban-korban yang tidak terlibat langsung dalam gerakan politik tersebut sering kali menjadi sasaran stigmatisasi karena pelabelan sebagai simpatisan atau bagian dari PKI. Bagi mereka yang dianggap terkait dengan gerakan komunis, meskipun tanpa bukti yang kuat, label sebagai "pengkhianat" melekat selamanya. Kisah-kisah mereka jarang terdengar, tenggelam di antara narasi besar yang lebih sering difokuskan pada pertempuran ideologis.
Dampaknya tidak hanya dirasakan secara politis, tetapi lebih dalam lagi, menyentuh struktur dan kesejahteraan keluarga yang tak bersalah. "Broken family" atau keluarga yang hancur, dengan cerita tentang ibu yang dipisahkan dari anak-anak mereka, atau suami yang harus meninggalkan keluarganya demi menyelamatkan diri dari pengejaran, adalah salah satu dampak paling menyedihkan dari stigmatisasi ini.
Ketika rezim Orde Baru menggulingkan kekuasaan Presiden Soekarno, penumpasan terhadap PKI dan mereka yang dianggap simpatisan menjadi sangat keras. Ribuan orang ditangkap, diasingkan, bahkan dibunuh tanpa proses pengadilan yang jelas. Di antara mereka, ada banyak yang tidak pernah terlibat dalam aktivitas politik apapun, tetapi tetap menjadi korban karena dugaan keterlibatan atau sekadar kedekatan dengan seseorang yang dianggap simpatisan PKI.
ADVERTISEMENT
Penangkapan dan pengasingan ini sering kali menghancurkan ikatan keluarga yang sudah terjalin, menyebabkan pemisahan antara suami dan istri, atau orang tua dan anak-anak.
Salah satu contoh yang mencolok adalah Hersri Setiawan, seorang penulis “Memoar Pualu Buru” dan mantan tahanan politik yang dituduh terlibat dalam PKI. Hersri, seperti ribuan lainnya, diasingkan ke Pulau Buru selama lebih dari satu dekade tanpa proses peradilan. Akibatnya, keluarganya hancur, anak-anaknya tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah, sementara istrinya harus berjuang seorang diri untuk bertahan hidup.
Ketika Hersri akhirnya dibebaskan, hubungan dengan keluarganya telah berubah secara drastis. Kesulitan untuk membangun kembali hubungan ini menjadi bagian dari luka emosional yang mendalam akibat stigmatisasi tersebut.
Cerita seperti Hersri Setiawan hanyalah satu dari sekian banyak kisah tragis yang dialami oleh korban stigmatisasi PKI. Banyak di antara mereka tidak pernah terlibat dalam politik, apalagi dalam gerakan komunis, tetapi tetap menjadi sasaran penangkapan dan penahanan karena kedekatan dengan pihak-pihak yang dicurigai.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak kasus, mereka yang diasingkan atau ditangkap tidak pernah kembali, meninggalkan keluarga mereka dalam ketidakpastian yang panjang. Istri, anak, dan orang tua yang ditinggalkan harus hidup dengan rasa malu, ketakutan, dan stigma sosial yang tidak adil. Masyarakat sering kali menganggap mereka sebagai bagian dari “keluarga pengkhianat,” dan ini mengakibatkan mereka terpinggirkan dari komunitas mereka sendiri.
Dampak Psikologis dan Sosial pada Anak-anak
Dampak paling menyedihkan dari stigmatisasi ini dirasakan oleh anak-anak yang tidak memiliki kendali atas situasi politik yang terjadi. Anak-anak dari keluarga yang dituduh PKI sering kali mengalami trauma psikologis yang mendalam. Kehilangan orang tua pada usia yang sangat muda, tanpa mengetahui alasan yang jelas, menciptakan luka emosional yang sulit sembuh. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian, di mana masyarakat menganggap mereka sebagai "keturunan pengkhianat."
ADVERTISEMENT
Stigma ini berdampak langsung pada kesempatan hidup mereka. Banyak dari anak-anak korban tidak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi karena diskriminasi sistematis. Mereka tidak hanya menghadapi penolakan sosial, tetapi juga kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Dalam beberapa kasus, label “anak PKI” begitu melekat sehingga generasi berikutnya harus hidup dalam bayang-bayang dosa yang tidak mereka lakukan. Hal ini membuat mereka terjebak dalam siklus kemiskinan struktural yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Contoh nyata ini dapat dilihat dari kisah yang diangkat dalam film dokumenter "Eksil" karya Lola Amaria. Film ini menggambarkan kehidupan para korban yang terpaksa hidup dalam pengasingan di luar negeri akibat tuduhan simpatisan PKI.
Salah satu tokoh dalam film tersebut adalah Soeprapto, mantan diplomat yang harus meninggalkan Indonesia dan hidup di Eropa. Saat Soeprapto diasingkan, anak-anaknya di Indonesia tumbuh tanpa figur ayah, dan mereka menghadapi stigmatisasi yang parah di tanah air. Lebih dari 40 tahun kemudian, meskipun tinggal di luar negeri, Soeprapto tetap merasakan dampak emosional dari stigma tersebut. Keterpisahan fisik dan emosional dari keluarga menjadi beban yang tak terhapuskan.
ADVERTISEMENT
Pemulihan dan Rekonsiliasi
Di tengah semua penderitaan ini, ada beberapa upaya dari korban untuk memperjuangkan pengakuan dan keadilan. Mereka yang diasingkan atau ditahan tanpa proses hukum yang jelas berusaha untuk membuka dialog tentang penderitaan mereka, meskipun menghadapi tantangan besar. Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk melihat stigmatisasi terhadap korban PKI bukan hanya sebagai masalah politik, tetapi sebagai masalah kemanusiaan yang lebih luas. Keluarga-keluarga ini telah terpecah, hubungan yang erat hancur, dan generasi berikutnya hidup dalam ketidakpastian yang diwariskan oleh sejarah kelam.
Pengakuan terhadap penderitaan korban dan upaya pemulihan hak-hak mereka menjadi langkah penting dalam rekonsiliasi nasional. Sebagai bangsa, kita perlu mengakui bahwa banyak dari korban stigmatisasi ini tidak bersalah, dan bahwa mereka berhak mendapatkan keadilan dan kesempatan untuk mengembalikan martabat mereka. Rekonsiliasi yang sesungguhnya tidak hanya tentang memaafkan masa lalu, tetapi juga tentang memberikan pengakuan terhadap mereka yang telah lama terpinggirkan oleh stigma.
ADVERTISEMENT
Dampak dari stigmatisasi PKI terhadap keluarga korban tidak dapat diremehkan. "Broken family" adalah gambaran nyata dari bagaimana stigma politik dapat menghancurkan unit keluarga yang seharusnya menjadi tempat perlindungan. Kehancuran ini tidak hanya dirasakan oleh generasi yang langsung mengalami penangkapan dan pengasingan, tetapi juga oleh generasi berikutnya yang harus menanggung stigma dan diskriminasi. Narasi tentang keluarga yang hancur akibat stigmatisasi ini perlu terus diungkapkan agar sejarah yang penuh luka ini tidak lagi menjadi alat untuk memecah belah, tetapi menjadi pelajaran untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan manusiawi.
Dengan membuka dialog tentang sisi tak terungkap dari korban stigmatisasi PKI, kita dapat mulai memperbaiki luka sejarah yang masih membekas hingga saat ini. Bagi mereka yang telah lama terpinggirkan, pengakuan dan pemulihan hak adalah langkah awal menuju rekonsiliasi yang sesungguhnya, demi kehidupan keluarga yang sejahtera.
ADVERTISEMENT