Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Berguru Kemandirian Pangan pada Kampung Adat Cireundeu
25 November 2023 15:44 WIB
Tulisan dari Fabian Satya Rabani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Pintu Gerbang Kampung Adat Cireundeu|Foto: dok.pribadi](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01hg2s1jjjm6xznarqps1zbhsm.jpg)
ADVERTISEMENT
Kata Cireundeu berasal dari pohon reundeu, yaitu pohon untuk bahan obat herbal, yang dulu banyak tumbuh di kampung itu. Itulah sebabnya kampung ini dinamai Kampung Cireundeu. Kampung ini berada di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Kampung Adat Cireundeu dikelilingi tiga bukit, yaitu Gunung Kunci, Gunung Cimenteng, dan Gunung Gajahlangu. Luas tanahnya 64 ha terdiri dari 60 ha untuk pertanian dan 4 ha untuk pemukiman. Jumlah penduduk di kampung ini sekitar 50 kepala keluarga terdiri 800-an jiwa.
ADVERTISEMENT
Daerah Cireundeu dibagi dalam tiga leuweung (hutan). (1) Leuweung Larangan (hutan terlarang) ialah hutan yang digunakan untuk penyerapan air. Oleh karena itu masyarakat tidak boleh menebang pohon di daerah ini. (2) Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) ialah hutan tebang tanam. Di sini, masyarakat diperbolehkan menebang pohon untuk keperluan sendiri, misalnya untuk membuat rumah. Namun, masyarakat penebang pohon itu wajib menanam lagi pohon yang baru. Luas daerah ini antara 2-3 ha. (3) Leuweung Baladahan (hutan pertanian) adalah hutan yang telah menjadi lahan pertanian.
Ada sebuah monumen Meriam Sapu Jagat di kanan gerbang masuk Kampung Cireundeu. Monumen ini melambangkan Satria Pengawal Bumi Parahyangan. Di samping monumen berdiri sebuah tugu bertuliskan Wangsit Siliwangi, yaitu jujur, ksatria, membela rakyat kecil, sayang pada sesama, dan menjadi wibawa. Sekitar 50 meter dari gerbang masuk berdiri Saung Baraya dan Bale Saresehan. Saung dan bale ini digunakan warga untuk pertemuan dan pagelaran seni.
ADVERTISEMENT
Adat Istiadat
Kampung Adat Cireundeu sebagian penduduknya menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan berasal dari kata sunda dan wiwitan, artinya Sunda asal atau Sunda asli atau disebut juga agama Jati Sunda. Sampai sekarang mereka konsisten dalam menjalani ajaran kepercayaannya. Mereka terus melestarikan budaya dan adat istiadat Sunda Wiwitan yang diturunkan oleh nenek moyang. Sebagian penduduk yang lain memeluk agama Islam.
Bertempat di Saung Baraya dan Bale Saresehan, setidaknya setahun sekali, mereka menggelar pertunjukan wayang golek. Tradisi ini merupakan bentuk syukur pada Sang Maha Pencipta atas rezeki yang diberikan. Kehidupan yang rukun, toleran, dan gotong royong menjadi keutamaan di kampung ini. Dalam perkawinan misalnya, masyarakat adat dan agama atau kepercayaan lain saling membantu mempersiapkan hajatan dan saat berlangsung pesta sampai selesai.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Kampung Cireundeu memiliki kesenian gondang, karinding, dan angklung buncis. Kesenian ini ditampilkan dalam ritual upacara adat tertentu, misalnya upacara menyambut satu Sura atau upacara penyambutan tamu. Masyarakat adat di sini merupakan bagian dari Sunda Wiwitan di Cigugur-Kuningan-Cirebon, Suku Baduy di Kanekes (Lebak, Banten), Kasepuhan di Cipta Gelar (Banten Kidul), Cisolok-Sukabumi, dan Kampung Naga (Tasikmalaya).
Ada upacara adat Tutup Taun Ngemban Taun. Upacara ini menjadi upacara terbesar yang dilakukan masyarakat Adat Kampung Cireundeu. Perayaan upacara adat Tutup Taun Ngemban Taun seperti perayaan lebaran bagi umat muslim. Saat perayaan ini, kaum laki-laki memakai pangsi hitam dan ikat kepala dari batik. Untuk perempuan memakai kebaya putih.
Mata Pencaharian
ADVERTISEMENT
Seperti sudah disebut bahwa masyarakat Cireundeu menganut tiga konsep pembagian wilayah yaitu hutan yang tidak boleh dieksploitasi, hutan tua harus dijaga, dan hutan yang dapat dimanfaatkan warga untuk pembukaan ladang pertanian. Ini menunjukkan bahwa hidup selaras dengan alam adalah prinsip yang diterapkan oleh masyarakat Kampung Adat Cireundeu.
Di Leuweung Baladahan (hutan pertanian) sebagian besar masyarakat Kampung Cireundeu bekerja sebagai petani singkong. Sejak tahun 1918 ketika sawah-sawah mengering, para leluhur menanam singkong (ketela pohon) sebagai pengganti padi. Tanaman ketela memang dapat dita¬nam pada musim kemarau maupun musim hujan. Sejak itu, makanan pokok penduduk di kampung ini secara turun-temurun adalah singkong. Pada umumnya singkong dibuat beras singkong (rasi) agar lebih awet jika disimpan dan fleksibel pengolahannya. Selain singkong, mereka juga menanam jagung, kacang tanah, dan umbi-umbian.
ADVERTISEMENT
Kemandirian Pangan
Kemandirian pangan merupakan kondisi ketika suatu daerah mampu memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam kawasannya sendiri. Produksi ini dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara bermartabat. Kampung Adat Cireundeu adalah salah satu daerah yang memiliki predikat Desa Swasembada Pangan atau Desa Mandiri Pangan.
Masyarakat adat mengonsumsi rasi sebagai makanan pokok. Hal ini menjadikannya tidak mengonsumsi beras padi. Kebiasaan ini merupakan ketaatan masyarakat adat dalam melestarikan dan mengikuti pesan leluhur. Lagi pula, rasa kenyang dari konsumsi ketela lebih lama dibandingkan dengan padi. Sebagai makanan pengganti beras, singkong yang telah menjadi rasi (beras singkong), dianggap memiliki kecukupan gizi dan karbohidrat yang sama dengan beras padi. Selain itu, rasi memiliki banyak serat dan rendah gula. Untuk mengatasi kekurangan protein, masyarakat Kampung Adat Cireundeu memakan tahu, tempe, dan protein hewani. Untuk iu, mereka memelihara unggas, domba atau kambing, dan sapi.
ADVERTISEMENT
Pengolahan singkong menjadi rasi telah dilakukan masyarakat Kampung Adat Cireundeu selama ratusan tahun. Kondisi geografis di Kampung Adat Cireundeu memang kurang memungkinkan adanya lahan sawah untuk menanam padi. Hal tersebut justru membuat mereka mandiri pangan. Dengan mengkonsumsi rasi yang stoknya selalu cukup, membuat mereka tidak terlalu terpengaruh oleh gejolak ekonomi negara, terlebih menyangkut fluktuasi harga beras. Walaupun sudah ratusan tahun tidak mengonsumsi beras padi, mereka toh tetap sehat dan eksis dengan mengonsumsi beras singkong.
Walau singkong banyak yang menganggap sebagai bahan pangan marjinal, masyarakat Cirendeu mampu menghapus stigma itu. Berbekal kemahiran dan inovasi dalam mengolah, masyarakat bisa menjadikan singkong bahan pangan pokok dan bahkan olahan yang bernilai jual.
Kampung Adat Cireundeu memiliki prinsip hidup “Ngidung ka waktu, mibapa ka zaman”. Prinsip ini berarti masyarakat Kampung Adat Cireundeu tetap melestarikan budaya sendiri, tetapi juga mengikuti perkembangan zaman. Masyarakat adat tidak melawan perubahan zaman akan tetapi menyesuaikannya. Maka mereka tidak menolak teknologi seperti televisi, handphone, dan listrik. Dengan demikian, Kampung Adat Cireundeu kehidupannya pun maju dan modern.
ADVERTISEMENT
Meskipun menganut prinsip hidup berdampingan dengan alam, masyarakat adat Cireundeu tetap terbuka pada inovasi dan perubahan zaman. Ini dibuktikan dengan berbagai produk olahan lainnya dari singkong yang dibuat oleh masyarakat. Produk olahan itu misalnya eggroll, saroja, cireng, rengginang, dendeng kulit singkong, keripik singkong, kue kering, cheese stick, dan pastel. Produk khas Cireundeu ini cukup diminati masyarakat luar. Dari penjualan produk olahan singkong ini, masyarakat Kampung Adat Cireundeu bisa berpenghasilan mencapai puluhan juta rupiah per bulan.
Fabian Satya Rabani, siswa SMA Talenta Bandung