Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sampo dan Televisi
9 Juni 2021 11:42 WIB
Tulisan dari Saufi Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Empat hari sejak pangkas, rambut di kepala cepat sekali tumbuhnya. Memang sesekali aku terpikir juga untuk membeli sampo yang pernah sekian tahun lalu kulihat iklannya di televisi. Sekali pakai, hilang ketombe seketika. Gitu bunyi iklannya, kurasa ya?
ADVERTISEMENT
Sayangnya aku sudah tak punya televisi lagi. Rusak, kemudian malas memperbaikinya. Sebab tak pernah kunikmati tontonan di televisi itu. Saat menghidupkan televisi dan menyalakan siarannya, selalu saja sinetron dan iklan yang tak memberikan kebermanfaan. Akupun beralih menggunakan benda pipih berwarna merah lebar 3 inci dan panjang 6 inci menjadi media agar aku tetap melek dengan teknologi. Meski kewajiban isi pulsa untuk membeli paket internet agar tak hilang informasi yang terkini.
“Agh, memang tivi ga punya, tapi hendponmu berjam-jam kamu buka, apa bedanya” Temanku Arwa bengis saat aku menjelaskan tak puya televisi lagi di rumah.
“Benar. Dengan gawai, aku bisa pilah-pilah sendiri apa yang mesti kubaca, apa yang mesti kutonton. Tentunya aku dapat membedakan mana yang positif dan negatif, mana yang layak dan tidak, mana yang memberi pembelajaran dan yang sekedar mengurai hiburan. Aku sudah besar untuk dapat membedakan itu semua. Nah di televisi, aku hanya bertindak sebagai penonton pasif. Meski berganti siaran ke siaran lainnya, tetap saja tak jauh berbeda konten siarannya” Aku meyakinkan kebenaran yang kuyakini.
ADVERTISEMENT
“O, okelah, itu hak mu. Jangan pala kau provokasi orang-orang yang masih menonton televisi dengan sejuta alasan ya”
“Tentu saja, tak pernah. Asal kamu rajin membaca, sesungguhnya banyak sekali bahkan dari zaman kita masih belum dapat membedakan baik dan buruk, artikel-artikel positif negatif televisi ini telah dibahas orang. Tetap saja televisi itu tak bergeming. Konon lah aku yang hanya berkata-kata sebagaimana yang aku rasa, dan hanya orang biasa, tak memberikan pengaruh besar. Bagiku, berubah untuk diriku sendiri, sudah memberikan contoh yang baik. Meski kau tak setuju, tak apa. Tak mesti bertengkar kita terkait televisi ini kan?”
Teringat pernah punya televisi, teringat pula Doraemon dan Nobita.
Tentu hingga hari ini setiap kita masih kenal dengan karakter di atas. Kisahnya meski berulang kali tetap asyik untuk dijadikan tontonan. Bahkan berdasarkan iklan dari media sosial yang kutengok, hingga tahun 2020 telah ada film terbarunys dengan tampilan yang lebih menarik lagi.
ADVERTISEMENT
Dulu para tokoh di film ini yang selalu ditunggu saban hari Ahad pagi. Bahkan dulu, rela menonton film ini dari jendela kaca nako rumah orang ‘kaya’. Meski tak terdengar suara, melihat gambarnya saja sudah memuaskan dahaga. Sampai orang tua pun punya televisi sendiri, meski hitam putih, yang sering mengecil gambarnya saat habis tenaga baterai yang digunakan sebagai daya listriknya, ini tontonan pavorit keluarga. Hingga aku sudah punya anak empat, tokoh ini hidup juga di kepala anak-anak. Kok bisa, tapi tak punya televisi? Ia sewaktu punya, jadi tontonan pavorit juga.
Siapa pula yang kemudian pernah punya cita-cita ketika masalah muncul, “seandainya ada kantong ajaibnya doraemon?”, tentu aku termasuk di dalamnya. Dulu, yang kuharap bila ada kantong ajaib, aku bisa punya guli segunung, kuaci yang banyak, atau karet gelang yang tak ada habisnya. Pernah setelah dewasa, saat galau tingkat dewa datang, pengen juga punya uang banyak, tanpa kerja, bila kantong ajaib itu ada. Alamak. Benar-benar efeknya kerasa. Bila tak kuat iman di dada, duhai, boleh jadi andai-andai itu tak habis-habis juga. Dalam bah. Meski dalam candaan, tetap saja terbersit juga.
ADVERTISEMENT
Satu kalipun keinginan instan Nobita -meski harus dengan drama dulu- tak pernah tak dikabulkan dengan kantong ajaib Doraemon. Walau sudah pasti setelah itu selalu muncul kerusuhan yang tak dapat dikontrol oleh Nobita. Tetap saja menjadi pavorit. Siapa pula yang disalahkan ketika kerusuhan demi kerusuhan muncul? Tentu saja Nobita. Kenapa tidak doraemon saja? Selalu memenuhi keinginan Nobita, padahal sudah pasti tak jelas kemudian. Esok dan seterusnya tetap saja begitu. Namun, biang masalah wajib Nobit. Bukankah biang utama yang memunculkan alat-alat ajaib itu adalah Doraemon? Coba kalau alat itu tak ada, mungkin Nobita akan berusaha dengan lebih giat kali ya. Haha. Ceritanyapun akan tammmmmaat seketika.
Begitulah, meski Doraemon punya kerja, tetap saja yang salah Nobita. Apaan sih? Kok malah menuduh Doraemon segala? Ia ya.
ADVERTISEMENT
Baikkah tontonan ini? Tergantung bagaimana menilainya. Pastinya jenis apapun siaran yang ada, orang tua harus hadir menjadi pendampingnya.
Halah. Aku sampai lupa, sebenarnya tadi aku sedang membahas sampo. Agh, tapi sudahlah. Itu tak penting. Saat ini, mau apapun yang terjadi dengan kepalaku gegara tak memakai sampo, tetap saja aku harus menikmatinya penuh rasa cinta. Sebab ini kepalaku, bukan kepalamu. Haha