Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Saya Penyintas Buku Bajakan
1 Juni 2021 6:38 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Saufi Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat menjadi mahasiswa, keinginan membaca yang tinggi, tapi tak setinggi uang di kantong. Maka jalan terbaik adalah membeli buku murah. Kota Kisaran tempat saya dilahirkan tidak ada pula toko buku penyedia buku-buku baru. Kebanyakan edisi sudah lama, dan tentu saja tak sesuai dengan keinginan hati. Menuju kota Medan, sebagai ibukota provinsi butuh waktu 4-5 jam perjalanan. Di sana pusat toko buku besar. Namun saya tak memilih melabuhkan hati di toko buku besar itu. Menggunakan kereta api, persis di seberang stasiun kereta api Medan, ada penjual buku murah. Di sanalah berkumpul para mahasiswa, termasuk saya mencari buku murah. Baik bekas kualitas oke, dan buku baru harga cocok di dompet.
ADVERTISEMENT
Bahkan hari ini buku-buku di tempat itu masih diminati. Saya selalu membeli majalah dan komik bekas yang tentu saja sangat layak baca. Tempat itu pula memberikan pemasukan tambahan bagi empunya punya buku yang pernah dipakainya. Sebab, daripada dijual timbang dengan harga sekira Rp 1.000-an perkilo, maka di tempat ini bisa dijual per ekslemplarnya di atas harga perkilo. Benar-benar sangat bermanfaat guna.
Selain mencari buku referensi kuliah, ada juga buku novel penulis-penulis ternama. Harganya terbilang sangat murah. Sejumlah uang yang hanya dapat 1 buku di toko buku mewah, di tempat seperti ini bisa beli 2 sampai 3 judul. Saya termasuk pembelinya. Saya menikmati dan berterima kasih sekali karena bisa membeli buku banyak menjadi koleksi bacaan saya di rumah.
ADVERTISEMENT
Sekian tahun kemudian, setelah mengelola dan bergelut dengan buku di Taman Bacaan Masyarakat yang saya kelola, saya baru dapat informasi ternyata sebagian buku murah yang ada sama saya adalah buku bajakan. Artinya saya pernah menjadi penyintas buku bajakan. Butuh waktu tahunan untuk mendapatkan edukasi seperti itu. Ya, saya tak tahu tentang buku bajakan. Mungkin karena lebih mementingkan murahnya ukuran kantong, dan tentu saja meski susah dibaca karena kualitas kertasnya biasa, yang penting isinya sama saja. Saya jadi pembaca setia.
Satu tahun lalu, saat nongkrong asyik di tempat membaca terbaik di kota kelahiran ini, ditemukan sejumlah buku yang tertata rapi di rak-rak buku di tempat itu adalah buku bajakan. Di tempat resmi dan terbaik di kampung saya, tempat menyenangkan, di tempat yang juga penuh anggaran wajib untuk belanja buku, terkontaminasi dengan buku bajakan. Saya kecewa. Kecewa karena buku tersebut harusnya buku berkualitas dan asli. Entah pengelola kurang edukasi tentang buku bajakan, atau memang sengaja. Saya tak paham.
ADVERTISEMENT
Kabarnya perkara pembajakan buku ini adalah kegiatan yang mengasyikkan. Bisa cepat kaya katanya. Sebagaimana Puthut Ea, selaku kepala suku laman Mojok dengan satir mengajak berbisnis buku bajakan agar cepat kaya, tanpa risiko, dan dipuja banyak orang. Entahlah. Namun beberapa hari ini, lagi gencarnya di lini masa media sosial penulis Tere Liye mengkampanyekan anti pembajakan buku. Saking geram sekali dengan pembajak buku, orang yang membajak dan membeli buku bajakan itu adalah orang: dungu, katanya.
Tentu, pernyataan Tere Liye ini menjadi polemik. Diaminkan oleh banyak orang, juga dikritik orang banyak. Permasalahannya, bukan hanya terkait pembajakan, tapi juga pada kata dungu. Kata dungu pernah juga merasuk dalam kebisingan pikiran kita karena viral disebutkan oleh Rocky Gerung. Tapi tentu saja dungu yang disebut oleh Tere Liye adalah dungu sebenarnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh KBBI yang berarti sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; atau bodoh.
ADVERTISEMENT
Netizen yang tak setuju sampai pada kesimpulan Tere Liye itu sangat arogan dan menyampaikan tuturan dungu itu tidak pas dilontarkan kepada masyarakat pembaca. Meski, padahal yang menjadi poin utama keresahan Tere Liye perkara pembajakan. Bila ada orang iseng bertanya ke saya, kamu tersinggung disebut pembaca yang dungu hanya karena membaca buku bajakan? Tidak. Kamu boleh bilang saya pendukung Tere Liye, tak apa. Anak saya yang kelas VI SD, Istri dan saya sudah membaca seluruh bukunya, dengan membeli yang asli tentunya. Kami benar-benar penggemar buku Tere Liye.
Bukan tanpa alasan saya katakan tidak. Merujuk pada pengalaman sebagai penyintas buku bajakan, butuh waktu cukup lama teredukasi. Membedakan buku bajakan dan buku asli. Saya akui bebal sekali saya. Dungu. Edukasi yang saya dapatkan justru setelah bertahun-tahun mengelola taman baca. Hingga kemudian saya komitmen untuk tak pernah menjadi pembeli buku bajakan lagi. Walhasil, target setiap bulan yang memasukkan daftar penulis agar bukunya hadir di rumah, sering meleset. Apalagi masa pandemi, penghasilan juga tak pasti. Yang pasti tak jadilah buku-buku baru hadir setiap bulan di rumah.
ADVERTISEMENT
Melalui taman baca, saya kemudian belajar menjadi penulis. Memahami bagaimana alur kepenulisan dari mulai buku terbit hingga bisa beredar dan di toko buku. Memang rumit sekali jika buku kita harus sampai ke penerbit Mayor. Akan banyak biaya yang dikeluarkan oleh penerbit, hingga penulisnya saja mendapatkan royalti yang justru tak langsung membuat penulis kaya. Tapi tetap saja banyak penulis bermunculan, seperti saya. Menyenangkan menjadi penulis. Sayangnya, karena buku saya tak pernah ada di toko buku, sudah dipastikan tak ada yang akan membajak buku saya. Buku saya tak pernah laris.
Dengan kata lain buku yang dibajak itu salah satu penyebabnya karena memang buku yang laku, sangat laris. Itu sebabnya Tere Liye berhak untuk mempersoalkan pembajakan buku itu. Bahkan dengan mendungukan pembajak dan pembaca. Bagi saya menjadi edukasi dari yang sebelumnya tak pernah tahu dan peduli, menuju paham dan tak akan mau lagi. Pembaca dapat membedakan mana buku bajakan dan mana pula buku asli. Meski demikian, Tere Liye tetap memberikan solusi, cari gratisan lebih baik dari pada membeli bajakan. Salah satunya pinjam melalui I-Pusnas, katanya.
ADVERTISEMENT
Tentu sebagai pembaca yang setia terhadap bacaan, mari aktif tak hanya sebagai pembaca yang berminat tinggi, bangkit dan sadarkan diri untuk tak membaca buku bajakan.
Saufi Ginting
Pegiat Literasi Kabupaten Asahan