Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Asa Perdamaian Korea di Asian Games 2018
22 Juli 2018 2:55 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Saud Ringo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bukan pemandangan umum jika atlet Korea Selatan dan Korea Utara menggenggam satu panji yang sama dalam perhelatan akbar internasional. Hebatnya lagi dalam defile pembukaan, yang terkibarkan bukan bendera negara mereka.
ADVERTISEMENT
Pada panji yang digenggam bersama itu tergambar Kepulauan Korea berwarna biru dengan dasar putih. Utuh tanpa terpisah garis demarkasi politis. Ini adalah bendera unifikasi ‘Korea’.
Cuplikan ini terekam dari upacara pembukaan Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang, Februari 2018 yang lalu. Langkah kedua negara mengirimkan tim gabungan untuk cabang hoki es mendapat sambutan hangat dari seluruh dunia.
Pasca-olimpiade, muncul serangkaian indikasi positif dipeliharanya semangat damai. Pertemuan Presiden Korsel Moon Jae In dengan Pemimpin Korut, Kim Jong Un, pada April 2018, dan diikuti dengan Pertemuan Pemimpin Korut dengan Presiden AS, Donald Trump di Singapura, pada 12 Juni 2018.
Setengah tahun berselang, kita akan mendapatkan kesempatan langka melihat defile ‘Korea’ bersatu itu di tanah air dalam perhelatan Asian Games 2018.
ADVERTISEMENT
Komite Olimpiade Asia (OCA) bahkan telah mengkonfirmasi bahwa kedua Korea akan menurunkan tim gabungan di tiga cabang olahraga pada Asian Games 2018 di Indonesia (basket putri, perahu naga dan dayung).
Presiden Joko Widodo pun berencana mengundang Presiden Korsel dan Peimimpin Korut untuk turut menghadiri acara pembukaan Asian Games yang akan dilaksankan di Jakarta bulan Agustus ini.
Akankah ini jadi awal dari perdamaian yang lebih besar?
Diplomasi Olahraga
Olahraga dan diplomasi seringkali dicitrakan dalam dua bingkai yang berbeda. Banyak yang memahami keduanya sebagai dua hal yang bertolak belakang. Diplomasi dengan semua keprotokolan, rigiditas nilai dan kehati-hatiannya, sedangkan olahraga dengan spontanitas dan keriuhan.
Dalam beberapa kajian, olahraga disebut sebagai bentuk dari diplomasi publik. Dalam tipe diplomasi ini, upaya persuasi dan memengaruhi pihak lain dilakukan dengan memanfaatkan peran pelaku diplomasi non-pemerintah, melalui cara-cara yang informal (Evans, 1990 ).
ADVERTISEMENT
Sebagai kegiatan yang melintasi batas dan sekat imajiner, olahraga adalah medium pesan. Tidak hanya melalui semangat, warna kostum, yel-yel atau handsign, keberadaan atau boikot sebuah tim dalam sebuah pertandingan bisa mengirimkan pesan.
Dalam konteks ini, olahraga dan para atlit dapat diartikan sebagai diplomat dan duta pembawa beragam pesan dari satu pihak ke pihak lainnya.
Bola Kecil Pengungkit Agenda yang Besar
Salah satu contoh terbaik diplomasi olahraga adalah Diplomasi Pingpong antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok pada 1971, di tengah ketegangan dan kecemasan Perang Dingin.
Bermula dari penjajagan awal, AS mengirim tim beranggotakan 15 orang pemain tenis meja (sebagian non-profesional) dari beragam latar belakang dan umur. Dua di antaranya bahkan masih di bangku SMA.
Olahraga ini dipilih karena digemari di kedua negara saat itu. Pingpong adalah olahraga yang digandrungi berbagai usia baik di daerah urban dan suburban AS. Sementara di Tiongkok, ini adalah olahraga wajib. Mereka juara dunia pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Diplomasi Pingpong diwujudkan dalam pertandingan eksibisi antara tim kedua negara. Tiongkok selaku juara dunia tidak kesulitan menaklukan AS, namun dalam beberapa kesempatan mengalah. Ini sesuai slogan eksebisi waktu itu, “Persahabatan nomor satu, kompetisi nomor dua.”
Dampak positif dari menghangatnya relasi ini secara instan terasa. Pada 14 April 1971, ketika tim Pingpong AS bertemu dengan Perdana Menteri Tiongkok, Presiden AS mengumumkan kebijakan mengangkat embargo ekonomi dan memperlunak larangan bepergian ke Tiongkok.
Momentum positif yang diciptakan berhasil dijaga hingga berujung pada kunjungan bersejarah Presiden AS, Richard Nixon ke Beijing pada Februari 1972. Ini adalah kali pertama seorang Presiden AS berkunjung ke daratan Tiongkok, membuka pintu bagi normalisasi hubungan yang lebih besar di antara kedua negara.
ADVERTISEMENT
Pemimpin Tiongkok, Mao Zedong punya ungkapan yang tepat bagi situasi ini yaitu “bola kecil yang menggerakkan bola besar.”
Pelajaran Untuk Perdamaian Semenanjung Korea
Setidaknya tiga karakter diplomasi olahraga dapat kita cermati dari kasus Diplomasi Pingpong untuk kita petakan ke upaya perdamaian Semenanjung Korea.
Pertama, olahraga dapat menjadi medium yang berdaya jangkau melebihi instrumen formal pemerintah.
Sifatnya yang melibatkan emosi dan identifikasi diri terhadap tim atau lambing tertentu mengakibatkan olahraga lebih bisa diterima oleh masyarakat. Saat ini dengan penetrasi teknologi yang menjangkau ke bahkan sampai pelosok pedalaman, olahraga hadir di ruang privat masyarakat. Event olahraga sangat efektif memalingkan mata penonton ke layar kaca (baik televisi maupun gawai).
Ini dapat dimanfaatkan oleh para perancang perdamaian Semenanjung Korea untuk menyentuh populasinya masing-masing menyebarkan narasi positif. Setidaknya jika proses formal tersendat, upaya perbaikan hubungan di level akar rumput terus berjalan.
ADVERTISEMENT
Kedua, olahraga meruntuhkan kebekuan, membuka imajinasi baru terhadap ‘orang lain’ (liyan).
Dua kubu yang sudah bermusuhan sejak lama dapat dipastikan telah menciptakan narasi demonisasi kepada musuhnya masing-masing. Di sini olahraga dapat bermain maksimal.
Pengiriman tim gabungan dapat memecahkan siklus narasi kebencian di antara kedua kubu, bahwa pihak yang berseberangan juga sama saja manusia. Bukan setan atau yang lebih rendah. Bahkan para atlit yang terlibat dapat menjadi agen-agen perdamaian dengan menyebarkan pengalaman mereka bekerja sama dengan pihak yang berseberangan. Ini membuka ruang bagi sebuah proses dialog.
Penonton pun akan melihat bahwa bergandengan tangan dengan ‘musuh’ adalah hal yang biasa dan dapat terjadi, bukan hanya pepesan kosong.
Terdobraknya imajinasi publik akan membuka cakrawala ide lebih besar lagi bahwa ‘perdamaian’ ternyata adalah titik definitif yang dapat dicapai meskipun jauh. Bukan hanya imajinasi liar.
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un dan Presiden Korea Selatan, Moon Jae In.
ADVERTISEMENT
Ketiga, diplomasi olahraga tidak berdiri sendiri, ia didukung dan mendukung langkah diplomasi konvensional.
Dalam Diplomasi Pingpong kita lihat adanya upaya diplomasi konvensional untuk membuka jalan di awal, yang memastikan event tersebut terlaksana. Selepasnya, mesin-mesin diplomasi juga terus bekerja hingga berujung pada pertemuan Presiden AS dan Pemimpin Tiongkok.
Ini juga yang akan terjadi dalam perdamaian Semenanjung Korea. Kerja keras mesin diplomasi formal pemerintah kedua negara serta dukungan dari Amerika Serikat sebagai ‘penyedia payung keamanan di kawasan’ serta peran Tiongkok selaku pendukung utama Korut akan menjadi vital.
Pada titik ini, diplomasi olahraga melalui pengiriman tim gabungan di Asian Games 2018 akan berperan penting menjaga momentum dan asa perdamaian.
Kita patut menunggu perkembangan lanjutan dari episode panjang proses perdamaian kedua Korea ini. Besar harapan akan munculnya perkembangan positif.
Penulis berharap Bin bin, Atung, dan Kaka tidak hanya menjadi maskot Asian Games, tapi juga akan jadi maskot perdamaian dunia. Mari kita nantikan bersama, Salam Olahraga!
ADVERTISEMENT