Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
'No Kali Item, No Waring': Belajar Bersih dari Jepang
26 Juli 2018 2:55 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Saud Ringo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gambar: Sungai Tama, antara Tokyo dan Kawasaki (Sumber: Wikimedia Commons )
ADVERTISEMENT
Banyak hal luar biasa dapat kita temukan di Jepang, waring untuk menutup sungai bukan salah satunya. Alasannya sederhana, bukannya karena mereka tidak punya Kali Item atau tidak mampu beli kain, tapi karena mereka sungguh bersih luar dalam.
Jepang menyajikan banyak hal yang dapat kita pelajari dalam pengelolaan kebersihan. Ia adalah contoh baik bahwa mentalitas masyarakat yang cinta kebersihan dengan kebijakan publik yang tepat dapat menciptakan perubahan yang berkelanjutan.
Bersih-bersih adalah budaya yang mengakar bagi masyarakat Jepang. Mereka sangat terobsesi akan hal ini, bahkan mungkin bisa dibilang maniak.
Perhatikan jalanan di kota-kota di Jepang serta transportasi publiknya, sangat jarang terlihat sampah tergeletak.
Air sungainya jernih dan tidak bau. Toilet di bandar udara, di konbini (convenient store), di rest area, di taman umum, semua bersihnya konsisten.
ADVERTISEMENT
Ini bukan hanya fenomena di kota besar, coba saja anda ‘melipir’ ke pinggiran, dijamin akan dapat pengalaman yang sama. Mendaki gunung turuni lembah, semua rapi jali.
1. Kebersihan = Iman
“Orang Jepang ini layaknya Muslim tapi tidak beragama Islam. Sungguh-sungguh tampak kalau kebersihan itu bagian dari iman!” demikian pujian terlontar dari Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siroj kepada masyarakat Jepang yang dalam lawatannya ke Tokyo sekitar tahun 2016 silam. Penulis beruntung karena ditugaskan mendampingi beliau saat itu sehingga komentar ini tidak luput didengar.
Gambar: Kuil Zenkohji, Kota Nagano (Sumber: pxhere )
Beliau tidak salah, kebersihan itu memang bagian dari iman orang Jepang. Ini adalah satu pokok ajaran agama Shinto yaitu pengutamaan kesucian dan kebersihan, terutama bila berhadapan dengan dewa (kami).
ADVERTISEMENT
Kesucian jiwa dimulai dari kebersihan raga dan lingkungan. Ini yang mengakar di masyarakat Jepang. Di setiap kuil Shinto dapat dipastikan anda akan temukan tempat membersihkan diri, mencuci tangan atau membersihkan mulut
2. Mentalitas yang Dibentuk Sejak Dini
Murid sekolah di Jepang terbiasa secara rutin membersihkan sekolahnya. Bisa setiap minggu bahkan ada yang hampir setiap hari.
Perhatian terhadap kebersihan juga yang mendasari aturan bahwa murid sekolah Jepang selalu gunakan sepatu tersendiri di sekolah hanya untuk memastikan lantai sekolahnya tetap bersih. Sepatu yang dipakai jalan (sotogutsu) langsung mereka ganti dengan sepatu sekolah (uwabaki) yang lebih bersih.
Gambar: Siswa Sekolah di Tonami Membersihkan Kelas (Sumber: Wikimedia Commons )
Nilai kebersihan yang ditanamkan sejak dini ini terinternalisasi hingga mereka dewasa. Hampir semua orang Jepang yang penulis kenal, di berbagai belahan dunia, memiliki konsep kebersihan yang kurang lebih serupa.
ADVERTISEMENT
Ini perlu digalakkan di sekolah-sekolah kita. Mulai sejak dini untuk membentuk mentalitas generasi yang bersih.
3. Peran Pemerintah
Pada tahun 2016, Walikota Kawasaki, Norihiko Fukuda dalam pertemuannya dengan Walikota Bandung, Ridwan Kamil, menyampaikan bahwa hingga tahun 1960-an kotanya terkenal sebagai salah satu kota dengan polusi tertinggi di Jepang. Baik air (sungai dan laut) maupun udara tercemar sebagai akibat industrialisasi yang masif sejak awal abad ke-20.
Masyarakat saat itu menjadi korban. Banyak ditemukan gangguan kesehatan akibat polusi, mulai dari masalah kulit hingga gangguan pernafasan.
Para korban polusi ini secara konsisten melakukan advokasi dan menekan pemerintah untuk merespons situasi ini. Mereka juga menekan Industri untuk bertanggung jawab atas pencemaran yang ditimbulkan melalui berbagai tuntutan hukum, yang sebagian besar dimenangkan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Langkah konkret diambil oleh Pemda Kawasaki pada tahun 1970 dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Pencegahan Pencemaran/Polusi . Ini dilakukan dengan menggandeng para pelaku industri sebagai penyumbang polusi utama.
Gambar: Kawasan Industri Kawasaki (Sumber: Wikimedia Commons )
Intinya, para pelaku industri dipaksa tunduk kepada peraturan untuk mengubah pola produksinya agar semakin ramah lingkungan, dengan melalui Polluters Pay Principle. Penegakan peraturan dilaksanakan konsisten. Berbagai alat monitor lingkungan baik untuk mengecek udara dan air dipasang untuk terus memantau perkembangan.
Perubahan mulai berangsur-angsur terjadi memasuki akhir 1970an. Saat ini Kawasaki tidak hanya terkenal bersih, Ia bahkan menjadi salah satu pusat pengembangan teknologi ramah lingkungan terbaik. Setiap tahun mereka melaksanakan festival dan pameran internasional tekonologi ramah lingkungan yaitu International Eco-tech Fair.
ADVERTISEMENT
Dalam logika kebijakan publik, pemerintah haruslah mencari solusi dengan terus mengamati kebutuhan masyarakat dan urgensi dari kebutuhan tersebut. Ia harus pandai melihat keterbatasan yang ada dalam 'gudang senjatanya' sehingga bisa menyesuaikan antara ekspektasi kebijakan publik dan solusi yang ditawarkan.
Kebijakan publik tidak bisa berdiri sendiri tanpa peran serta masyarakat yang menjadi obyeknya. Kesadaran diri masyarakat Kawasaki di awal masa perubahan turut menjadi faktor pendorong yang signifikan bagi perubahan, dan alat kontrol juga bagi industri.
4. Pilah-pilih Sampah
Pemerintah Jepang punya kebijakan yang ketat untuk penyortiran sampah, dan diimplementasikan konsisten di seluruh wilayah. Ini yang memudahkan mereka untuk melakukan daur ulang.
Salah satu contoh yang mudah ditemui adalah dalam pemilahan sampah adalah yang dilakuan di lingkungan perumahan. Di tiap lingkungan selalu ada jadwal pembuangan sampah teratur, dan berdasarkan pilahan sampah.
ADVERTISEMENT
Hari-hari tertentu jadwal pembuangan sampah organik, hari lainnya non-organik, ada yang sampah pecah belah, mudah terbakar dan berbagai klasifikasi lainnya.
Gambar: Pemilahan Sampah (Sumber: Soranews24.com )
Jika kita ingin buang sampah yang cukup besar atau yang perlu didaur ulang maka kita tinggal menelpon bagian recycle di kelurahan setempat dan sampaikan jenis sampah yang akan kita buang.
Dari situ kita bisa atur waktu untuk mereka mengambil sampah dan kita diwajibkan membeli stiker sodai gomi/sampah besar (lebih besar dari 30cmx30cnmx30cm) guna ditempelkan di badan barang tersebut.
Jumlah stiker yang ditempel tergantung pada ukuran barang yang akan kita buang. Semakin besar maka semakin banyak. Harganya stiker berkisar dari ¥200 - ¥ 400 per stiker.
ADVERTISEMENT
Pastikan kita tempatkan barang-barang yang akan dibuang tersebut di bagian pembuangan yang sudah ditentukan di apartement atau rumah kita.
Gambar: Stiker sodai-gomi (Sumber: theexotaku.files.wordpress.com )
Ini juga untuk menjelaskan kenapa seringkali kita menemukan elektronik seperti kipas angin, vacuum cleaner atau microwave di depan apartemen atau rumah orang. Dapat dipastikan itu adalah untuk didaur ulang, bukan garage sale, apalagi open PO.