Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Berebut Pengaruh: Melihat Mediatisasi Selebriti dalam Kampanye Politik 2024
10 Februari 2024 12:27 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Maulida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Riuh kampanye para calon presiden bergema dari waktu ke waktu. Gegap gempita kampanye para paslon ini semakin meriah dengan adanya dukungan dari para selebriti tanah air. Ada yang menggelitik, di mana berbagai alat kampanye, baik poster maupun dokumentasi lain yang bertebaran di media sosial menegaskan bagaimana puluhan artis dan influencer tanah air mendukung paslon tertentu.
ADVERTISEMENT
Di era digital, selebriti maupun influencer media sosial telah muncul sebagai tokoh penting dalam membentuk opini publik dan perilaku konsumen. Peran mereka tidak hanya terbatas pada dukungan produk, tetapi juga mencakup advokasi politik dan promosi kandidat.
Oleh karena telah terjadi komodifikasi pada layanan media digital, garis antara politik dan hiburan menjadi kabur. Kampanye para paslon dibungkus segembira mungkin dengan mengadakan fun futsal bersama artis, konser akbar, dan acara hiburan lainnya.
Namun, keterlibatan influencer media sosial dalam kampanye pemilu menghadirkan sejumlah tantangan dan pertimbangan etika. Kurangnya transparansi terkait konten yang disponsori dan pertanyaan mengenai artis sebagai narasumber kredibel kemudian melemahkan akuntabilitas dan integritas dalam komunikasi kepada publik.
Tak hanya itu, komodifikasi dukungan politik dari selebriti dan influencer dikhawatirkan mengaburkan batas antara advokasi yang tulus dan kepentingan komersial, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang keaslian kampanye yang digerakkan oleh mereka.
ADVERTISEMENT
Kampanye Paslon, Mediatisasi Selebriti, dan Demokrasi
Pada dasarnya, pentingnya alat komunikasi dalam proses politik telah mendapat perhatian besar bahkan sejak zaman Aristoteles dan Plato. Studi komunikasi politik sejak propaganda Perang Dunia I memberikan banyak bukti tentang dampak dan kekuatan yang diberikan oleh alat media terhadap peristiwa politik.
Kini, di zaman modern, selain media, alat propaganda itu bertambah dengan adanya selebriti atau influencer itu sendiri. Sebagai konsekuensi dari proses modernisasi, bentuk media tradisional bergeser menjadi media yang interaktif. Dalam media baru, muncul tokoh-tokoh perebut pengaruh tersebut yang kini kian santer kita saksikan.
Setelah kemunculan media sosial, institusi sosial dan sejumlah prosedur budaya telah mengubah karakter, misi, dan fungsi mereka sehubungan dengan kehadiran media sekaligus publik figur di mana-mana. Hampir setiap bidang kehidupan kita terpengaruh oleh transisi tersebut.
ADVERTISEMENT
Karena adanya media, muncul istilah-istilah baru untuk lebih memahami nilai-nilai yang berlaku saat ini seperti mediasi dan mediatisasi. Mediatisasi, yang merupakan teori yang membahas tentang perubahan definisi dan kerangka komunikasi (terutama wacana dan percakapan), secara langsung berkaitan dengan transformasi komunikasi dan media.
Sebagai hasil dari proses ini, seluruh tatanan masyarakat dibentuk ulang. Teknologi media baru menghasilkan ketergantungan dan representasi diri yang berbeda, yang merupakan inti dari mediatisasi.
Baik artis, maupun influencer adalah bagian mediatisasi itu sendiri. Sosok Raffi Ahmad, dengan citra sebagai selebriti sukses, menjadi representasi dan penarik suara milenial maupun gen Z di kubu 02. Abdurrahim Arsyad, komika kondang dari Timur, sebagai representasi tokoh muda kritis, menjadi media penyampai pesan dalam kampanye paslon 01, terutama di dunia maya. Sedangkan di paslon 03, representasi Younglex sebagai influencer, memediasikan pesan-pesan kampanye dari paslon 03.
ADVERTISEMENT
Pengaruh sosial yang disampaikan oleh para influencer dan artis itu kini dikonfigurasikan sebagai properti penting untuk mempengaruhi dinamika komunikasi politik. Oleh Gass (2015), hal ini dapat didefinisikan sebagai komunikasi yang disengaja atau tidak disengaja dapat menghasilkan perubahan dalam sikap, kepercayaan, niat, motivasi, atau perilaku orang lain.
Pentingnya media dan cara komunikasi dalam proses demokrasi politik dapat dikreditkan pada konseptualisasi Jürgen Habermas tentang ruang publik. Habermas, yang saat ini menempati posisi sebagai salah satu filsuf dan ahli teori sosial paling berpengaruh di dunia, mendefinisikan ruang publik sebagai jaringan komunikasi informasi dan sudut pandang yang relevan dengan warga negara, di mana isu-isu yang menjadi perhatian publik menjadi bahan diskusi yang terinformasi dan perdebatan politik yang independen.
ADVERTISEMENT
Demokrasi partisipatoris dibangun di atas dasar pemikiran bahwa warga negara yang terinformasi, di mana opini publik mengarah pada tindakan politik. Thomas Jefferson, penulis utama Deklarasi Kemerdekaan dan salah satu Bapak Pendiri Amerika Serikat, yang mengatakan "Warga negara yang terinformasi adalah satu-satunya tempat penyimpanan kehendak publik yang sebenarnya."
Warga negara yang terinformasi tidak mungkin terwujud tanpa adanya agregasi, diseminasi, dan pengawasan informasi dan pengetahuan. Ruang publik, bersama dengan gagasan tentang warga negara yang terinformasi, merupakan salah satu pilar awal dari pemerintahan yang demokratis dan paling banyak dicapai melalui media. Media sosial, kini bahkan menciptakan pasar bebas gagasan, sehingga memfasilitasi dan memberikan ruang publik yang berfungsi dan independen.
Kita pasti sepakat bahwa ruang publik harus dibuka seluas-luasnya agar terjadi pertukaran informasi, dialog secara sehat dan kritis. Meskipun begitu, dengan fenomena kampanye yang termediatisasi influencer, timbul pertanyaan lain mengenai kredibilitas artis atau influencer dalam memediasikan pesan para paslon.
ADVERTISEMENT
Tak bisa dipungkiri bahwa influencer media sosial terlibat dalam kampanye pemilu karena didorong oleh banyak motivasi. Meskipun insentif finansial tidak diragukan lagi menjadi kekuatan pendorong bagi banyak orang, influencer juga dapat dimotivasi oleh keselarasan ideologi, keyakinan pribadi, atau keinginan untuk perubahan sosial. Memahami motivasi-motivasi ini sangat penting untuk menguraikan keaslian dan kredibilitas dukungan influencer di arena politik.
Namun, perlu dikhawatirkan apabila para influencer atau selebriti hanya berfokus memediasikan kampanye kandidat mereka tanpa adanya esensi dan kredibilitas yang dipunyai. Archer dkk. (2020) berpendapat bahwa keterlibatan selebritas dalam politik demokratis bermasalah karena selebritas memiliki tingkat kekuatan epistemik yang signifikan atau dengan kata lain, kekuatan untuk memengaruhi apa yang dipercayai orang yang tidak berhubungan dengan keahlian yang relevan.
ADVERTISEMENT
Selebriti memiliki setidaknya dua sumber kekuatan epistemik (Archer et al. 2020). Pertama, banyak selebritas yang dianggap lebih kredibel dibandingkan orang lain, dengan catatan: di kalangan kelompok tertentu.
Kredibilitas adalah sumber kekuatan epistemik yang penting, karena semakin besar kemungkinan orang untuk mempercayai apa yang dikatakan seseorang, semakin besar pula pengaruh orang tersebut untuk memengaruhi keyakinan orang lain. Gagasan bahwa selebriti dianggap lebih kredibel daripada yang lain mendasari penggunaan selebriti dalam konteks iklan dan kampanye politik.
Bukti efektivitas selebriti dalam kampanye politik sebenarnya beragam. Namun, efektivitas dukungan tampaknya bergantung pada hubungan yang kompleks antara selebriti, opini yang mereka dukung, dan audiens yang mereka ajak bicara (Jackson dan Darrow 2005: 94). Selain itu, dukungan politik dari selebriti terbukti sangat efektif di antara mereka yang hanya menghabiskan sedikit waktu untuk memikirkan politik (Veer et al. 2010) dan di antara kaum muda khususnya pada isu-isu sosial daripada isu-isu ekonomi (Becker 2010: 112-116).
ADVERTISEMENT
Dukungan selebriti dalam konteks ini, telah terbukti sangat efektif khusus untuk para penggemar mereka (Jackson dan Darrow 2005). Maka ada alasan kuat untuk berpikir bahwa selebriti dipandang lebih kredibel daripada yang lain, setidaknya di antara kelompok masyarakat tertentu.
Lebih lanjut, para influencer maupun selebriti ini diperhatikan dengan cara-cara yang melampaui keahlian, peran, atau profesi mereka. Menjadi pusat perhatian adalah sumber kekuatan epistemik yang penting bagi para selebritas yang berbeda dengan kredibilitas.
Mereka yang mendapat perhatian dari orang lain memiliki platform agar opini mereka didengar. Sebagai pusat perhatian, juga memberikan para selebriti kemampuan untuk mengalihkan perhatian kepada orang lain. Ini berarti bahwa meskipun orang-orang tidak menganggap selebriti tersebut kredibel, selebriti tersebut mungkin masih dapat memengaruhi keyakinan mereka dengan mengarahkan perhatian mereka kepada orang-orang yang mereka anggap kredibel.
ADVERTISEMENT
Mediatisasi selebriti, dengan demikian, sering kali memiliki kekuatan epistemik yang signifikan karena dianggap kredibel, setidaknya di antara kelompok masyarakat tertentu, dan menjadi fokus perhatian. Hal ini memberikan kekuatan khusus bagi para selebritas untuk memengaruhi proses demokrasi, baik sebagai aktivis, pemengaruh, pendukung, maupun politisi.
Meskipun begitu, kekuatan ini tidak terkait dengan keahlian khusus atau peran profesional apa pun. Seperti yang ditunjukkan oleh Archer dkk. (2020: 31), kekuatan selebriti ini menciptakan tantangan bagi negara demokrasi yang berusaha memenuhi standar yang diartikulasikan oleh dua teori utama legitimasi demokrasi.
Menurut teori-teori demokrasi deliberatif, legitimasi pemerintahan demokratis didasarkan pada debat publik antara warga negara yang saling menghormati satu sama lain sebagai warga negara yang setara secara moral dan yang tidak membiarkan asimetri kekuasaan atau sumber daya mempengaruhi musyawarah secara tidak adil (Habermas 1975; Knight dan Johnson 1997).
ADVERTISEMENT
Archer dkk. (2020: 33-35) menyajikan tiga masalah yang dihadirkan oleh kekuatan epistemik selebritas bagi negara-negara demokrasi yang berusaha memenuhi salah satu dari cita-cita demokrasi ini.
Pertama, selebritas dapat menggunakan kekuatan epistemik mereka untuk memusatkan diskusi publik pada isu-isu yang mereka anggap penting saja dan membingkai kampanye dengan cara yang sesuai dengan mereka. Kekuatan pengaturan agenda ini memberi mereka pengaruh yang tidak adil dalam musyawarah publik.
Kedua, kekuasaan epistemik selebriti tidak tunduk pada pengawasan kekuasaan yang biasa dilakukan untuk mencegah bentuk-bentuk kekuasaan lain yang mengarah pada pengaruh yang tidak semestinya dalam musyawarah yang demokratis.
Ketiga, fakta bahwa kekuasaan epistemik selebriti tidak terkait dengan keahlian khusus atau peran profesional apa pun sehingga mengancam nilai epistemik demokrasi dengan merusak kemampuan musyawarah demokratis untuk melacak kebenaran dan menghasilkan pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena masalah tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan para influencer ini ketika mereka berperan sebagai pion media, pendukung salah satu kandidat.
Pertama, transparansi. Influencer maupun selebriti harus transparan mengenai kepentingan pribadi atau keuangan yang mereka miliki dalam mendukung seorang politisi. Jika mereka mendapat kompensasi atas dukungan mereka atau memiliki hubungan pribadi dengan kandidat, mereka harus mengungkapkan informasi ini kepada audiens mereka.
Kedua, aspek keputusan berdasarkan informasi, yaitu dimana selebriti harus meneliti kebijakan, rekam jejak, dan karakter kandidat secara menyeluruh sebelum mendukung mereka. Mereka harus memastikan bahwa dukungan mereka selaras dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dan bahwa mereka tidak mendukung kandidat yang dapat merugikan masyarakat atau komunitas yang terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, fokus kepada isu. Alih-alih hanya mendukung seorang kandidat berdasarkan popularitas atau koneksi pribadi, selebriti harus fokus pada isu-isu dan kebijakan yang penting bagi mereka dan audiens mereka.