Konten dari Pengguna

Media dan Dilema Etis: Tantangan Sidang Siaran Langsung di Televisi

Maulida
Alumni Kajian Budaya dan Media UGM. Penulis dan peneliti, tinggal di Rote Ndao, NTT.
31 Juli 2024 8:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maulida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasinruang sidang (sumber: freepik)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasinruang sidang (sumber: freepik)
ADVERTISEMENT
Proses peradilan yang ditayangkan di televisi bukanlah hal yang baru di Indonesia. Tayangan proses peradilan secara live mulai dari kasus Kopi Sianida beberapa tahun silam, kasus Ferdy Sambo, sampai yang terbaru, proses pra-peradilan Pegi Setiawan dalam kasus Vina telah menjadi bahan ciamik yang tak henti menyedot perhatian masyarakat. 
ADVERTISEMENT
Di era digital seperti saat ini, tuntutan transparansi berikut informasi tidak terelakkan lagi. Kehadiran kamera di pengadilan tampaknya merupakan perkembangan yang wajar, karena televisi merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat kontemporer dan salah satu sumber informasi utamanya. 
Lalu, mengapa tayangan sidang di televisi menjadi menarik serta menjadi perhatian khalayak? Apakah kamera televisi di ruang sidang membuat sistem peradilan kita lebih transparan atau meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai proses hukum?
Pada dasarnya, salah satu alasan utama mengapa tayangan sidang di televisi menarik perhatian adalah transparansi dan akses informasi yang ditawarkannya. Masyarakat umum, yang biasanya tidak memiliki akses ke ruang sidang, kini dapat menyaksikan proses peradilan secara langsung melalui genggaman handphone di tangan. Hal ini memberikan kesempatan kepada publik untuk melihat bagaimana hukum ditegakkan, bagaimana argumen hukum dipresentasikan, dan bagaimana keputusan dibuat oleh hakim.
ADVERTISEMENT
Transparansi ini membantu memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Selain itu, adanya drama yang dipertontonkan melalui pernyataan, perdebatan antara kuasa hukum, jaksa, dan saksi, menjadi hal yang menarik yang ditonton selama persidangan. 
Dalam kajian audiens, salah satu teori yang terkemuka mengenai motif dalam menonton suatu tayangan di media adalah use and gratification, di mana secara mudah dipahami sebagai motif atau tujuan atau kepuasan tertentu yang ingin dicapai audiens ketika melihat suatu tayangan. Bisa jadi, pertarungan argumen hukum antara jaksa dan pengacara, kesaksian emosional dari saksi, dan momen-momen mendebarkan ketika bukti penting diajukan semuanya menambah elemen ketegangan yang mirip dengan acara televisi fiksi. 
Hal tersebut memberikan hiburan sekaligus informasi, menarik penonton yang mencari konten yang mendebarkan dan mengharukan. Tak hanya itu, rasa keingintahuan, praktik voyeurisme dalam konteks rasa penasaran berlebih terhadap realita dan kehidupan seseorang menjadi sebab yang lain bagaimana para audiens mengkonsumsi sebuah tayangan. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa video siaran langsung persidangan kasus yang sempat menggemparkan di Indonesia, misalnya kasus Kopi Sianida atau pembunuhan terhadap Mirna Salihin tahun 2016 silam yang ditonton sampai 100.000an kali. 
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, beberapa tahun kemudian, kita disuguhkan siaran langsung persidangan kasus kematian Brigadir Joshua dengan tersangka utama atasannya sendiri,  Ferdy Sambo, yang cukup dramatis dan menguras perhatian masyarakat Indonesia. Video siaran langsung tersebut ditonton sampai hampir sejuta netizen di dunia maya.

Siaran Langsung Pengadilan dan Trial by The Press (+Netizen)

Peradilan dan media memiliki hubungan simbiosis. Sementara media mengungkap prestasi sekaligus kelemahan manusia, peradilan menangani masalah hukum yang timbul darinya. Kedua lembaga ini pada dasarnya berbagi tujuan untuk mencari kebenaran, memastikan keadilan, dan melayani nilai-nilai demokrasi. Namun, konflik muncul ketika media mengalahkan peradilan, yang mengarah pada kejahatan kebencian dan tuduhan palsu yang merusak tatanan budaya dan intelektual negara. 
ADVERTISEMENT
Pendekatan media dengan menampilkan persidangan menciptakan praduga bersalah sebelum proses hukum dimulai, yang membahayakan keadilan proses peradilan. Kebebasan berbicara dan berekspresi, meskipun penting, memiliki batasan yang wajar untuk melindungi kepentingan nasional dan ketertiban umum. Media harus menjalankan kekuasaannya secara bertanggung jawab, dengan menghormati prinsip-prinsip peradilan yang adil dan kehidupan yang layak.
Tak hanya media mainstream, adanya media sosial juga menjadi tantangan lain dalam proses pengadilan di negeri ini. Era media baru atau media sosial saat ini memudahkan netizen untuk memproduksi opini bahkan saluran media mereka masing-masing. Tidak sedikit opini yang dilontarkan membahas mengenai kasus-kasus sensasional yang kadang pembahasannya kurang relevan dengan proses peradilan itu sendiri.
Sebut saja kasus Ferdy Sambo beberapa waktu silam. Motif pembunuhan berencana terhadap Brigadir Joshua dikaitkan dengan isu LGBT. Cuplikan video, komentar, atau opini di berbagai platform media sosial yang diproduksi netizen tak cukup membahas kasus hukum yang menjerat dirinya, namun juga isu serta kehidupan pribadi yang bahkan belum diketahui kebenarannya. 
ADVERTISEMENT

Mencegah Trial by the Press dalam Liputan Peradilan

Sebagai corong informasi dan pilar demokrasi, terobosan media dengan meliput proses peradilan sangatlah bermanfaat terutama dalam mengedukasi masyarakat. 
Meskipun demikian, media harus mewaspadai trial by the press karena berbagai alasan yang sangat penting. Pertama, prinsip praduga tak bersalah mengharuskan semua orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah di pengadilan. Trial by the press kadang merusak prinsip ini dengan menciptakan opini publik yang bisa mendahului keputusan hukum resmi. Hal ini dapat mengganggu keadilan proses hukum karena liputan media yang berat sebelah atau sensasional bisa mempengaruhi persepsi hakim dan pihak-pihak terkait lainnya. 
Selain itu, penyebaran informasi pribadi secara berlebihan dalam liputan kasus bisa melanggar hak privasi tersangka, korban, dan saksi yang mungkin tidak relevan dengan inti kasus. Lebih dari itu, media memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik, dan liputan yang tidak seimbang dapat menciptakan stigma sosial yang merugikan pihak yang terlibat, meskipun mereka akhirnya dinyatakan tidak bersalah. 
ADVERTISEMENT
Hal ini juga bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan institusi hukum. Lebih jauh lagi, jurnalis terikat oleh kode etik yang mengharuskan mereka meliput berita secara objektif dan bertanggung jawab, dan trial by the press jelas melanggar prinsip-prinsip ini, yang pada akhirnya dapat menurunkan integritas profesi jurnalistik.
Agar media mampu memberitakan proses pengadilan secara fair dan tidak terkonsentrasi pada satu permasalahan hukum tertentu saja, mereka harus mengambil beberapa langkah penting. Salah satunya adalah diversifikasi liputan kasus di berbagai lokasi. Hal ini untuk memastikan bahwa perhatian tidak hanya terfokus pada kasus-kasus yang sensasional atau berprofil tinggi, tetapi juga pada kasus-kasus lain yang mungkin memiliki kepentingan publik yang signifikan. 
Tak hanya itu, media harus menjaga keseimbangan dalam liputan dengan memberikan waktu dan ruang yang setara untuk berbagai perspektif yang ada dalam suatu kasus, termasuk pandangan dari pihak pembela, jaksa, ahli hukum, dan saksi. Terakhir, media harus melibatkan jurnalis yang memiliki pengetahuan mendalam tentang sistem peradilan dan hukum, sehingga laporan yang disajikan bisa lebih akurat dan informatif.
ADVERTISEMENT