Konten dari Pengguna

Selebriti dalam Pilkada dan Rezim Visibilitas di Indonesia

Maulida
Alumni Kajian Budaya dan Media UGM. Penulis dan peneliti, tinggal di Rote Ndao, NTT.
6 Agustus 2024 12:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maulida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi selebriti dan rezim visibilitas (sumber: freepik)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi selebriti dan rezim visibilitas (sumber: freepik)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam beberapa waktu terakhir, fenomena masuknya selebriti ke dalam arena politik telah mendapatkan perhatian yang signifikan di Indonesia. Yang terbaru dan banyak dibicarakan akhir-akhir ini adalah Marshel Widianto, komika yang juga finalis Stand Up Comedy Academy beberapa tahun silam. Komika yang sempat tersandung kasus pembelian konten pornografi itu resmi diusung Partai Gerindra menjadi Wakil Walikota Tangerang Selatan pada Pilkada 2024 mendatang.
ADVERTISEMENT
Marshel tidak sendirian. Ada juga nama Vicky Prasetyo yang dicalonkan sebagai calon wakil Bupati Pemalang, Jawa Tengah, mendampingi Nurhidayat Hanyokrokusumo, dan masih ada beberapa nama selebriti lainnya yang ikut dalam kontestasi Pilkada mendatang.
Jika melihat sejarah, keterlibatan selebriti dalam dunia politik bukanlah hal yang baru. Hal tersebut telah terjadi sejak Orde Baru. Akan tetapi, pada saat itu, keterlibatannya sangatlah minim, mengingat rezim yang otoriter dengan akses ke media yang begitu terbatas.
Singkat cerita, ketika pintu Reformasi terbuka atau setelah tahun 1998, para artis atau selebriti mulai memiliki kesadaran baru untuk aktif ke dunia politik. Hal tersebut semakin tampak terlihat ketika tahun 2004, para selebriti berbondong-bondong bergabung dengan parpol dan menjalankan tujuannya untuk meraih kursi di parlemen.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan studi faktor-faktor keterlibatan artis dalam partai politik, salah satu faktor mengapa selebriti masuk dan ditarik patai dalam dunia politik adalah karena faktor popularitas (Azis, A., 2004). Karya seni yang selama ini mereka tampilkan terutama di layar kaca, mampu menarik perhatian massa secara signifikan.
Meskipun begitu, pada tahun tersebut, pengaruh selebriti belum segamblang hari ini dengan gempuran media sosial yang mereka gunakan secara langsung terutama untuk kepentingan advetorial, menarik massa dalam kampanye mereka sehari-hari. Hal ini. yang kemudian kita kenal dengan rezim visibilitas.
Selebriti dan Rezim Visibilitas
ilustrrasi selebriti dan pengaruhnya di media sosial (sumber: freepik)
Selain perubahan era, (Orde Baru ke Reformasi), hari ini, pengaruh selebriti kian massif dengan masuknya sebuah rezim yang lebih dikenal dengan rezim visibilitas.
ADVERTISEMENT
Rezim visibilitas, menjadi sebuah konsep yang diartikan oleh Winkel (2005) sebagai kondisi yang menggambarkan kehidupan masyarakat kontemporer di tengah lautan media visual, yang berarti bahwa semua orang dan segala sesuatu ingin terlihat.
Sukses berarti visibilitas dan visibilitas berarti kesuksesan. Rezim ini berperan membuat bagaimana media dan struktur masyarakat mengangkat individu tertentu, menjadikan mereka menonjol dalam kesadaran publik.
Di Indonesia, negara yang memiliki lanskap media yang dinamis dan masyarakat yang sangat terlibat dalam budaya populer, visibilitas yang diberikan kepada selebriti memberi mereka peluang dan tantangan unik di bidang politik. 
Lebih jauh, rezim visibilitas memberi selebriti keuntungan tersendiri dalam pemilu di Indonesia: pengakuan instan. Dalam sistem politik di mana banyak kandidat berjuang untuk mendapatkan perhatian di tengah persaingan yang ketat, selebriti memulai dengan keunggulan yang signifikan karena profil publik mereka yang mapan.
ADVERTISEMENT
Pengakuan ini dapat diterjemahkan menjadi dukungan pemilih, karena banyak masyarakat Indonesia yang merasakan hubungan dengan tokoh-tokoh tersebut berdasarkan karier hiburan mereka. Misalnya, Dede Yusuf, mantan aktor dan presenter televisi, berhasil memanfaatkan ketenarannya untuk mendapatkan jabatan politik, menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat dari tahun 2008 hingga 2013. Kariernya di industri hiburan memberinya landasan untuk mengkomunikasikan aspirasi politiknya secara efektif dan menjangkau khalayak luas.
Selain itu, dalam rezim visibilitas, kampanye para artis menjadi semakin "mudah" dengan mengoptimalkan konten melalui media sosial mereka masing-masing. Hal ini membuat jarak tidak berarti lagi hanya dengan mempertontonkan cuplikan postingan atau unggahan cerita dalam Instagram, Facebook, YouTube, juga TikTok yang dapat dijangkau jutaan followersnya sehingga rasa kedekatan semakin terbangun secara virtual.
ADVERTISEMENT
Amplifikasi Media dan Keterlibatan Langsung
Media di Indonesia memainkan peran penting dalam memperkuat kehadiran politisi selebriti. Baik media tradisional maupun platform media sosial memberikan liputan luas kepada selebriti, memastikan pesan politik mereka menjangkau khalayak luas. Perhatian media ini memungkinkan calon pemimpin derah maupun caleg dari kalangan selebriti untuk mempertahankan visibilitas selama kampanye mereka, sehingga seringkali mengungguli kandidat non-selebriti.
Selain itu, selebriti juga mahir menggunakan media sosial untuk berinteraksi langsung dengan pengikutnya, sehingga memungkinkan mereka mengabaikan metode kampanye tradisional dan mengomunikasikan pesan tanpa filter.
Misalnya, untuk mendengar aspirasi masyarakat, kampanye Verrel Bramasta akan berbeda atau bahkan tampak jauh lebih mudah dengan membagikan kegiatan kampanyenya atau sekedar melemparkan pertanyan melalui Instagram storynya kepada lebih dari 20 juta followernya daripaada mereka yang bukan dari kalangan influencer ataau selebriti.
ADVERTISEMENT
Reizim visibilitas, memfasilitasi keteribatan langsung, membantu selebriti membangun hubungan pribadi dengan para pemilih, yang dapat menjadi faktor penentu dalam memperoleh suara.
Sisi Lain Rezim Visibilitas
Meskipun visibilitas memberikan keuntungan, hal ini juga menghadirkan tantangan besar bagi politisi selebriti di Indonesia. Bila tantangan sebelum reformasi adalah pemerintahan otoriter dengan aspek pengawasan ketat oleh pemerintah di segala lini, kini, para aktor politik secara langsung mendapat pengawasan dari berbagai arah.
Rezim visibilitas telah mengambil ciri yang dominan pasca-panoptik atau situasi atau sistem di mana individu merasa mereka selalu diawasi atau dipantau. Ini sering digunakan untuk menggambarkan pengawasan modern, seperti penggunaan kamera CCTV, internet, dan teknologi lainnya yang memungkinkan pemantauan terus-menerus. Konsep ini juga dieksplorasi dalam teori sosial, terutama oleh filsuf Michel Foucault, yang melihatnya sebagai metafora untuk kekuasaan dan kontrol sosial.
ADVERTISEMENT
Dalam rezim visibilitas, alih-alih menjadi pusat perhatian negara, aktor-aktor seperti perusahaan, organisasi media, dan individu lain juga berperan sebagai pengamat sekaligus pengawas. Pengawasan dilakukan dalam bentuk pengumpulan data yang digunakan tidak hanya untuk keamanan tetapi juga untuk tujuan komersial. Siapapun, termasuk selebriti, pun masyarakat, semakin diprofilkan dan didekati sebagai komoditas partai politik. Meski begitu, hal yang terpenting dari semua ini adalah bagaimana para selebriti ini dijadikan pion dalam keterhubungan diri (sekaligus parpol) mereka dengan masyarakat.
Pilkada dan Selebriti: Popularitas Vs Kompetensi
Sah-sah saja bila selebriti turut terjun dalam pencalonan kepala daerah, akan tetapi, satu perhatian utama lainnya yang tidak boleh terlupakan yaitu pertanyaan tentang kompetensi dan keahlian. Banyak pemilih dan analis politik menyatakan skeptis terhadap kemampuan selebriti untuk mengelola tanggung jawab pemerintahan yang kompleks, dan sering kali memandang mereka kurang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang diperlukan. Skeptisisme ini dapat menghambat kredibilitas calon selebriti, sehingga mengharuskan mereka bekerja lebih keras untuk membuktikan kemampuan dan keseriusan mereka dalam menduduki jabatan politik. Selain itu, meningkatnya visibilitas yang dinikmati selebriti membuat mereka menjadi sasaran pengawasan ketat. Tindakan mereka di masa lalu, baik pribadi maupun profesional, sering kali dikaji secara mendetail, dan kontroversi apa pun berpotensi merugikan karier politik mereka. Pengawasan ini bisa menjadi pedang bermata dua, karena selebriti harus secara hati-hati menavigasi kepribadian publik mereka untuk mempertahankan daya tarik mereka sambil menunjukkan kecerdasan politik.
ADVERTISEMENT