Konten dari Pengguna

Freelancer Dalam Mata Hukum Ketenagakerjaan

Sayid Nadarul Haq
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret
11 Desember 2024 16:38 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sayid Nadarul Haq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar ini didapat dari penulusuran AI
zoom-in-whitePerbesar
Gambar ini didapat dari penulusuran AI
ADVERTISEMENT
Era digital telah melahirkan sebuah fenomena baru dalam dunia kerja, yakni gig economy. Model kerja yang menawarkan fleksibilitas tinggi ini memungkinkan individu untuk bekerja secara mandiri melalui platform digital, tanpa terikat pada satu perusahaan. Namun, di balik kemudahan dan fleksibilitas yang ditawarkan, gig economy juga menghadirkan tantangan kompleks dalam ranah hukum ketenagakerjaan.
ADVERTISEMENT
Freelancer, yang bekerja secara mandiri tanpa terikat pada satu perusahaan dan biasanya dibayar per proyek, semakin meningkat jumlahnya seiring perkembangan teknologi dan platform digital. Sayangnya, status hukum mereka sering kali menjadi perdebatan, apakah mereka dianggap sebagai pekerja atau pengusaha kecil.
Undang-Undang Cipta Kerja sendiri tidak secara spesifik mengatur status freelancer. Regulasi yang ada lebih menitikberatkan pada hubungan kerja dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), meninggalkan freelancer dalam area abu-abu yang minim perlindungan hukum.
Ketentuan terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diatur dalam Pasal 56 hingga Pasal 61A Undang-Undang Cipta Kerja, serta Pasal 62 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Selain itu, pengaturan lebih lanjut dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, tantangan besar masih menghantui freelancer. Ketidakjelasan status hukum membuat mereka rentan terhadap eksploitasi dan sering kali tidak mendapatkan perlindungan sosial seperti jaminan kesehatan. Selain itu, keterbatasan perlindungan hukum menyulitkan mereka dalam menuntut hak saat terjadi sengketa dengan klien, ditambah dengan pendapatan yang tidak stabil karena tergantung pada jumlah proyek yang diperoleh. Hal ini dikarenakan pekerja freelance terhubung dengan pengguna jasa melalui hubungan jasa, bukan hubungan kerja formal. Mereka menerima honorarium atau fee berdasarkan kesepakatan, tanpa perjanjian kerja, melainkan perjanjian jasa sementara yang tidak mengatur hak dan kewajiban secara rinci.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah strategis seperti regulasi yang jelas mengenai status dan hak-hak freelancer, akses lebih mudah terhadap program jaminan sosial, penguatan peran lembaga mediasi untuk menyelesaikan sengketa, serta peningkatan literasi digital agar freelancer memahami hak mereka dan dapat melindungi diri dari eksploitasi.
ADVERTISEMENT
Freelancer memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, namun agar kontribusi mereka optimal, diperlukan perlindungan hukum yang jelas dan memadai. Walaupun peraturan perundang-undangan telah membuka peluang, masih diperlukan penyempurnaan regulasi agar kebutuhan dan tantangan pekerja lepas dapat terakomodasi dengan baik.