Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Influencer dan Budaya Konsumtif Wanita di Era Digital
20 Januari 2025 16:20 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Sandra Buana Sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Media sosial telah menjadi ruang utama dalam kehidupan kita, tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tetapi platform digital seperti Tiktok, Instagram, hinga Youtube juga memengaruhi cara kita melihat dunia, terutama dalam hal gaya hidup dan konsumsi. Banyak orang, teritama Wanita menganngap media sosial adalah arena tempat tren kecantikan, gaya hidup, dan promosi produk terus bermunculan.
ADVERTISEMENT
Salah satu aktor utama dalam fenomena ini adalah influencer. Dengan jutaan pengikut dan konten yang menarik yang dipersonalisasi, mereka membentuk persepsi tentang apa yang dianggap “ideal” atau “wajib dimiliki” oleh kaum hawa. Namun, di balik popularitas mereka, ada dampak yang seharuskan cermati: budaya konsumtif yang terus berkembang.
Influencer: Tren atau Mesin Konsumsi?
Saat ini Influencer adalah wajah baru dari dunia iklan yang membawa rekomendasi langsung ke layer ponsel kita. Tidak seperti jaman dulu, promosi produk hanya terbatas ditemukan di televisi, majalah, atau baliho. Dengan cara yang terlihat “sehari-hari” para influencer seringkali mengemas produk yang mereka promosikan sebagain bagian yang penting dimiliki dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan mereka.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat dari teori uses-and-gratifications, manusia menggunakan media sosial untuk memenuhi kebutuhan tertentu, seperti hiburan, inspirasi, dan juga validasi sosial (Katz et al., 1974, Morissan, 2022). Influencer memenuhi kebutuhan ini dengan membagikan rutinitas sehari-hari, seperti tips kecantikan, olahraga, dan memperlihatkan barang apa yang mereka konsumsi. Konten ini memberi kesan bahwa membeli produk yang mereka gunakan adalah kunci kesusksesan menuju gaya hidup yang modern dan ideal.
Misalnya, saat seorang influencer mempromosikan skincare tertentu dengan klaim “cara agar kulit glowing” followernya akan merasa terdorong untuk memberli produk serupa. audiensnya merasa terdorong untuk membeli produk serupa. Hasilnya, budaya konsumtif semakin mengakar, terutama di kalangan wanita yang ingin mencapai standar kecantikan tertentu.
Media Sosial dan Budaya Konsumtif
ADVERTISEMENT
Fungsi media sosial saat ini tidak hanya menjadi tempat promosi, tetapi juga menciptakan budaya konsumsi yang terus-menerus. Fenomena seperti unboxing videos atau get ready with me yang seharusnya menghibur, memberikan sisi lain yang mendorong perilaku konsumtif
Paparan media secara terus-menerus dapat membentuk cara pandang seseorang terhadap dunia (Gerbner, 1980, dalam Morissan, 2022), dalam konteks ini, wanita sering kali merasa bahwa dengan membeli produk tertentu yang dipromosikan para influencer, mereka akan mendapat pengakuan sosial dan salah satu cara untuk mencapai kebahagiaan.
Contohnya, ketika tren skincare viral di TikTok, banyak wanita merasa “harus” membeli dan mencoba produk yang direkomendasikan, meskipun kulit mereka sebenarnya tidak sama dengan influencer tersebut. Budaya ini diperkuat oleh algoritma media sosial yang terus mempromosikan produk serupa, sehingga audiens terus terpapar produk-produk baru dan menjadi konsumtif.
ADVERTISEMENT
Dampak Budaya Konsumtif pada Wanita
1. Tekanan untuk Selalu Relevan
Tren kecantikan dan gaya hidup berubah begitu cepat, setiap orang terutama Wanita sering kali merasa harus terus mengikuti tren tersebut agar tidak dianggap ketinggalan zaman.
2. Overkonsumsi dan FOMO (Fear of Missing Out)
Strategi pemasaran seperti “diskon terbatas”, “produk eksklusif” atau “direferensikan oleh influencer: menciptakan perasaan FOMO. Hal ini membuat banyak wanita merasa perlu segera membeli suatu produk meskipun sebenarnya tidak terlalu membutuhkan.
3. Dampak Finansial
Gaya hidup konsumtif sering kali berujung pada pengeluaran yang tidak terkendali. Banyak wanita terjebak dengan menggunakan paylatter karena berusaha untuk mengikuti tren tanpa melihat kemampuan financial mereka.
4. Standar Kecantikan yang Tidak Realistis
ADVERTISEMENT
Influencer sering menampilkan diri mereka dalam versi yang sempurna, lengkap dengan kulit glowing dan tubuh ideal. Hal ini menciptakan tekanan bagi wanita untuk tampil flawless, meskipun standar tersebut sulit dicapai tanpa bantuan filter digital atau produk mahal.
Melawan Budaya Konsumtif: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Sangat tidak mudah mengatasi budaya konsumtif dengan gempuran promosi produk di media sosial. Berikut beberapa Langkah yang dapat diambil agar tidak terjebak dengan gaya hidup konsumtif:
• Kritis terhadap Konten Influencer
Jangan langsung percaya pada setiap rekomendasi produk. Tanyakan pada diri sendiri: apakah produk ini benar-benar saya butuhkan?
• Pahami Strategi Pemasaran
Sadari bahwa banyak konten influencer adalah bagian dari kerja sama dengan brand. Dengan pemahaman ini, kita bisa lebih kritis dalam menilai konten mereka.
ADVERTISEMENT
• Prioritaskan Kebutuhan daripada Keinginan
Sebelum membeli, pikirkan apakah produk tersebut benar-benar diperlukan atau hanya bagian dari tren sesaat.
• Dukung Influencer yang Memberdayakan
Pilih influencer yang mempromosikan keberagaman, body positivity, atau gaya hidup sehat tanpa mendorong konsumsi berlebihan.
Kesimpulan: Wanita dan Budaya Digital
Budaya konsumtif di era media sosial adalah cerminan dari bagaimana media memengaruhi cara kita menjalani hidup. Influencer menjadi simbol aspirasi, tetapi juga mesin penggerak konsumsi.
Sebagai wanita, kita punya pilihan: apakah kita ingin menjadi kritis terhadap apa yang kita konsumsi di media sosial, atau terus terjebak dalam tekanan untuk membeli? Pada akhirnya, kenyamanan dengan diri sendiri jauh lebih penting daripada apa yang kita konsumsi. Daripada menghabiskan waktu mengejar tren yang terus berubah, lebih baik fokus pada apa yang benar-benar penting dan menggali potensi diri untuk menampilkan citra yang lebih positif.
ADVERTISEMENT
Referensi
Gerbner, G. (1980). The Dynamics of Cultivation Analysis.
Katz, E., Blumler, J. G., & Gurevitch, M. (1974). Uses and Gratifications Research.
Morissan, Ph.D. (2022). Kajian Media dan Budaya.
Penulis : Sandra Buana Sari, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi USAHID
Live Update