Konten dari Pengguna

Ramadhan di Perantauan

14 Mei 2018 7:29 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Schaaci tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ramadhan di Perantauan
zoom-in-whitePerbesar
“Nduk, mengko sore buko masak opo ?”
(Nak, nanti sore buat berbuka masak apa )
ADVERTISEMENT
Suara lembut itu masih tetap terngiang di telinga. Suara seorang ibu yang selalu menyajikan menu buka puasa dengan penuh rasa cinta kepada keluarganya. Memilih menu masakan yang selalu membuat keluarganya terus merasakan kenikmatan berbuka puasa. Menyiapkan tanpa meminta balas ketulusan yang memang sudah menjadi tugas utama sebagai seorang perempuan dan ibu rumah tangga.
Namun, tiga kali ramadhan suara itu sudah tak ku dengar. Sosok lembutnya jauh dari pandanganku. Tetapi do’anya terus mengalir untuk anaknya yang tengah berjuang di perantauan. Setiap kali suara itu ku dengar dari jarak kejauhan, air mata rindu ini memburu dalam benak yang terus terguncang keinginan untuk cepat pulang. Caranya menguatkan akan hati yang sebenarnya butuh penompang, adalah membuat sedikit menepis segala rasa yang terus menggerogoti saat ramadhan tiba.
ADVERTISEMENT
Jauh di negeri orang, menikmati ramadhan hanya dengan sisa kekuatan menunggu bergantinya waktu. Hari demi hari, bulan hingga tahun seolah menjadi makanan yang dihidangkan sendiri untuk menuju ramadhan, harapan bersama di rumah nanti. Gejolak ramadhan semakin kuat ketika menikmati saat – saat berbuka hanya bersama bayangan keluarga di negeri sendiri. Tak di pungkiri air mata sering menemani dan menjadi menu dalam setiap kali ramadhan itu menghampiri.
Apakah mereka semua sama sepertiku ? Ketika ramadhan tiba hatinya sendu karena rindu ? Atau mereka terbiasa menghadapi kenyataan yang memang sudah Allah tulis dalam perjalanan?
Entahlah, meski ini adalah ramadhan ketiga namun berat hati itu masih tetap saja ada. Kadang merasa bingung bagaimana cara menguatkan rasa agar aku mampu seperti mereka. Menyambut datangnya ramadhan penuh suka cita, berusaha terawa meski sebenarnya hatinya dan hatiku sama rindu dengan keluarga.
ADVERTISEMENT
Ramadhan di perantauan, wujud bukti kesabaran yang patut di kuatkan. Seperti menahan kesakitan yang entah kapan sembuhnya. Segala cita – cita dan cinta yang mengiringi arti ramadhan tiba saat di perantauan juga tak mampu meredakan. Hati tenaga kerja mana yang mampu membendung kerinduan keluarga, kampung halaman hingga sebuah moment yang hanya ada sekali dalam setahunnya. Jerit hati para perantau adalah bukti cintanya kepada keluarga, dirinya bahkan Tuhannya.
Sesak hati itu akan jauh lebih terasa ketika seorang ibu meninggalkan anaknya untuk merantau. Tetes air mata tak mampu disembunyikan saat sang anak bertanya pada keadaan,
“Bu, kapan pulang ?, sebentar lagi ramadhan”
Adakah yang tidak menangis mendengar suara seorang malaikat kecil bertanya tentang ramadhan tanpa kehadiran sosok yang ia rindukan ? Aku membuktikannya. Mulutku terbungkam seketika. Pertanyaan polos yang mampu menguras air mata tak bisa terjawab meski hanya dengan senyuman saja. Dalam hati berkata ‘semua ini demi kamu nak, suatu saat saat ramadhan tiba ibu akan ada disampingmu’.
ADVERTISEMENT
Itulah nikmatnya ramadhan di perantauan. Semoga ramadhan yang akan datag pertanyaanmu akan terjawab nak…