Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Duta SDGs ITB: Tidak Merawat Bumi, Berarti Menyakiti Diri Sendiri
30 April 2021 16:10 WIB
Tulisan dari SDGs Network ITB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penulis: Nadiya Syafia Shani, Tristia Riskawati
“Bumi adalah rumah kita bersama. Jika kita tidak merawat bumi sama saja dengan kita menyakiti diri kita sendiri.” Begitu papar Duta SDGs ITB Steven Setiawan pada Webinar: Hari Bumi, Meraba Bumi dari Tiga Lini, Kamis 22 April 2021.
ADVERTISEMENT
Steven yang merupakan founder komunitas Baramoeda kemudian menjelaskan mengenai kegiatannya dalam menjaga bumi. Baramoeda yang bervisi youth empowerment for a better planet through education memiliki dua kegiatan utama. "Kegiatan utamanya di antaranya adalah pemberdayaan masyarakat lewat daur ulang sampah menggunakan Black Soldier Fly (BSF), dan penanaman mangrove yang dilakukan di Desa Ciburial," jelas Steven.
BSF dipilih untuk digunakan di proyek ini karena bisa menghasilkan dua produk. Produk tersebut yaitu larva dan pupuk organik yang kemudian bisa digunakan masyarakat untuk pertaniannya. "Dalam program ini, masyarakat dididik untuk menggunakan pengolahan sampah berkelanjutan menggunakan BSF," ujar mahasiswa Biologi ITB angkatan 2017 ini.
Projek kedua, yaitu Know Your Wetlands berisikan kegiatan pengenalan wetland ke masyarakat dan menanam 1300 bibit bakau. Bakau dipilih karena mampu menyerap karbon lebih tinggi daripada pohon lain di daratan.
ADVERTISEMENT
Steven melanjutkan, Desa Ciburial merupakan sebuah desa berbasis pertanian namun belum berkelanjutan yang masih menggunakan pupuk nonorganik dan pestisida. Selain itu juga terjadi peningkatan wisatawan yang menggunakan kendaraan bermotor ke daerah tersebut serta pengelolaan sampah yang belum berkelanjutan.
"Tujuan dari dua program tersebut yaitu untuk membuat masyarakat melakukan kompensasi penuh jejak karbon, mencapai net zero carbon emission, dan memulihkan kawasan hutan bakau yang tercemar oleh tumpahan minyak. Tujuan ini berkaitan erat dengan SDGs poin 11, 12, 13, 14, 15," papar Steven.
Pembicara selanjutnya adalah Muhammad Najib dari komunitas Seangle Palu. Seangle Palu merupakan organissasi sosial lingkungan yang berfokus di bidang sampah yang akan berakhir ke laut. Seangle beridiri tahun 2017 dengan visi Seangle menjadi wadah dan penggerak untuk masyarakat meelalui pendidikan berbasis peduli lingkungan.
ADVERTISEMENT
"Tiga program utama di dalam Seangle adalah Rupiah (RUmah PendIdikan sampAH), Upcycling, dan Seaschool," ujar Najib.
Program Rupiah bergerak untuk mendidik anak-anak dari usia dini untuk peduli terhadap lingkungan. Adik-adik di wilayah target diberikan pendidikan gratis setiap pekannya dari mulai belajar Bahasa Inggris, lingkungan, membuat robot, dll. Di setiap materi yang diajarkan selalu diselipkan nilai-nilai peduli lingkungan.
"Setiap adik diminta untuk membawa sampah yang sudah dipiliah dari rumah untuk bisa mengikuti program Rupiah. Masing-masing adik bisa membawa 200-500 gram sampah di setiap pertemuan pekanan," papar Najib.
Di akhir tahun, masing-masing adik akan dievaluasi apakah sudah mengurangi penggunaan sampah plastik di rumahnya ataukah belum. Selain proses belajar mengajar, program Rupiah juga menghasilkan beberapa produk untuk adik-adik bawa pulang seperti gantungan, tempelan kulkas, dan ecobricks yang dibuat bersama-sama.
ADVERTISEMENT
"Hasil dari program Rupiah terlihat bahwa pada mulanya adik-adik belum peduli lingkungan. Namun sekarang alhamdulillah lingkungan disana menjadi lebih bersih dan adik-adik memiliki sifat tanggungjawab terhadap lingkungan, seperti mengambil sampah yang terjatuh di sembarang tempat kemudian disimpan di tempat sampah," terang Najib.
Najib mengungkapkan, adik-adik peserta juga terlihat menanamkan nilai cinta lingkungan pada keluarganya. Salah satu contohnya adalah ibu-ibunya sudah rajin membawa tumblr.
Selanjutnya, ada Aim (kelas 6 SD) dan Ita (kelas 4 SD) yang berbagi pengalamannya dalam membuat ecobricks. Keduanya berasal dari kota Tuban. Aim sendiri terinspirasi dari gurunya yang berpesan bahwa kebersihan itu sebagian dari iman. "Hal ini selalu diingat oleh Aim sampai saat ini," ujarnya.
Aim melakukan mini riset di lingkungan rumah dimulai dengan mencatat sampah plastik yang dikumpulkan dari lingkungan sekitarnya kemudian dikelompokan berdasarkan jenis dan bentuknya. Sebagai solusi sementara, sampah yang sudah dikumpulkan dibuat menjadi ecobricks. Aim tidak melakukannya sendirian, tapi ia juga mengajak teman-temannya untuk ikut terlibat dalam pembuatannya.
ADVERTISEMENT
"Plastik memiliki masa depan yang mencemaskan baik itu disimpan, dikemas, dibuang ke selokan, dibuang ke sungai, maupun dibakar," ujar Aim. Aim melanjutkan, jika tidak dikendalikan manusia, plastik akan jadi senjata makan tuan. Plastik yang dibakar akan menyebabkan pelepasan zat kimia yang akan menimbulkan reaksi batuk, sesak nafas, dan pusing, serta meningkatkan emosi gas CO2.
Sedangkan Ita, sejak Februari 2021, mengikuti kegiatan ecobricks di Rumah Baca Harapan. Menurutnya, kegiatan ini tidak melelahkan jika kita mampu menumbuhkan rasa cemas terhadap dampak yang akan mendatangi kita semua. Salah satu kegiatannya adalah mini riset masalah sampah di lingkungan keluarga.
"Mini riset Ita dimulai dengan mengumpulkan semua sampah di rumah baik yang dibawa oleh teman kakak, teman ibu, atau teman ayah. Sampah dikumpulkan di satu tempat yang jauh dari manusia agar tidak menimbulkan penyakit. Kemudian sampah diklasifikasi berdasarkan jenis dan fungsinya," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Untuk membuat ecobricks terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan, dimulai dari persiapan alat seperti gunting, botol bekas, bambu lancip atau kayu, dan sampah kemasan plastik. Langkah selanjutnya adalah menggunting plastik kemasan menjadi potongan-potongan kecil. Kemudian potongan plastik dimasukan ke dalam botol dan dipadatkan. Terakhir, ecobrick ditimbang lalu ditandai beratnya masing-masing.
Pesan dari Ita, “Saya pikir, bumi akan berakhir/kiamat bila semua orang tidak peduli dengan lingkungannya. Sampah plastik yang tidak dikelola, serupa kita sedang membangkitkan makhluk bernama karbondioksida yang akan menimbulkan bahaya pada udara/oksigen yang kita hirup setiap saat.”***