Konten dari Pengguna

Greenpeace: Selain Konsumen, Produsen Perlu Kurangi Kemasan Plastik

SDGs Network ITB
SDGs Network ITB adalah entitas SDGs di Indonesia, dengan tujuan ingin berpartisipasi mengakselerasi pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) di Indonesia.
4 Maret 2021 17:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari SDGs Network ITB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang turis berjalan-jalan di pantai Kuta yang ikonik di Bali yang terkubur oleh sampah plastik selama musim hujan di Denpasar, Bali. Pantai Bali dipenuhi sampah plastik yang menjadi acara tahunan karena cuaca monsun, pengelolaan sampah yang buruk dan krisis pencemaran laut global. © Made Nagi / Greenpeace
zoom-in-whitePerbesar
Seorang turis berjalan-jalan di pantai Kuta yang ikonik di Bali yang terkubur oleh sampah plastik selama musim hujan di Denpasar, Bali. Pantai Bali dipenuhi sampah plastik yang menjadi acara tahunan karena cuaca monsun, pengelolaan sampah yang buruk dan krisis pencemaran laut global. © Made Nagi / Greenpeace
ADVERTISEMENT
Oleh: Nadiya Shafia Syani dan Tristia Riskawati
75% responden ingin mengurangi bahkan menghentikan penggunaan plastik sekali pakai. Namun, kenyataannya publik masih menggunakan plastik sekali pakai untuk kebutuhan pengemasan produk esensial.
ADVERTISEMENT
"Hal ini utamanya dikarenakan plastik sekali pakai praktis, mudah ditemukan, murah, dan kemasan lain selain plastik sekali pakai tidak banyak yang bisa ditemukan di pasar."
Hal tersebut dipaparkan oleh Plastics Campaign Lead Researcher Afifah Rahmi Andini dalam Press Conference "Bagaimana Tanggung Jawab Produsen dalam Krisis Pencemaran Plastik", Kamis, 25 Februari 2021. Press Conference ini bekerjasama dengan Aliansi Zero Waste Indonesia (AWI) dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
Selain Afifah, terdapat pembicara lainnya yakni Fajri Fadillah dari ICEL. Hadir sebagai penanggap ialah Ir. Teti Armiati Argo, MES., PhD dari SDGs Center ITB. Press Conference ini dilaksanakan melalui platform Zoom, dan disiarkan pula untuk publik di Youtube. Hasil yang dipaparkan merupakan hasil penelitian dan observasi dari Greenpeace dan ICEL.
ADVERTISEMENT
Afifah melanjutkan, 55 persen publik menilai bahwa pihak yang paling bertanggungjawab akan masalah plastik sampah adalah industri, 23 persen publik menilai masyarakat, dan 22 persen publik menilai pemerintah lah yang bertanggungjawab.
"Publik berharap produsen dapat mengurangi produksi plastik dan menggantinya dengan beralih ke model pengiriman alternatif non-plastik," papar Afifah. "Publik juga menilai bahwa perusahaan yang memproduksi plastik sangat perlu untuk melakukan pengelolaan sampah plastiknya yang sudah terlanjut mencemari lingkungan."
Kemudian Afifah memaparkan, beberapa perusahaan sudah mulai melakukan upaya pengurangan sampah plastik. 57 persen responden setuju bahwa perusahaan sudah mulai melakukan upaya untuk mengurangi plastik. "Mayoritas perusahaan yang sudah melakukan usaha tersebut adalah perusahaan bidang retail dan jasa makanan dan minuman," ujar Afifah.
ADVERTISEMENT
Dari hasil temuan Greenpeace, ternyata lebih dari 50% responden tertarik dan sangat antusias ketika ditawarkan jenis-jenis layanan alternatif pengganti penggunaan plastik sekali pakai. Di antaranya seperti pengantaran ke rumah, penggunaan ulang kemasan, konsep toko grosir (bulk store), dan penyediaan mesin isi ulang.

Kesalahan produsen dalam memproduksi plastik dan bahayanya daur ulang kimia

Sedangkan Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup ICEL Fajri Fadhilah memaparkan temuannya mengenai dampak sampah plastik terhadap bumi. Indonesia sendiri merupakan negara yang menjadi penyumbang no.2 terbesar di dunia.
Fajri memaparkan pada 2015, bocoran sampah plastik dari daratan ke lautan adalah sebesar 8,8 juta ton per tahun atau seperti pembuangan sampah sebanyak satu truk setiap menitnya. "Dengan tren yang terjadi, penelitian tahun 2020 menunjukan bahwa pada tahun 2030, diprediksi akan terjadi bocoran sampah plastik ke laut sebanyak 22 juta sampai 58 juta ton per tahun," ujar Fajri.
ADVERTISEMENT
Fajri memaparkan, beberapa ahli menyadari bahwa solusi untuk menangani permasalahan tidak hanya satu solusi melainkan memerlukan penerapan berbagai solusi sekaligus. Skenario pemodelan mengenai solusi sampah plastik dari para ahli setidaknya mengusung mengurangi pertumbuhan produksi dan konsumsi plastik, mengurangi penggunaan plastik yang tidak perlu, dan menetapkan batas global untuk produksi plastik baru.
"Beberapa produsen melakukan beberapa kesalahan, di antaranya adalah meningkatkan produksi plastik sekali pakai dan melonggarkan definisi daur ulang," simpul Fajri.
Fajri juga memaparkan, daur ulang kimia seperti daur ulang mekanis, repolimerisasi, dan plastik diubah menjadi bahan bakar kurang tepat karena meninbulkan gas rumah kaca yang besar dan lepasnya racun dari proses tersebut ke lingkungan masyarakat. Hal ini tidak seharusnya menjadi solusi utama.
ADVERTISEMENT

Tanggapan dari SDGs Center ITB

Sedangkan Teti Armiati Argo dari SDGs Center ITB memberikan beberapa tanggapan terhadap pemaparan Afifah dan Fajri. Bagi Teti, plastik sangat beragam bentuknya, bukan hanya yang berupa kemasan. Bahkan beberapa orang mungkin tidak bisa lepas dari plastik di dalam kehidupannya.
"Tersebarnya sampah ke berbagai tempat salah satunya dipengaruhi oleh perilaku dan persepsi masyarakat," kata Teti yang juga mengajar di Planologi ITB.
Teti melanjutnya, sejatinya bukan jumlah populasi manusia yang memengaruhi produksi sampah plastik, melainkan taraf hidup manusia. Semakin kaya, manusia akan semakin memiliki kemampuan untuk membeli atau mengonsumsi berbagai produk maka akan semakin tinggi pula sampah yang dihasilkannya.
"Walaupun banyak orang yang berkata ingin berubah untuk mengurangi sampah, faktanya, tidak semuanya melakukan itu. Masih terjadi ketidakselarasan antara yang dinyatakan dan diperbuat," ujar Teti.
ADVERTISEMENT
Teti berpendapat, perlu ada pressure pada pihak produsen utamanya untuk produsen hulu supaya tumbuh keinginan untuk berinovasi untuk memproduksi produk dengan fungsi serupa yang harganya lebih murah. "Ada baiknya juga kebijakan produsen dibukakan ke konsumen, agar konsumen dapat memberi kritik dan masukan dan produsen memiliki kesempatan luas untuk mendengarkan konsumen," pungkas Teti.***