Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Melestarikan Budaya dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan
28 Januari 2021 15:30 WIB
Tulisan dari SDGs Network ITB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penulis: Nadiya Syafia Shani, Tristia Riskawati
Warisan budaya merupakan jati diri suatu masyarakat atau kaum yang diwariskan dari generasi-generasi sebelumnya, yang dilestarikan untuk generasi-generasi yang akan datang. Bentuknya dapat benda atau atribut tak berbenda.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut disampaikan Dr. Eng. Arif Sarwo Wibowo, S,T., M.T. (KK Sejarah, Teori dan Kritik Arsitektur) dalam Online Seminar Series Sustainable Development Goals Sekolah Arsitetktur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB yang ke-8. Dilaksanakan Kamis, 3 Desember 2020, seri webinar ini bertajuk "Strong Culture and Protected Heritage".
Selain Arif, terdapat dua pembicara lainnya, yakni Prof. Dr. Ing. Widjaja Martokusumo dari KK Sejarah, Teori dan Kritik Arsitektur; dan Ir. Tubagus Furqon Sofhani, MA., Ph.D. dari KK Perencanaan Wilayah dan Perdesaan. Arif fokus membahas dokumentasi digital dalam pelestarian warisan budaya, Widjaja fokus membahas peninjauan ulang pelestarian warisan cagar budaya, sedangkan Tubagus fokus membahas pengembangan budaya sebagai identitas ruang dan keberlanjutan komunitas.
Arif Sarwo Wibowo: Peran dokumentasi digital dalam pelestarian budaya
Arif memaparkan, dalam bidang arsitektur, banyak dibahas warisan budaya yang bersifat tangible. Secara fisik, terdapat setidaknya dua jenis bangunan yang menjadi warisan budaya yang ada di Indonesia yaitu bangunan dengan tradisi setempat (kayu-bambu) dan bangunan dengan pengaruh tradisi Barat (bata-beton).
ADVERTISEMENT
Namun menurut Arief, saat ini beberapa masalah yang terjadi diantaranya banyak bangunan warisan budaya yang terbakar, dirubuhkan, tergusur, dan terbengkalai. Bangunan ini memiliki nilai yang sangat berharga bagi arsitek. Jika hanya menunggu penyempurnaan Undang-Undang untuk melindungi warisan budaya maka akan memakan waktu yang lama.
"Selagi menunggu hal tersebut kita bisa melakukan pendokumentasian warisan budaya. Hal ini penting karena dapat dilakukan dengan cepat, mudah, murah, dan dapat dilakukan segera tanpa menunggu proyek, undang—undang, peraturan, maupun penganggaran," ujar Arief.
Namun bagi Arief kecepatan dalam proses dokumentasi perlu diperhatikan dan dilihat perbandingannya dengan kecepatan lenyapnya atau berubahnya suatu bangunan. Secara umum, proses dokumentasi dapat dilakukan dengan cara konvensional, photogrammetry, atau laser scan dengan kekurangan dan keunggulannya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Setidaknya terdapat tiga manfaat dari dokumentasi digital yaitu untuk dipelajari dan di teliti dalam dunia akademik, untuk perencanaan dan desain bagi pihak pemerintah daerah, serta wisata digital dan informasi wisata di dunia pariwisata. "Di sisi lain, untuk meningkatkan minat kaum milenial terhadap pelestarian warisan budaya, hasil dokumentasi digital dapat jadi inspirasi kaum milenial dalam pembuatan permainan 3D dan film," ujar Arief.
Widjaja Martokusumo: Tinjau ulang pelestarian warisan cagar budaya
Widjaja sendiri memaparkan observasinya terhadap pelestarian warisan cagar budaya. Baginya, modernisasi dan globalisasi yang terjadi saat ini menyebabkan terjadinya disrupsi. Hal ini menyebabkan banyak kawasan warisan cagar budaya yang terancam.
"Banyak hal yang terjadi saat ini dipengaruhi oleh negara lain khususnya negara barat, sehingga perlu dilakukan upgrade atau setidaknya peninjauan ulang agar pengetahuan dan standar terkait kawasan cagar budaya lebih relevan," paparnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Widjaja, terdapat keunikan dari warisan bangunan budaya di daerah timur. Selain dari bangunannya sendiri, bangunan di darah timur juga mengandung unsur nilai-nilai kehidupan. Hal tersebut tidak dimiliki oleh bangunan warisan budaya daerah barat.
"Sayangnya, kriteria cagar budaya menurut UU 11/2010 sangat berorientasi pada bentuk fisik dan mengabaikan nilai. UU hal ini tidak mendukung meningkatnya kelestarian cagar budaya bagi bangunan yang secara fisik tidak utuh," kritik Widjaja.
Walaupun sempat diperdebatkan oleh beberapa pihak, namun isu dari autentisitas dan integritas dinilai sangat relevan dengan pendekatan ideal terhadap pelestarian. Salah satu pendekatannya yakni melindungi dan mengungkapkan nilai-nilai dari objek pelestarian, bukan objeknya itu sendiri.
"Saat ini orang-orang sudah mulai menerima gagasan ini. Berdasarkan perkembangan tersebut, isu nilai dapat dilihat dari sisi manusia, sistem sosial, dan juga lansekap atau lingkungan," papar Widjaja.
ADVERTISEMENT
Adapun menurut Widjaja beberapa tantangan yang terjadi saat ini di antaranya adalah bangunan warisan budaya yang diadaptasi dan digunakan dengan tidak sesuai. Beberapa pemicunya adalah pesatnya perkembangan ekonomi, ketamakan, pariwisata masal, dan komersialisasi bangunan cagar budaya.
"Hal ini menunjukan pentingnya melihat kembali pelestarian dan perkembangan kota, pergeseran nilai-nilai baru, dan juga penurunan kualitas lingkungan yang terjadi. Peran pelestarian tidak lagi bicara tentang estetik belaka, melainkan ada tanggung jawab sosial," ungkap Widjaja.
Widjaja berharap, ke depannya konservasi dapat mengambil peran bukan hanya melestarikan tapi juga mendefinisikan dan menciptakan kualitas untuk membentuk ketahanan. Prospek pelestarian ke depannya diantaranya pelestarian sebagai bagian dari kebijakan pembangunan/modernisasi, pemberian dukungan teori dan praktik, serta adanya keragaman penafsiran mengenai hal yang perlu dilestarikan.
ADVERTISEMENT
Tubagus Furqon Sofhani: Pengembangan budaya sebagai identitas ruang dan keberlanjutan komunitas
Dalam mengawali bahasannya, Tubagus berbicara kaitan antara konsep budaya dengan SDGs. Baginya, budaya dalam konteks SDGs merupakan evolusi makna pembangunan. "SDGs sendiri saat ini masih cenderung terfragmentasi dan kurang menjelaskan inti dari pembangunan itu sendiri," ujar Tubagus.
Bagi Tubagus, pengembangan budaya itulah yang sebetulnya menjadi inti dari pembangunan dalam SDGs. Terdapat nilai dan keyakinan dari masyarakat yang perlu diubah terlebih dahulu agar tercipta budaya yang sesuai dengan harapan tujuan dalam SDGs.
"Budaya secara umum merupakan sebuah keseluruhan jalan hidup yang dibagi di dalam anggota suatu komunitas," jelas Tubagus. "Budaya dapat disusun oleh tiga sistem dari mulai sistem nilai dan keyakinan yang paling dasar, lalu termanifestasi pada sistem dan organisasi sosial, dan yang paling luar merupakan sistem dan wujud material salah satunya adalah bangunan."
ADVERTISEMENT
Sintesis budaya juga menjadi bahasan Tubagus berikutnya. Lalu lintas budaya biasanya lebih ramai di perkotaan. Bagi Tubagus, sebenarnya proses silang budaya tersebut dapat melahirkan gagasan-gagasan yang inovatif. Perlintasan budaya ini menjadi tantangan tersendiri bagi budaya asli Indonesia.
"Kita tidak bisa tertutup dengan budaya luar, karena keterbukaan juga merupakan proses memperkaya budaya. Namun dalam konteks kompetisi, terdapat satu sikap yang perlu dikikis yaitu rasa inferioritas ketika menerima budaya luar," terang Tubagus.
Menurut Tubagus, proses penerimaan budaya baru ini perlu didasari pemahaman bahwa sintesis yang dilakukan setelah menerima budaya luar akan mengangkat kualitas kemanusiaan kita sebagai suatu bangsa, bukan didasarkan perasaan inferior.***