Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Seruan Kesetaraan dalam Khotbah Terakhir Nabi Muhammad SAW pada Haji Wada’
25 Juni 2023 7:30 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rofiq Mahfudz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mengumandangkan kesetaraan manusia yang terkandung dalam deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM), Islam telah 14 abad lebih dahulu menyerukannya. Seruan kesetaraan salah satunya disampaikan secara gamblang oleh Nabi Muhammad Saw. saat haji wada’.
ADVERTISEMENT
Dinamakan haji wada’ sebab waktu itu Nabi Muhammad Saw. berpamitan dengan umatnya dengan pernyataan perpisahan, meski secara tersirat. Haji wada’ ini dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw. pada tahun 10 Hijriah.
Di awal bulan Dzulqa’dah tahun 10 H, Nabi mengumumkan bahwa beliau berniat menunaikan ibadah haji dan mengajak umat muslim agar turut serta di dalamnya.
Nabi bermaksud hendak menunjukkan tata cara ibadah haji yang benar sesuai tuntutan Allah SWT epada umat Islam. Umat Islam antusias menyambut ajakan beliau. Berbondong-bondong umat Islam datang dari berbagai penjuru, termasuk rombongan jemaah haji tersebut ummahat al-mu’minin.
Quraish Shihab, dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW dalam Sorotan Al Quran dan Hadis-hadis Sahih, mengatakan di samping dikenal dengan nama haji wada’, haji ini dinamai pula dengan sebutan Hajjat al-Islam, sebab ini merupakan haji Nabi yang pertama dan terakhir sesuai dengan tuntutan Islam. Haji ini pula yang dijadikan rujukan umat muslim dalam melaksanakan ibadah haji.
ADVERTISEMENT
Selain itu, haji ini dinamai pula dengan Hajjat al-Balaghah atau haji penyampaian, sebab salah satu yang Nabi tanyakan kepada jemaah dalam khOtbahnya adalah "هل بلغت؟" “Apakah aku telah menyampaikan?” Yakni ajaran Islam. Selain itu Nabi juga menyampaikan rincian ibadah haji secara lisan maupun praktik.
Ada lagi sebutan lain untuk haji ini, yaitu Hajjat at-Tamam atau haji kesempurnaan. Sebab pada hari Arafah manakala Nabi wukuf, turun penegasan kesempurnaan agama Islam dan nikmatNya dalam surat Al-Maidah ayat 3 dari Allah Swt.
Dalam banyak riwayat yang memuat hadis tentang khotbah Nabi pada haji wada’, para Sahabat mencatat bahwa Nabi Muhammad Saw. berkali-kali berkata “Mungkin aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian setelah tahun ini, dan aku tidak akan berhaji lagi setelah tahun ini”.
ADVERTISEMENT
Tatkala Nabi sampai di sebuah lembah di Urana, masih dalam keadaan menunggang kuda, Nabi berhenti lalu berkhotbah di hadapan lautan umat muslim yang hadir. Sabda Nabi diulang-ulang oleh Bilal bin Rabbah dan Rabi’ah bin Khalaf supaya jemaah haji mendengarnya.
Beberapa atsar dari sahabat juga dicantumkan oleh beberapa periwayat hadis di dalam sunannya mengenai Nabi yang menyampaikan khotbahnya ketika di Arafah. Salah satunya sebagaimana berikut.
أَخْبَرَنَا عَمْرُوبْنُ عَلِيٍّ قَال حَدَّثَنَا يَحْيَ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ نُبَيْطٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ عَلَى جَمَلٍ أَحْمَرَ بِعَرَفَةَ قَبْلَ الصَّلاَةَ.
“Telah mengabarkan kepada kami ‘Amr bin ‘Ali, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya dari Sufyan dari Salamah bin Nubaith dari ayahnya, ia berkata; saya melihat Rasulullah Saw. berkhotbah di atas unta merah di Arafah sebelum melakukan salat”.
ADVERTISEMENT
Selepas mengajarkan manasik haji serta menjelaskan sunah-sunahnya kepada umat muslim, Nabi Muhammad Saw. kemudian berkhotbah dan menjelaskan apa yang perlu beliau sampaikan. Berikut kutipan khotbah beliau soal humanisme, yang jauh disampaikan Nabi bahkan sebelum PBB menyerukannya. Dikutip dari Musnad Ahmad (Hadits Nomor 22391):
وعن أبي نضرة قال: «حدثني من سمع خطبة النبي صلى الله عليه وسلم في وسط أيام التشريق فقال: ” يا أيها الناس، إن ربكم واحد وأباكم واحد، ألا لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا أسود على أحمر، ولا أحمر على أسود إلا بالتقوى، أبلغت؟ “. قالوا: بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Dari Abu Nadhrah telah menceritakan kepadaku orang yang pernah mendengar khotbah Rasulullah Saw. di tengah-tengah hari tasyrik, beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia! Tuhan kalian satu, dan ayah kalian satu (maksudnya Nabi Adam). Ingatlah, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan bagi orang Ajam atas orang Arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan ketakwaan. Apa aku sudah menyampaikan?” Mereka menjawab: Iya, benar Rasulullah Saw. telah menyampaikan.”
Dengan terang-terangan dan apa adanya riwayat di atas menegaskan bahwa tidak ada kelebihan seorang manusia di atas manusia lainnya berdasarkan etnik dan warna kulit: “Tidak ada keutamaan orang Arab di atas orang non-Arab.”
ADVERTISEMENT
Hadis Nabi ini juga selaras dengan pesan Al Quran: “Yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa” (QS al-Hujurat: 13). Pesan Nabi 14 belas abad yang lalu begitu visioner dan mendahului zamannya.
Ini menunjukkan bahwa sejatinya Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Dalam humanisme, kesatuan menjadi hal utama. Dan ajaran Islam memang menekankan kesatuan dan kebersamaan.
Hal ini sejatinya telah termanifestasi dalam berbagai kewajiban ibadah misalnya ibadah salat yang berjemaah pahalanya dikali 27 ketimbang salat sendirian, salatnya orang Islam juga menghadap ke arah kiblat yang sama.
Ibadah puasa juga mengajarkan bagaimana kita turut merasakan penderitaan saudara sesama muslim lain yang menahan lapar karena tidak mempunyai makanan dan minuman.
ADVERTISEMENT
Kewajiban zakat juga sarat dengan kandungan ibadah sosial demi kemaslahatan umat Islam seluruhnya. Nabi pun tak kurang menganjurkan kita agar gemar bersedekah bahkan dalam keadaan paling tidak punya pun senyum kita terhadap saudara sesama manusia dihitung sebagai ibadah.
Dengan demikian, ajaran Islam sejatinya sangat kontras dengan apa yang selama ini dicitrakan Barat atas Islam yang keras, sarang teroris dan kolot. Pandangan Barat terhadap Timur, utamanya Islam, memang sarat muatan politis.
Objektifikasi yang Barat lakukan terhadap Islam seringkali dipakai untuk menciptakan pandangan biner, hitam-putih. Pandangan ini pada gilirannya hanya memantapkan citra superior Barat dan menjadi dasar bagi legitimasi untuk meliyankan peradaban yang tidak sesuai dengan standar liberal ala Barat.
Namun semua pandangan ala Barat tersebut otomatis pasti akan tertolak manakala kita dapat memahami ajaran Islam secara benar dan tepat.
ADVERTISEMENT
Mengapa saya menambahi tepat setelah benar? Sebab seringkali banyak orang yang belajar Islam merasa seolah benar sendiri ketika sudah belajar Islam dari Al Quran dan hadis langsung. Benar, memang sumber primer ajaran agama ini adalah keduanya. Tapi apakah itu
cukup? Tentu tidak. Kita perlu mempelajari Islam dari seorang guru yang tepat, yang mengerti tentang tafsir, menguasai ulum al-hadis, tahu nahwu-saraf dan masih banyak lagi bidang keilmuan lain yang sepatutnya menjadi kriteria kita dalam memilih guru untuk mempelajari ajaran Islam.