Kesetaraan Gender Masih Buram di Era Modernisasi

Sefy Andhriany
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Purwokerto.
Konten dari Pengguna
7 Mei 2021 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sefy Andhriany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Illustration Gender Equality By Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Illustration Gender Equality By Freepik
ADVERTISEMENT
Kesetaraan gender bukan hal baru, desas-desus problematika masih menjadi permasalahan yang terus dibicarakan di muka publik. Persepsi dan paradigma yang kurang tepat mengenai kesetaraan gender terus-menerus menjadi perdebatan. Apakah kesetaraan gender membahas keadilan terhadap perempuan? Penerimaan hak-hak perempuan untuk mencapai produktivitas di ranah pekerjaan? Kesamaan derajat dengan kaum pria? Banyak pertanyaan-pertanyaan yang masih menjadi teka-teki perihal apa sebenarnya yang ingin dihendaki dalam kesetaraan gender.
ADVERTISEMENT
Masyarakat masih memiliki pemikiran yang tumpul mengenai kesetaraan gender. Perempuan dianggap hanya dapat melakukan pekerjaan dapur-sumur-kasur. Sehingga kegiatan luar yang menuntut produktivitas dianggap tidak terlalu penting.
"Perempuan menuntut ilmu tinggi-tinggi untuk apa kalau ujung-ujungnya bakal di dapur?"
"Pendidikan semakin tinggi bakal susah jodoh, lho"
Saya pun masih kerap mendengar pertanyaan yang menyudutkan seperti itu, patriarki masih tetap berjalan di lingkungan. Budaya patriarki tersebut masih menjadi subjek yang paling kental. Maka sangat sulit kesetaraan gender berkembang secara optimal di tengah pemikiran kuno. Hal ini yang menimbulkan seruan kesetaraan gender diteriakan oleh aktivis sosial dan pejuang kesetaraan.
Kesetaraan gender ini memperhitungkan tingkat kesempatan dan kesetaraan yang seimbang antara perempuan dan laki-laki. Bukan pemindahan kewajiban. Namun, adanya pecutan hak-hak perempuan yang ingin disuarakan. Perempuan perlu tempat menyuarakan kehendak dan keinginan, subordinasi perempuan yang hanya menuntut pada peran membuat batasan-batasan pada ranah internal. Perempuan perlu kekuatan untuk tetap produktif dan tidak dipandang lemah. Perempuan hakikatnya bukan lemah, tapi posisinya ditempatkan di pojok lemah. Maka harus adanya gebrakan kuat agar perempuan dapat menikmati kesempatan yang sama mulai dari karier, pengalaman, dan keseimbangan di depan publik.
ADVERTISEMENT
Edukasi mengenai kesetaraan gender harus terus disuarakan agar penyimpangan pengertian tidak salah diartikan. Lucu saja jika berteriak kesetaraan gender namun representasinya masih keliru. Kesetaraan bukan yang harus mencapai titik 50:50, namun adanya pemberian kesempatan dan ruang yang layak.