4 Nilai Keteladanan Perang Padri yang Penting Dipelajari

Sejarah dan Sosial
Artikel yang membahas seputar sejarah hingga topik sosial lainnya.
Konten dari Pengguna
24 Januari 2024 23:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sejarah dan Sosial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi nilai keteladanan Perang Padri. Foto: ArsAdAstra/Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi nilai keteladanan Perang Padri. Foto: ArsAdAstra/Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nilai keteladanan Perang Padri, di antaranya semangat persatuan dan perjuangan di mana kaum Padri dan Adat akhirnya berkompromi dan bersama-sama memerangi pemerintah Belanda.
ADVERTISEMENT
Simak penjelasan selengkapnya dalam ulasan berikut.

Sekilas Tentang Perang Padri

Ilustrasi nilai keteladanan Perang Padri. Foto: British Library/Unsplash
Dalam situs agamkab.go.id, Perang Padri dikenal sebagai perang saudara yang berakhir menjadi perang melawan Belanda. Perang Padri melibatkan kaum Adat dan kaum Padri di kawasan Kerajaan Pagaruyung, Sumatra Barat dan berlangsung tahun 1803-1838.
Pecahnya perang ini akibat adanya perbedaan prinsip antara kaum Padri serta kaum Adat. Mulanya, ada tiga orang haji yang pulang dari Mekah sekitar tahun 1803.
Mereka adalah Haji Sumanik, Haji Miskin, dan Haji Piobang. Ketiganya ingin menerapkan ajaran Islam secara sempurna di masyarakat Minangkabau.
Namun, niat itu ditentang kaum Adat. Penyebabnya karena kebiasaan sehari-hari kaum Adat yang suka berjudi, sabung ayam, hingga minum-minuman keras yang bertentangan dengan kaum Padri.
ADVERTISEMENT
Perang Padri melibatkan suku Minang serta Mandailing. Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan, sementara kaum Adat ada di bawah pimpinan Sultan Arifin Muningsyah.

Ragam Nilai Keteladanan Perang Padri

Berikut nilai keteladanan Perang Padri yang perlu untuk dipelajari dan dijadikan contoh.

1. Persatuan

Kendati berawal dari perang saudara, akhirnya pada 11 Januari 1833, kaum Padri serta kaum Adat bersatu guna menyerang pertahanan penjajah Belanda di Fort de Kock, Bukittinggi.

2. Cinta Tanah Air

Kecintaan terhadap Tanah Air membuat semangat para pejuang untuk melawan Belanda terus berkobar, terlebih ketika kaum Adat dan kaum Padri berkompromi.
Tanggal 10 Juni 1822, pergerakan pasukan Belanda di Tanjung Alam dihadang pasukan Padri, tetapi berhasil lolos dan melaju sampai Luhak Agam.
Lalu, pada 15 November 1825, Perjanjian Masang antara Belanda dan kaum Padri yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol disepakati. Di saat yang sama, Belanda kewalahan dengan konflik yang terjadi di Eropa dan Jawa.
ADVERTISEMENT
Selama masa gencatan senjata inilah, kaum Padri berusaha untuk memperbaiki keadaan dan merangkul lagi kaum Adat. Keduanya lantas sepakat memerangi Belanda karena kecintaan terhadap Tanah Air.

3. Keagamaan yang Tinggi

Mulanya, Perang Padri terjadi akibat keinginan untuk menegakkan syariat Islam secara penuh atau sempurna. Hal tersebut justru ditentang oleh kaum Adat yang memang memiliki beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan agama.
Unsur keagamaan sangat kental dan menjadi latar belakang pecahnya pertempuran saudara tersebut.

4. Semangat Perjuangan

Setelah Tuanku Imam Bonjol ditangkap, Perang Padri tidak lantas usai. Di bawah kepemimpinan Tuanku Tambusai, perang ini terus berlanjut.
Sampai akhirnya, wilayah Dalu-Dalu jatuh ke tangan Belanda pada 28 Desember 1838. Demikian pula, Kerajaan Pagaruyung.
Itulah beberapa nilai keteladanan Perang Padri yang dapat dijadikan contoh. Dari sini, tampak semangat perjuangan dan unsur keagamaan yang tinggi. (DN)
ADVERTISEMENT