Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Makna Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bagi Pemimpin Nasional Indonesia
30 April 2024 21:09 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Sejarah dan Sosial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Makna Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bagi pemimpin nasional Indonesia kala itu adalah sebagai pemegang kendali politik nasional yang tanpa batas.
ADVERTISEMENT
Apa maksudnya? Simak pembahasan lebih lanjut tentang makna Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bagi pemimpin nasional Indonesia di bawah ini.
Apa Makna Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bagi Pemimpin Nasional Indonesia?
Dalam buku Sejarah SMP/MTs Kelas IX, ditulis bahwa 15 Desember 1955 telah dilakukan pemilihan untuk menentukan anggota Majelis Konstituante.
Majelis ini mulai bekerja sejak 10 November 1956 hingga 1958 di Bandung, tetapi tidak menghasilkan apa pun juga. Kelemahan itu terjadi karena perdebatan terus-menerus antaranggota.
Masalah utamanya adalah rencana penyusunan UUD yang akan berlaku di seluruh wilayah Indonesia dan merupakan dasar negara.
Saat itulah, Soekarno melalui pidato menyarankan untuk kembali pada UUD 1945. Majelis Konstituante mengadakan pemungutan suara pada 29 Maret 1959, tetapi suara yang didapat untuk memenuhi persyaratan justru tidak memenuhi persyaratan.
ADVERTISEMENT
Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno yang mendapat sokongan penuh dari pihak militer mengeluarkan dekrit untuk kembali pada UUD 1945 dan membubarkan Majelis Konstituante yang dipilih rakyat.
Di bawah payung UUD 1945, Soekarno sebagai pemimpin nasional Indonesia kala itu telah memegang kendali pimpinan politik nasional dengan kekuasaan yang tidak terbatas.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sudah mengakhiri demokrasi parlementer secara formal yang dimulai secara konstitusional sejak tahun 1950 di bawah naungan UUDS 1950.
Hal ini terjadi karena adanya keyakinan bahwa Majelis Konstituante telah gagal membentuk UUD yang baru untuk menggantikan UUDS 1950.
Selain dua poin sebelumnya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 juga bertujuan untuk membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Penasehat Agung (DPA).
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu pula, tidak mungkin dan tidak dibenarkan setiap usulan dengan tujuan mengganti Pancasila sebagai dasar negara secara konstitusional, kecuali bila MPR menghendaki.
Demikian adalah pembahasan tentang makna Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bagi pemimpin nasional Indonesia, yaitu Presiden Soekarno. (SP)