Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Mitos Menolak Lamaran dan Perkembangannya di Masyarakat
29 April 2025 19:40 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Sejarah dan Sosial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, mitos menolak lamaran pernikahan masih menggenggam kuat cara pandang banyak orang terhadap perempuan.
ADVERTISEMENT
Konon, perempuan yang menolak lamaran akan sulit mendapat jodoh, terkena kutukan, atau membawa sial bagi keluarganya.
Meski terdengar tidak masuk akal, kepercayaan ini mengakar dari warisan budaya, tradisi lokal, dan tafsir agama yang kerap dimaknai secara sepihak.
Mitos Menolak Lamaran dan Perkembangannya di Masyarakat
Mengutip dari situs jiip.stkipyapisdompu.ac.id, di sejumlah daerah di Jawa berkembang keyakinan bahwa mitos menolak lamaran bisa mengganggu garis takdir seseorang. Konsep ini disebut juga sebagai sambatan jodoh.
Sementara itu, mengutip dari situs uin-malang.ac.id, di Madura dikenal istilah sangkal, yang digunakan sebagai cap sosial untuk perempuan yang dianggap menyimpang karena menolak jodoh yang datang.
Tak sedikit perempuan yang akhirnya harus menanggung beban psikologis dan tekanan sosial karena pilihan pribadinya, bahkan diberi label seperti perawan tua atau janda kembang.
ADVERTISEMENT
Padahal, dalam ajaran Islam, perempuan memiliki hak sepenuhnya untuk menerima atau menolak lamaran.
Sayangnya, pemahaman ini seringkali dikaburkan oleh pengaruh adat yang lebih kuat dalam kehidupan sehari-hari.
Di beberapa lingkungan, termasuk sebagian pesantren dan tokoh adat, masih berlaku pandangan bahwa menerima lamaran pertama adalah bentuk kesalehan dan kepatuhan terhadap norma masyarakat.
Fenomena ini memicu dampak psikologis yang nyata, khususnya di kalangan generasi muda.
Muncul istilah proposal rejection anxiety syndrome, yaitu kecemasan berlebih akibat tekanan untuk tidak menolak lamaran yang datang.
Ketika adat lebih didengar daripada suara hati, banyak perempuan terjebak antara harapan sosial dan hak individual yang sebenarnya dijamin secara agama dan hukum.
Industri spiritual pun turut mengambil peran, menawarkan ritual tolak bala bagi mereka yang berani menolak lamaran, mempertegas bahwa mitos ini kini telah menjadi komoditas.
ADVERTISEMENT
Edukasi, pemberdayaan ekonomi, dan reformasi adat menjadi jalan untuk membebaskan perempuan dari mitos menolak lamaran yang tidak relevan lagi dengan semangat kesetaraan zaman modern.
Menolak lamaran bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan ekspresi dari hak atas pilihan hidup.
Sudah waktunya mitos tersebut dikritisi dan ditempatkan sebagai bagian dari sejarah, bukan lagi sebagai acuan masa depan. (Echi)
Baca juga: Mitos Pantai Glagah yang Penuh Cerita Mistis