Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Sejarah Perang Puputan beserta Penyebab hingga Dampaknya
26 Mei 2023 21:46 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Sejarah dan Sosial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejarah perang puputan menjadi topik yang menarik untuk dibahas karena menyimpan banyak kisah dan pelajaran yang dapat dipetik.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari buku Cerita Perang Kemerdekaan Indonesia, dalam bahasa Bali, "puputan" mempunyai arti habis-habisan. Maka, perang puputan dapat diartikan sebagai perang sampai titik darah penghabisan.
Sebenarnya, ada banyak perang puputan yang terjadi. Salah satunya adalah Perang Puputan Margarana. Bagaimana kisahnya?
Penyebab Perang Puputan Margarana
Perang Puputan Margarana terjadi pada 20 November 1946. Pecahnya perang tersebut disebabkan hasil Perjanjian Linggarjati antara Indonesia dan Belanda.
Di dalam perjanjian tersebut, salah satu isinya berkata bahwa pengakuan Belanda secara de facto hanya meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera. Setelah perjanjian disepakati, Belanda harus segera meninggalkan wilayah tersebut paling lambat pada 1 Januari 1946.
Tidak masuknya Bali dari perjanjian tersebut menyulut emosi dan rasa kecewa masyarakat Bali serta membuat mereka melakukan perlawanan.
ADVERTISEMENT
Selain karena Perjanjian Linggarjati, Perang Puputan Margarana juga diakibatkan oleh Letkol I Gusti Ngurah Rai yang menolak mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT).
Kronologi Perang Puputan Margarana
Belanda mulai mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT) setelah Perjanjian Linggarjati disetujui kedua belah pihak.
I Gusti Ngurah Rai kemudian pergi ke Yogyakarta dan mendapat gelar sebagai Komandan Resimen Sunda Kecil berpangkat Letnan Kolonel.
Kedatangan Letkol I Gusti Ngurah Rai adalah untuk berkonsultasi dengan markas besar TRI untuk menolak bekerja sama dalam pembentukan NIT.
Sebelumnya, Letkol sudah membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil dengan kekuatan 13,5 kompi di seluruh kota Bali.
Pada tanggal 18 November 1946, markas pertahanan Belanda di Tabanan diserang habis-habisan. Tentunya hal tersebut membuat Belanda marah dan mengepung Bali. Pasukan Belanda mulai menyerang pada tanggal 20 November 1946 pukul 05.30 WITA.
ADVERTISEMENT
Hingga pukul 09.00 WITA, Belanda mulai mendekat dari barat laut dan kemudian disusul suara tembakan. Ternyata, 17 orang pasukan Belanda berhasil ditembak mati oleh pasukan I Gusti Ngurah Rai.
Belanda tak tinggal diam. Mereka memulai penyerangan dari berbagai arah, namun gagal karena pasukan I Gusti Ngurah Rai melemparkan serangan balik.
Aksi serangan Belanda sempat berhenti selama satu jam dan kembali mengirim banyak pasukan dan pesawat terbang pengintai pada 11.30 WITA. Serangan tersebut dapat dihentikan pasukan I Gusti Ngurah Rai yang membuat Belanda mundur 500 meter ke belakang.
Dalam kesempatan itu, pasukan I Gusti Ngurah Rai melarikan diri. Namun, dalam perjalanan melarikan diri tersebut Belanda mengirim pesawat terbang untuk memburu mereka.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, I Gusti Ngurah Rai menyeru "Puputan!" yang berarti habis-habisan. Beliau dan pasukannya melawan Belanda sampai titik darah penghabisan.
Menurut sejarah, dalam kejadian tersebut, I Gusti Ngurah Rai dan 1372 pejuang harus gugur.
Dampak Perang Puputan Margarana
Kekalahan gugurnya I Gusti Ngurah Rai dan 69 anggotanya dalam perang Puputan Margarana membuat Belanda semakin mudah mendirikan NIT.
Namun, karena Indonesia berhasil menjadi negara kesatuan pada tahun 1950, maka usaha Belanda kembali gagal.
Hal tersebut berkaitan ketika pemerintah RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. (LAU)