Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Sikap Belanda saat Melakukan Perundingan dengan Pangeran Diponegoro
10 November 2024 21:35 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Sejarah dan Sosial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sikap Belanda saat melakukan perundingan dengan Pangeran Diponegoro adalah penuh tipu daya dan manipulatif.
ADVERTISEMENT
Setelah bertahun-tahun terlibat dalam Perang Diponegoro (1825-1830) yang menguras sumber daya, Belanda mulai menyadari bahwa perlawanan rakyat Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro bukanlah hal mudah untuk dihentikan.
Dengan pendekatan diplomatik Mereka mengundang Pangeran Diponegoro untuk berunding dengan janji perdamaian dan pengakuan atas wilayahnya. Namun, di balik itu, Belanda sebenarnya menyiapkan rencana licik untuk menangkap sang pahlawan.
Sikap Belanda saat Melakukan Perundingan dengan Pangeran Diponegoro
Bagaimana sikap Belanda saat melakukan perundingan dengan Pangeran Diponegoro? Perundingan tersebut digelar di Magelang pada 28 Maret 1830 itu dirancang sebagai perangkap oleh Jenderal De Kock, pemimpin militer Belanda.
Dikutip dari laman intisari.grid.id Pangeran Diponegoro , dengan iring-iringan kecil, berangkat menuju Magelang, tempat perundingan akan digelar.
ADVERTISEMENT
Pangeran percaya pada janji Belanda, pada hukum perang yang seharusnya dijunjung tinggi. Namun, pangeran tak tahu bahwa di balik senyum ramah Jenderal De Kock, tersembunyi niat jahat yang tak terduga.
Sikap Belanda yang Berpura-pura Damai
Pada tahun-tahun terakhir Perang Diponegoro, Belanda mulai kehabisan sumber daya dan mengalami tekanan ekonomi yang berat. Oleh karena itu, mereka mencoba mengajak Pangeran Diponegoro melakukan perundingan sebagai upaya untuk menghentikan perang.
Sikap Belanda dalam perundingan ini menunjukkan taktik yang cenderung mengarah pada tipu muslihat. Mereka berpura-pura menawarkan perdamaian dan menjanjikan Pangeran Diponegoro pengakuan terhadap wilayah kekuasaannya.
Namun, pada kenyataannya, tujuan utama Belanda adalah untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan menghentikan perlawanan yang telah menguras sumber daya mereka.
Sikap Mengendalikan dan Menekan
Dalam perundingan yang berlangsung di Magelang pada 28 Maret 1830, Belanda menunjukkan sikap mengendalikan dan menekan terhadap Pangeran Diponegoro. Jenderal De Kock, pemimpin militer Belanda, merancang pertemuan tersebut sebagai perangkap.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu, Pangeran Diponegoro diundang dengan janji untuk membahas perdamaian, namun, ternyata Belanda telah mempersiapkan penangkapan.
Setelah Pangeran Diponegoro tiba, ia langsung ditangkap dan diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara, kemudian dipindahkan ke Makassar, di mana ia menghabiskan sisa hidupnya.
Taktik Diplomasi yang Licik
Dalam sejarah Indonesia, sikap Belanda terhadap Pangeran Diponegoro sering kali dicatat sebagai contoh taktik diplomasi licik yang dilakukan Belanda dalam menjajah Indonesia.
Mereka memahami bahwa menang secara militer melawan Pangeran Diponegoro bukanlah tugas mudah, sehingga perundingan dijadikan sebagai alat untuk mengamankan kepentingan mereka.
Dalam perundingan ini, Belanda tidak menghormati nilai-nilai kejujuran dan etika diplomasi yang sebenarnya.
Akibat Sikap Belanda terhadap Perlawanan Rakyat
Penangkapan Pangeran Diponegoro menandai berakhirnya Perang Diponegoro, tetapi bukan berarti perlawanan rakyat berhenti.
ADVERTISEMENT
Sikap Belanda yang manipulatif ini justru menimbulkan kebencian mendalam di kalangan rakyat Indonesia dan memperkuat tekad rakyat untuk melawan penjajahan.
Banyak pemimpin lokal yang kemudian mengangkat senjata dan melanjutkan perjuangan melawan Belanda, karena merasa tidak ada keadilan dalam perundingan dengan penjajah.
Sikap belanda saat melakukan perundingan dengan Pangeran Diponegoro membuat masyarakat marah.
Pengalaman ini menjadi pelajaran penting bagi bangsa Indonesia tentang pentingnya kedaulatan dan kehati-hatian dalam bernegosiasi dengan kekuatan asing.
Peristiwa ini menjadi salah satu tonggak dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme, serta pengingat akan pentingnya kewaspadaan terhadap kepentingan asing dalam perundingan-perundingan strategis.(Yln)