Buku dan Ide Tentang KeIndonesiaan

Yudhi Andoni
Sejarawan. Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
Konten dari Pengguna
29 September 2023 14:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi toko buku bekas sepi pembeli. Foto Octopus16/Shuttterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi toko buku bekas sepi pembeli. Foto Octopus16/Shuttterstock.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Isu buku dan ide tentang ke-Indonesia-an dari para calon presiden dan wakilnya jauh dari hiruk pikuk kesiapan mereka berlaga dalam pemilu 2024. Dua isu ini menandakan apakah calon pimpinan negara itu punya konsep ke-Indonesia-an, atau kekuasaan semata. Buku dan ide tentang ke-Indonesia-an adalah orientasi sekaligus haluan negara-bangsa ini ke depan, ke 10, 20, bahkan 100 tahun akan datang.
ADVERTISEMENT
Pada tataran isu buku di negeri kita, wacana tentang media inteleketual ini bukanlah sesederhana menyeruput kopi lantas mendapatkan sensasi sesaat. Buku adalah kosmos renungan, gagasan, dan harapan bagi kita membangun negara ini. Tanpa kepedulian pada buku kita akan mendapatkan calon pimpinan berpikir singkat, sesat, dan sesaat.
Bila kita bercermin pada pemimpin di hari lalu, seperti Bung Hatta, Bung Karno, Bung Sjahrir, Tan Malaka, Natsir, Yamin, Roem, dan sebagian besar tokoh kebangsaan lain. Mereka merupakan penulis dengan karya-karya besar yang menginspirasi sekaligus meletakkan fondasi pembangunan negara-bangsa ini. Siapakah para pimpinan negara kita yang masih membaca dan menulis? Siapakah dari mereka yang memiliki tradisi literasi?
Bila kita baca jejak rekam digital atau cetak sedikit sekali di antara mereka menulis dan menyebarkan gagasan, kecuali yang berasal dari perguruan tinggi. Apakah kemampuan literasi hal urgen dikuasai seorang pemimpin di negeri ini?
ADVERTISEMENT
Ya! Kalau tidak, ketika mereka mulai berkuasa maka para penguasa itu akan menerapkan Ilmu Koncek (kodok), kata tetua lama orang Melayu. Ilmu Koncek adalah bila ia (katak) itu teringat sesuatu maka ia pun langsung loncat. Tidak pakai akal dan logika. Berbuat dulu nanti hitung dampak masalahnya.
Pada buku kita membaca gagasan tentang ke-Indonesia-an para pemimpin. Bung Karno menulis tentang Marhaenisme. Sebuah gagasan khas akan kelas pekerja atau proletariat yang mesti diperjuangkan penguasa untuk hidup sejahtera sesuai amanat konstitusi.
Bung Hatta menulis “Demokrasi Kita”, dan “Koperasi”. Bukunya yang pertama penuh dengan gagasan tentang ihwal pilihan Indonesia menganut demokrasi modern. Ketika para pemimpin mulai menerapkan “demokrasi sigaragai” (semaunya dia), maka yang muncul adalah tiran(i), atau oligarki melalui partai politik.
ADVERTISEMENT
Sementara gagasan Koperasi menjadi nadi kehidupan ekonomi yang berasaskan kekeluargaan: keluarga besar bangsa Indonesia. Jadi tak heran UUD kita menegaskan kalau negara mengelola semua sumber kekayaan negeri ini demi kemakmuran anak negeri yang satu keluarga besar bernama “Indonesia”. Ekonomi Indonesia mestinya diarahkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran seluruh rakyat.
Sementara Sjahrir, Yamin, Sutan Takdir Alisjahbana, Armin Pane, Sanusi Pane, dan banyak lagi. Mereka merupakan tokoh pemikir bidang kebudayaan yang meletakkan dasar-dasar nilai kebudayaan Indonesia.
Bagi mereka terdapat titik temu bahwa yang disebut kebudayaan Indonesia bukan Barat, tidak pula Timur. Budaya Indonesia adalah sebuah pertemuan, titik silang nilai-nilai baik yang dikandung Barat dan Timur, serta dari rahim kehidupan masyarakat Nusantara sendiri.
Ilustrasi Bung Hatta. Foto Uncredited Commons Wikimedia.
Kini upaya pelestarian gagasan tentang ke-Indonesia-an tak dapat kita temukan dalam karya para elite negeri ini. Sebagian tak lagi mau membaca, menggali, dan menulis ulang wacana ke-Indonesia-an para pendiri bangsa itu.
ADVERTISEMENT
Lainnya berpikir membuat berbagai monumen, patung, atau nama jalan para tokoh-tokoh nasional. Tapi seiring tumbuhnya generasi baru Indonesia, semua itu akan sia-sia karena narasi-narasi sejarah di belakang semua itu jauh dari gapaian literasi generasi digital kini.
Generasi mendatang tak memerlukan monumen tokoh, tapi lupa warisan utama mereka yakni gagasan dan buku-buku. Pembangunan patung pahlawan seperti Sukarno, Bung Hatta, dan lainnya, kalah penting dengan membangun monumen perjuangan mereka, yakni karya-karya tulis para pejuang bangsa itu.
Kita memerlukan diorama perjuangan para pahlawan dalam bentuk penerbitan buku-buku baru serta museum ide akan jejak tulis para pahlawan kita. Sebuah peradaban tak akan abadi bila tradisi tulis dan cetak tak lagi dapat dinikmati generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Apakah jejak-jejak peradaban Indonesia akan hilang di awan data yang cuma dapat dilihat sekilas? Tanpa bisa disentuh, dirasakan kehadirannya, dan dihayati dalam relung sanubari?