Konten dari Pengguna

Jangan Samakan Kritik Rocky Gerung dengan 'Demokrasi Kita' Bung Hatta

Yudhi Andoni
Sejarawan. Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
6 Agustus 2023 13:31 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rocky Gerung. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rocky Gerung. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Kritik dalam tradisi masyarakat kita masih dianggap tabu, terutama di kalangan masyarakat awam. Ungkapan-ungkapan yang menunjukkan adanya kekurangan masih dipandang menyudutkan orang atau sekelompok orang yang dituju oleh kritik itu.
ADVERTISEMENT
Sementara di kalangan kelas menengah atas terbiasa juga berpandangan kalau kritik mesti dibarengi dengan masukan atau solusi. Kritik tanpa masukan perbaikan sama halnya dengan penghinaan. Hal ini sekarang dikenakan pada Rocky Gerung yang mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Rocky Gerung selama beberapa tahun terakhir memang tampil sebagai penyuara paling lantang menunjukkan kelemahan kebijakan rezim Jokowi kini. Ia secara cerdik menggunakan berbagai forum dan media untuk meng-endorse dirinya sebagai “penantang” paling berani di antara lawan-lawan politik Presiden Jokowi dan pendukungnya. Banyak kalangan mendukung Rocky Gerung, tapi tidak sedikit juga yang mencela bahkan mengadukannya ke kepolisian untuk beberapa ucapan Rocky Gerung yang menjadi viral dalam masyarakat.
Diktum kritik yang benar dan sehat itu sekarang menjadi problematik di tengah masyarakat yang belum sembuh dari polarisasi Pemilu Presiden tahun 2019 lalu. Masyarakat masih terbelah dengan “Pro-Jokowi” dengan “Semua Salah Jokowi atau Salawi”. Tak heran kritik atau ujaran yang menunjukkan kelemahan kebijakan Presiden Jokowi dianggap penghinaan oleh satu kelompok, terutama yang menjadi pendukung mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
ADVERTISEMENT

Ketakutan

Ilustrasi pelanggaran UU ITE. Foto: Shutter Stock
Saat ini masyarakat juga ditakuti dengan jaring perangkap UU ITE atau pidana dalam KUHP baru tentang penghinaan terhadap simbol negara. Hukuman penjara bagi mereka yang menghina presiden atau pejabat publik menghantui masyarakat untuk bersuara menyampaikan aspirasinya. Jadi bagaimana melihat kasus Rocky Gerung dalam menjaga kewarasan hidup sebagai warga-bangsa?
Kita sebagai warga-bangsa tak bisa hidup dalam ketakutan karena multi-tafsirnya UU ITE dan pidana penghinaan pejabat publik dalam KUHP yang baru. Sementara pejabat publik pun di tingkat atas sampai bawah berlindung dalam diksi “penghinaan” atau “penyerangan” terhadap harkat dan martabat mereka sebagai pelayan masyarakat. Sungguh ironi bila melihat penegak hukum memakai dua instrumen hukum ini untuk membungkam suara-suara kritis dari bawah.
ADVERTISEMENT
Resultan terhadap pemaknaan kritik yang polaristik itu sekarang berujung pada pelaporan Rocky Gerung ke Mabes Polri. Pelaporan Rocky Gerung pada polisi karena menghina Presiden Jokowi dengan kata-kata “bajingan tolol” bahkan telah berjumlah belasan laporan, dan kemungkinan akan bertambah (kumparan.com, 4 Agustus 2023).
Lebih jauh ketidaksukaan pada Rocky Gerung sebagai simbol “pembangkang” Jokowi berujung pada tuntutan agar ia dituntut tidak boleh menjadi pembicara di depan publik seumur hidup (Republika Online, 3 Agustus 2023).

Kritik Bung Hatta

Kritikus pada penguasa paling berani adalah Bung Hatta. Terlepas sebagai mantan wakil presiden dan Proklamator, Bung Hatta mengritik kebijakan Bung Karno tanpa sungkan. Ia menulis brosur panjang yang terang-terangan “mem-bully” arah dan praktik bernegara-bangsa Sukarno yang didukung Partai Komunis Indonesia (PKI), Nadhlatul Ulama (NU), tentara, dan organisasi massa pro-Revolusionernya.
ADVERTISEMENT
Mundurnya Bung Hatta pada 1956 sebagai wakil presiden, telah dianggap lepasnya rem atau kontrol atas keotoriteran Sukarno sebagai presiden kala itu. Banyak orang mencoba agar Bung Hatta kembali ke Dwi-Tunggal yang menjadi mitos integrasi nasional pasca perang kemerdekaan.
Namun Bung Hatta menolak dan menyatakan sekarang yang ada adalah Dwi-Tanggal. Ia sudah tidak sejalan lagi dengan Bung Karno yang kian hari makin menunjukkan tuntutan agar kekuasaannya sebagai presiden dikembalikan sesuai UUD 1945.
Tanpa Hatta di sampingnya, Bung Karno menjadi lebih berani. Ia menganggap diri sebagai otoritas tunggal dalam sistem ketatanegaran kala itu. Puncaknya ia pun membubarkan Konstituante melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Dampak jelas dari Dekrit Presiden itu adalah kembalinya Sukarno ke panggung kekuasaan. Ia dengan cepat mengumpulkan pembantu-pembantu yang setia menjaga setiap jengkal kekuasaannya dari para perongrong yang mereka sebut dengan Kontra-Revolusioner.
ADVERTISEMENT
Mereka yang dicap kontra-revolusioner banyak dijebloskan dalam penjara tanpa peradilan yang sah dan adil. Tercatat tokoh-tokoh kalangan Islam dari keluarga besar Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) ditahan dan dipenjara. Mereka yang ditahan di antaranya Natsir, Hamka, Prawoto, Sutan Sjahrir, Anak Agung Gde Agung, dan banyak lagi.
Era 1960an sampai munculnya Orde Baru pasca pembubaran PKI pada 12 Maret 1966, pentung “kontra-revolusi” menggebuk banyak tokoh-tokoh yang tidak sejalan dengan arah kebijakan Sukarno. Sensor publik terjadi di mana-mana. Berbagai tulisan, kegiatan, dan organisasi yang tidak seorkestrasi dengan Manipol (Manifestasi Politik) Presiden Sukarno akan merasai.
Penulisnya akan dibui, ditangkap, dan di-bully dengan sadis. Hampir semua elemen kritis terhadap pemerintah merunduk, kecuali Bung Hatta. Ia mengkritik bangunan kekuasaan yang tengah dikukuhan Sukarno dan rezimnya sebagai sebuah Konstruksi Rumah Kartu.
ADVERTISEMENT

Demokrasi Kita

Ilustrasi Bung Hatta sedang pidato di depan pertemuan para menteri RI-Belanda tahun 1950. Foto Wikimedia Commons.
Bung Hatta menulis Demokrasi Kita dalam majalah Panji Masyarakat pada 1960. Tulisannya ditepuk-soraki banyak orang yang anti-Sukarno meski dalam diam. Kala itu dinding-dinding bertelinga, dan tetanggamu bukanlah orang dekatmu.
Ucapan yang sedikit menyimpang dengan mengkritik pemerintah akan segera dijemput tentara. Mereka bisa saja dipenjara, atau hilang ditelan hantu revolusi. Dalam suasana mencekam itu Bung Hatta menuliskan kritik pedas pada rezim Sukarno.
Bung Hatta mencap Sukarno sebagai diktator. Ia menyuarakan bila demokrasi telah diperkosa oleh Sukarno. Dan sebagai tokoh pejuang anti-kolonial dulunya, Sang Penyambung Lidah Rakyat ini mengkudeta cita-cita perjuangan bersama.
Nalar kritis merupakan alat mengolah demokrasi menjadi lebih sehat. Demokrasi satu waktu mungkin ditindas sekelompok orang atau netizen di alam maya sekarang. Penerapan demokrasi yang melindungi suara-suara non-demokratis menurut Bung Hatta adalah kesalahan dalam diri gagasan ini sendiri.
ADVERTISEMENT
Namun cobaan yang pahit itu akan membuatnya insaf untuk kembali ke jalan yang benar. Kebangkitan itu jadi niscaya karena di sini demokrasi berurat-berakar dalam pergaulan hidup, demikian lanjut Bung Hatta.