Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ketakutan si Miskin
15 September 2023 10:42 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ketakutan si miskin paling besar bukanlah kelaparan. Itu sudah terbiasa. Bukan pula ketiadaan tempat tinggal. Langit terbiasa jadi atap tinggal mereka. Kekurangan pakaian? Anda pasti bercanda. Bukan itu semua. Mereka, si miskin, paling takut sakit!
ADVERTISEMENT
Bila mereka sakit maka dunia menutup mata akan mereka. Orang miskin yang sakit akan dobel tekanan pada mereka, pandangan menjijikkan dari orang kaya, dan dijauhkan oleh teman sesama miskin karena takut tertular penyakitnya.
Kisah Meri
Tetangga saya, Meri namanya. Ia dan suaminya seorang perantau dari provinsi tetangga. Tinggal dalam masyarakat berbeda dan menjadi minoritas, merupakan pilihan tak bisa dielak pasangan muda ini.
Mereka memiliki tiga anak-anak yang masih kecil. Tiga-tiganya gadis kecil nan cantik, juga manis.
Lingkungan tempat tinggal mereka sangat anti-pendatang, apalagi bila orang itu beda agama dan etnis. Sering keluarga ini mendapat cibiran karena pekerjaan sang suami yang serabutan.
Pernah Meri cerita bila suaminya tiba-tiba saja diberhentikan kerja sebagai asisten tukang, pengaduk semen di sebuah proyek pembangunan, gegara istri kepala tukang ingin pinjam uang ke mereka tapi tak diberi.
ADVERTISEMENT
Entah dari mana istri kepala tukang itu tahu kalau Meri tengah pegang uang lumayan banyak, sekitar Rp 500 ribu. Satu waktu ia pun mengutus anaknya ke rumah Meri hendak meminjam uang Rp 200 ribu untuk beli beras.
Meri pun enggan meminjamkan dan memberi tahu kalau uang mereka untuk membeli baju seragam anak tertua mereka yang akan masuk sekolah tahun ini. Anak kepala tukang itu pun pulang dan menceritakan kegagalannya meminjam uang dari Meri.
Esoknya—cerita Meri—suaminya tiba-tiba disuruh pulang meski sudah berada di lokasi proyek pembangunan. Padahal kalau hendak memberi tahu tak lagi dipakai, mereka tinggal berpunggung dinding rumah.
“Dan sampai hari ini tak ada diajak lagi Bang Roi bekerja. Sedih sekali Meri, Bang. Suami Meri digitukannya,” cerita Meri kepada saya dan istri suatu hari.
ADVERTISEMENT
Lain waktu, karena keluarga kami sudah sedemikian dekat. Kira-kira jam 10 malam, Meri datang ke rumah dengan terisak dan raut wajah cemas. Setelah menghela napasnya yang berat, Meri mau pinjam minyak angin. Ia tahu kebetulan anak kami yang masih bayi sering kami usapkan minyak kayu putih setelah mandi.
“Bang, Kak, Meri pinjam minyak anginnya, ya. Anak Meri paling kecil sedang demam tinggi,” sebak suaranya meminta.
Saya pun mengambilkan minyak angin yang dia mau. Saya anjurkan agar membawa anaknya itu ke bidan, yang rumahnya tak jauh dari rumah kami. Ia menolak, katanya biarlah diusap-diusap saja punggung anaknya dengan minyak angin.
“Biasanya kalau dibalur minyak kayu putih itu cepat turun panasnya, Bang. Terima kasih, Bang, Kak...,” ujarnya meninggalkan kami, cepat-cepat menuju rumah.
ADVERTISEMENT
Istri saya bilang kalau Meri sungkan pinjam uang sama kita. Takut lama bisa bayar. Sudah dua bulan suaminya tak ada kerja, dan mengandalkan bantuan dari gerejanya saja. Sembari menghela napas kami pun masuk ke dalam rumah dengan berdoa agar anaknya gak kenapa-kenapa.
Sampai sekarang anak-anak Meri sering sakit. Bila tampak matanya sembab dan bersuara rarau pada pagi hari, itu alamat dia bertanggang atau begadang lagi menunggui salah seorang anaknya yang lagi demam, dan baru-baru ini kembali saya saksikan.
Saya pun tak tega bertanya apakah ia punya BPJS Kesehatan. Tapi melihat ia begitu kusut dengan sakit anak-anaknya, sudah tampak ia tak punya jaminan kesehatan dari negara itu. Dan tak perlu saya bertanya lagi kenapa.
ADVERTISEMENT
Dana Besar
Indonesia tahun ini berguyur dana besar dari Bank Dunia untuk sektor kesehatan. Mengutip dari Katadata, Senin (11/9), Indonesia akan menerima sekitar USD 2,6 miliar atau Rp 39 triliun guna perbaikan infrastruktur kesehatan di Indonesia. Secara khusus dana itu juga dialokasikan untuk penguatan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar USD 400 juta.
Selain Bank Dunia, guyuran dana juga diterima Indonesia dalam penguatan sistem kesehatan dasar sebesar USD 150 juta. Dana ini Indonesia dapatkan dari program Indonesia-Supporting Primary Health Care Reform (ISPHERE).
Sementara dalam negeri sendiri BPJS Kesehatan yang dikelola pemerintah pada 2022 lalu—kembali mengutip Katadata, (27/6)—mengalami surplus Rp 17,7 triliun. Keuntungan itu sungguh luar biasa, di tengah Meri yang tengah begadang menunggui anaknya yang sedang sakit, tanpa tahu ada negara yang melindunginya sebagai warga-negara sebagaimana amanat Konstitusi negeri ini.
ADVERTISEMENT
Tapi sudahlah. Siapa pula akan peduli di tengah berbagai persoalan para pemimpin kita, meski ada banyak Meri-Meri lain di sekitar kita. Orang dapat saja mencibir, sembari jadi pahlawan kesiangan dengan menyatakan, “Kan ada BPJS, makanya daftar! Semua biaya berobat gratis”. Benar.
Tapi menyisihkan uang dari pendapatan suami yang pas-pasan untuk bayar premi atau iuran BPJS Kesehatan perbulan, bagi Meri ibarat menyamak kulit dari badan. Pedih dan menyakitkan!
Sementara orang-orang miskin seperti mereka, sakitnya kadang-kadang datangnya. Setiap hari mereka berdoa agar sehat selalu, sehingga iuran per bulan yang dapat digunakan pembeli beras tak perlu mereka keluarkan.
Bila begini apakah tak ada solusi lain dari negara? Bila konstitusi mengamanatkan jaminan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, apakah itu termasuk mereka yang miskin seperti Meri?
ADVERTISEMENT