Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.0
Konten dari Pengguna
Lulus Yes, Skripsi No
31 Agustus 2023 5:47 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Isu tentang skripsi atau tugas akhir perkuliahan telah menjadi bola panas di kalangan insan kampus, dan masyarakat awam. Sebagian dosen, mahasiswa, dan alumni setuju skripsi tidak lagi syarat wajib lulus. Lulus yes, skripsi no, begitu kira-kira kalau ditanya mahasiswa yang lama tamat atau baru selesai ujian kompre.
ADVERTISEMENT
Bola panas soal skripsi ini dihembus Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Namun bila ditelisik lagi, Nadiem mengusulkan agar bentuk tugas akhir mahasiswa strata 1 tak lagi berbentuk skripsi, tapi bisa wujud lain yang saat ini telah dikembangkan dalam kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Kementerian sejak 2021 lalu telah mengimplementasikan 8 paket kurikulum MBKM untuk seluruh mahasiswa S1 di Indonesia. Delapan paket itu meliputi, Magang Bersertifikat, Studi Independen, Kampus Mengajar, Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA), Pertukaran Mahasiswa Merdeka, Membangun Desa (KKN Tematik), Proyek Kemanusiaan, dan asistensi riset atau penelitian.
Salah satu esensi penting keberadaan 8 paket MBKM adalah laporan akhir yang dapat dikonversi sebagai pengganti mata kuliah, termasuk skripsi.
Jadi pernyataan Mas Menteri ini bukanlah hal baru. Seiring berjalannya kurikulum MBKM beberapa tahun terakhir di kampus-kampus di seluruh Indonesia untuk jenjang strata 1. Sebagian besar kampus telah mencoba “berdamai” dengan tuntutan DUDI (dunia usaha dan dunia industri).
ADVERTISEMENT
Justru mereka bahkan merasa memiliki saluran resmi yang difasilitasi negara sehubungan penyaluran para lulusan mereka, terutama dari rumpun ilmu eksakta, seperti teknik, kimia, pertanian, peternakan, dan lain-lain. Sebelum ini para lulusan mereka berjuang sendiri masuk ke DUDI. Tapi kini mereka justru difasilitasi dari awal dan memudahkan mereka terjun ke DUDI pasca tamat.
Pengakuan laporan akhir paket MBKM sebagai pengganti skripsi memang menjadi pro-kontra di kalangan dosen di Program Studi (Prodi). Mereka umumnya tidak setuju karena akan menghilangkan esensi perguruan tinggi yang mestinya melahirkan insan kritis dan berpikir, bukan robot-robot pekerja yang disyaratkan dunia usaha atau industri pada kampus-kampus tanah air.
Marginal
Namun para tamatan dari rumpun ilmu humaniora justru mengalami peminggiran sistemis. Marginalnya para lulusan humaniora tersebab belum adanya keberanian bahkan kreativitas menyelaraskan outcome lulusan mereka dengan realitas DUDI.
ADVERTISEMENT
Jadi tak heran suara-suara ketidaksetujuan skripsi diganti dengan objek lain yang mewujud atau terpakai dalam DUDI berasal dari kalangan ini. Keselarasan apa yang dapat diraih mahasiswa sejarah, sastra, linguistik, seni, atau mereka yang ada dalam rumpun humaniora dengan DUDI? Oleh karena itu, skripsi sebagai syarat lulus tetap mereka pertahankan sebagai "domain ego" dari insan humaniora ini.
Prodi-prodi rumpun humaniora masih terjebak pada tuntutan output, berupa nilai akhir perkuliahan. Oleh karena itu, kuliah di kelas yang mempertemukan dosen-mahasiswa secara luring (tatap-muka) masih andalan para dosen dari rumpun humaniora. Sulit bagi mereka menerapkan sistem perkuliahan berbasis proyek seperti halnya prodi di rumpun teknik, atau studi kasus di kalangan akademik kedokteran.
Sementara DUDI menilai mahasiswa berdasarkan pengalaman semi-profesional mereka sebagaimana terdapat dalam paket MBKM, seperti magang bersertifikat, proyek membangun desa, atau proyek independen yang sifatnya multi-disiplin. Artinya, para dosen humaniora masih kebingungan bagaimana menyusun kurikulum berbasis outcome yang cuma dapat diraih bila menjalankan sistem perkuliahan project based-learning (PBL) dan case method.
ADVERTISEMENT
Tanpa ada keberanian dan inovatif di kalangan insan keilmuan humaniora terhadap kuatnya pengaruh DUDI dalam perspektif masyarakat, maka posisi mereka akan terus marginal, termasuk pembaruan paradigma melihat posisi skripsi dalam struktur kurikulum mereka.
Peminggiran mereka tak saja secara sistemis (baca: ketidakpedulian pemerintah pada pengembangan ilmu ini), juga oleh kemalasan berinovasi kecuali berlindung dalam paradigma pedagogis lama; bahwa tanpa ilmu mereka dunia ini akan kacau!
S1 Mencari Pengalaman
Mahasiswa pada tingkatan strata 1 cenderung mencari pengalaman menemukan jati diri mereka. Maka dari itu mereka memerlukan keluasan pengetahuan yang diberikan satu bidang ilmu. Jadi tak heran pula bila pada struktur kurikulum, mata kuliah mahasiswa S1 dikonstruksi beragam, mulai yang filosofis sampai teknis.
ADVERTISEMENT
Sesuai aturan kementerian bidang pendidikan tinggi. Seorang mahasiswa strata 1 dinyatakan lulus bila telah menyelesaikan mata kuliahnya minimal 143-144 sks. Jumlah itu sudah termasuk skripsi sebanyak 6 sks.
Beberapa prodi memecah 6 sks ini menjadi 1 sks ujian proposal, 1 sks seminar hasil, dan 4 sks kompre atau ujian skripsi. Bila kita bandingkan jumlah sks keseluruhan dan skripsi atau tugas akhir, maka skripsi sebenarnya tidak mengambil porsi terbesar dari struktur kurikulum.
Jadi apa yang dikhawatirkan bila tugas akhir skripsi tak lagi menjadi syarat lulus di kampus?
Selama ini orang tua mahasiswa selalu heran dengan perbandingan, bila anaknya mampu menyelesaikan 137 sks dalam jangka waktu 3,5 tahun. Lantas skripsi yang cuma 6 sks maksimal dan ditawarkan 1 semester kok bisa selesai dalam jangka waktu 1-3 tahun? Bahkan mahasiswa DO umumnya terjadi karena tidak dapat menyelesaikan skripsinya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, proses penulisan skripsi penuh drama antara dosen dan mahasiswa. Kita sama-sama tahu seperti apa jalinan plot cerita keduanya, sehingga sampai penandatanganan terakhir draf skripsi oleh dosen pembimbing. Tak jarang proses itu kadang berujung pada ranah pidana, seperti pelecehan seksual, kekerasan, dan sebagainya.
Persoalan penting proses pendidikan tinggi di Indonesia semestinya tak lagi soal dualisme tuntutan DUDI, dan idealisme keilmuan yang dimuarakan pada persoalan skripsi sebagai syarat kelulusan di S1. Apa pun bidang ilmu yang akan dipilih seseorang mahasiswa, keberadaan mereka pasca tamat sesungguhnya sangat diperlukan masyarakat kita untuk membangun negeri ini di berbagai lapangan kehidupan.
Dengan demikian, sudah saatnya pemerintah tak lagi membangun narasi kekuasaan yang menganakemaskan ilmu-ilmu eksak, dan menganaktirikan studi sosial-humaniora. Ibarat perjalanan menuju cita-cita dan janji-janji Proklamasi 17 Agustus 1945, tak cuma satu rute saja yang dapat ditempuh bangsa ini. Ada banyak.
ADVERTISEMENT
Setiap pilihan akan memberikan pengalaman berbeda terhadap mahasiswa kita, yang nantinya akan membentuk karakter khas apa yang disebut Generasi Unggul Indonesia.