Menunggu Negarawan

Yudhi Andoni
Sejarawan. Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
Konten dari Pengguna
14 Agustus 2023 13:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hitungan KPU (Komisi Pemilihan Umum) kita memasuki sepertengahan tahun Pemilihan Umum (pemilu) serentak, tepatnya pada 14 Februari 2024 mendatang. Artinya bulan-bulan ke depan rakyat akan menerima berbagai informasi mengejutkan, menegangkan, dan kemarahan.
ADVERTISEMENT
Saat ini di tingkat nasional parpol pemilik suara di Senayan maupun yang baru tidak lagi berada pada pusaran ketidakjelasan. Mereka sudah merapat ke arah tiga kisar calon presiden. Terdapat rumus bersama di kalangan pimpinan parpol bila suara partai akan meningkat seiring dukungan mereka pada salah satu dari tiga calon presiden yang ada: Anies, Prabowo, atau Ganjar.
Pada saat bersamaan di aras lokal, calon kepala daerah tengah kasak-kusuk ke berbagai partai. Mereka juga menghitung peluang dengan berpegang pada siapa calon presiden yang diusung parpol. Pemilu serentak 2024 akan datang tampak serempak, segerbong dengan kepentingan oligarki yang diwakili pimpinan parpol di Jakarta.

Harapan

Negosiasi, transaksi, dan intimidasi yang saat ini didramakan di depan rakyat tidak menyisakan harapan sama sekali. Apa yang bisa diharapkan rakyat yang tidak mendengarkan apa pun pernyataan soal masa depan mereka?
ADVERTISEMENT
Siapakah dari tiga capres yang memberikan rencana besarnya membawa rakyat pada perubahan dunia luar biasa dalam 5-10 tahun ke depan? Kecuali siapa wakil presiden dan partai apa yang akan mendukung mereka? Kecuali bahwa partai-partai sibuk menghitung suara yang akan mereka dapatkan, uang yang dikeluarkan, dan berapa yang akan kembali?
Realitas politik kita ini sejalan dengan teori ilmu politik klasik Harold Laswell pada awal abad ke-20 lalu (1936): Who Gets What, When, How. Kenyataan tersebut tak semata melukai hati rakyat, tapi lebih dalam. Perilaku politisi itu nyata menikam asa rakyat di tengah impitan kehidupan yang tak terperikan.

Negarawan

Menunggu datangnya negarawan di hari-hari depan pasca rezim Jokowi ibarat menimba air di sumur kering. Pencarian itu mungkin sudah salah tempat dari awal. Catatan sejarah mana yang menulis bila politisi dapat menaik menjadi seorang negarawan di negeri ini?
ADVERTISEMENT
Jalan menjadi negarawan pupus kala kepentingan politik partai mendahului hajat orang banyak pasca kembalinya Indonesia ke bentuk Republik menggantikan RIS (Republik Indonesia Serikat) di tahun 1950an. Pasca RIS tahun 1950 debat soal sistem pemerintahan mendominasi wacana politik kala itu.
Mereka mendebatkan soal sistem Presidensial atau Parlementer. Namun debat itu sarat kepentingan partai politik. Perdebatan itu sendiri bertitik kisar pada dua haluan wacana; wakil presiden murni dalam sistem presidensial, atau rangkap jabatan wakil presiden sebagai perdana menteri.
Pertengkaran pimpinan parpol pada dua kisaran kepentingan itu tersebab mendudukkan posisi Bung Hatta kala itu. Bagi partai-partai nasionalis yang diwakili PNI menginginkan Wakil Presiden Bung Hatta tetap sebagai pembantu presiden, dengan sistem parlementer. Artinya presiden dan wakil presiden sebatas kepala negara yang memayungi perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Sementara Masyumi merujuk pada kabinet yang jatuh bangun sebelumnya, terutama masa pemerintahan Sjahrir ketika Dwi-Tunggal Sukarno-Hatta menjadi pendukung utama pemerintahan sehingga relatif stabil kala menghadapi tekanan militer Belanda sepanjang periode 1945-1947. Mereka ingin wakil presiden jadi kepala pemerintahan, namun bertanggung jawab pada DPR, bukan pada presiden.
Foto Bung Hatta kala menjadi pimpinan pergerakan. Foto Commons Wikimedia.
Bung Hatta yang menjadi pusat di kisaran debat itu minta semua pimpinan parpol tidak memikirkan kepentingan diri sendiri. Ia mengarifi debat meski seakan memikirkan posisinya, tapi di balik itu sarat hitung-hitungan politik jangka pendek.
Jangan mentang-mentang (ojo dumeh) petugas partai yang lagi berkuasa lantas bersilantas angan. Seakan negeri ini milik kelompok mereka. Jadinya semua ukuran kesuksesan, kepentingan bangsa, dan kebenaran menjadi hak mutlak kelompok mereka menafsirkan serta menyebarkannya ke dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kalau hari mendatang ketika pemerintahan telah terbentuk pasca Pemilu 2024 diisi para utusan partai pendukung calon presiden sekarang. Alamat sulit sejarawan mencari dan menulis siapa negarawan yang ada dalam periode itu.
Realitas itu dengan sinis telah diingatkan Bung Hatta 45 tahun lalu: “Itulah akibatnya kalau kita mempunya menteri atau pemimpin yang lebih condong ke sifat partijman dan kurang bersifat staatsman”. Sungguh menyedihkan!