Konten dari Pengguna

Nasib Angkot Padang

Yudhi Andoni
Sejarawan. Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
29 Agustus 2023 11:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto angkot Padang. Foto dokumentasi penulis.
zoom-in-whitePerbesar
Foto angkot Padang. Foto dokumentasi penulis.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun lalu Angkutan Kota (Angkot) dari Kota Padang, Sumbar, viral di berbagai media tanah air. Para sopir Angkot Padang mendesain angkutannya agar “ramah” untuk kalangan gaul kota, seperti siswa/siswi SMA sampai mahasiswa/i.
ADVERTISEMENT
Para sopir rela menghabiskan uang ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah untuk biaya memodifikasi angkot mereka laiknya ruang karaoke, minus mik buat bernyanyi penumpangnya. Para penumpang merasakan sensasi musik keras, lampu kedap-kedip, tivi lcd kecil, plus pengemudian angkot yang ugal-ugalan.
Saban pagi atau pada jam-jam pulang sekolah Angkot Padang menjadikan jalan raya sebagai arena balapan demi memburu penyewa yang telah menunggu mereka di tepian jalan.
Seorang teman dari Bandung kala itu rela-relaan berkunjung ke Padang demi merasakan sensasi angkotnya. Setelah naik ia tertawa senang dan bercerita dengan bangga ke kawan-kawannya setelah balik ke Bandung. Ia janji akan kembali ke Padang merasakan angkotnya yang bak naik halilintar; memekakkan sekaligus sensasional.

Digilas

Saat ini Angkot Padang digilas zaman. Pada beberapa tempat di tepi jalan, banyak “bertebaran” rongsokan Angkot Padang di tinggal pemilik atau sopirnya. Kalaupun masih ada yang laik mencari penumpang, Angkot itu sudah tampak tertatih-tatih di jalanan. Tak lagi sangar!
ADVERTISEMENT
Bila dulu Angkot Padang “milik” anak-anak gaul, dijauhi mak-mak. Kebalikan sekarang, mak-mak malah tampak ramai naik Angkot Padang yang masih menyisakan reruntuhan kejayaannya dulu. Sementara para penumpang lama Angkot Padang memiliki mainan baru dengan menjadi begal jalanan melalui motor rental atau modis mereka.
Para “sopir oyak”, sebutan sopir Angkot Padang semi-informal, telah merusak citra Angkot Padang. Mereka sebenarnya belum ada izin mengemudi, SIM, namun telah diizinkan si sopir resmi mengemudikan Angkot sehingga sering terjadi tabrakan. Mereka inilah umumnya penarik orang merasakan “ajaibnya” menaiki Angkot Padang.
Sopir Oyak yang bagak, atau berani akan dicari penumpang anak-anak ABG itu. Mereka akan mendapat peringkat “sopir dunia-akhirat”. Hebat di dunia, tapi dekat ke akhirat.
ADVERTISEMENT
Informasi tabrakan atau penumpang jatuh dari Angkot Padang yang gaul itu menjadi konsumsi publik sehari-hari warga-kota sehingga melahirkan banyak kecaman. Pemerintah kota melalui dinas perhubungan beserta kepolisian kota, telah berkali-kali melakukan razia, namun bagaimana cendawan di musim hujan. Para Sopir Oyak menggunakan rumus James Bond dengan istilah Die Another Day; sulit diberantas.
Dua tahun terakhir Angkot Padang makin merana. Ia tak lagi jadi raja jalanan yang diburu penumpangnya. Saat ini pemerintah kota mengenalkan transportasi publik bernama Trans-Padang.
Trans-Padang menjadi idola baru warga kota, mulai dari kalangan anak-anak sampai mak-mak. Trans-Padang yang santun, tenang, dan murah membuatnya jadi favorit warga kota.

Meng-Oyak Kebebasan

Ilustrasi Angkot Foto: Arif Firmansyah/ANTARA
Sopir Oyak tak kita temukan tengah mengemudikan Trans-Padang sekarang. Tapi para sopir Trans-Padang bisa jadi Sopir Oyak yang telah dewasa dan menemukan jalan hijrahnya.
ADVERTISEMENT
Namun perilaku Sopir Oyak di jalanan Kota Padang rentang 5 tahun lalu itu tak ubahnya dengan para pemuda Indonesia yang mendengar Pemerintah Kolonial Belanda telah takluk pada tahun 1942 lalu.
Setelah kekalahan tentara kolonial Belanda pada 1942, yang diikuti ribuan orang kulit putih digiring ke berbagai penjara di kota-kota, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makasar, Medan, Padang, dan lain-lain. Segenap elemen pemuda kota yang dulu disebut bandit segera mengoyak apa yang selama ini jadi simbol kolonialisme.
Mereka segera membuka pintu-pintu taman kota yang selama ini mereka dilarang dengan plang besar berbunyi, pribumi dan monyet dilarang masuk. Para parewa atau pengangguran kota itu menyerbu segala fasilitas yang disediakan taman-taman kota yang dibangun pemerintah kolonial.
ADVERTISEMENT
Sebagian lain menyetop trem, menaikinya, dan duduk di kelas utama. Ruang penumpang yang sebelumnya hanya diisi kaum kulit putih Eropa. Bagi mereka inilah makna dari kemerdekaan.
Gambar trem di Batavia masa kolonial. Foto Commons Wikimedia.
Beberapa bulan setelah kekalahan itu, kemerdekaan yang selama ini didengungkan para pemimpin pergerakan diartikan dengan ekspresi kebebasan menguasai apa yang selama ini dianggap kolonial. Bahkan sebagian pemuda yang tak bisa mengemudikan mobil atau trem, mencobanya untuk pertama kali.
Alhasil dalam sejarah jalanan di Indonesia pasca kolonial, masa itulah masyarakat menyaksikan “asyik” dan “kerennya” kebut-kebutan di jalanan. Apa lagi, masa kolonial jalanan bersifat eksklusif.
Artinya jalanan besar, bagus, dan tertata di kota-kota bukanlah lintasan yang diizinkan untuk para pejalan kaki pribumi. Pemerintah kolonial Belanda bahkan membuat aturan soal jalan raya untuk para pribumi.
ADVERTISEMENT
Tradisi jalanan kita adalah warisan sekaligus pengetahuan satu-satunya tempat berekspresi kebebasan tanpa takut. Kita terlalu lama berdendam pada jalan-jalan yang mencemooh kebodohan kita sebagai orang tertindas, papah, dan bodoh.
Maka menguasai jalanan berarti kemenangan. Kemenangan atas penindasan dalam arti apa pun, tak terkecuali mulut mak-mak yang belok kanan tapi sen kiri.