Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pak Mahfud MD, Dengarlah Para Eksil Itu!
24 Agustus 2023 9:06 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD , mengirim sinyal penting yang ditunggu para eksil selama ini. Selama puluhan tahun mereka menderita di luar negeri tersebab dendam negara pada mereka.
ADVERTISEMENT
Kini Manfud MD direncanakan akan menemui mereka, dan menawarkan beberapa pilihan. Apapun pilihan itu merupakan bahasa lain dari permintaan maaf dari yang selama ini mereka tunggu dari pemerintah.
Dari 1965-Reformasi
Setidaknya ada dua alasan kaum eksil meninggalkan Indonesia sejak Peristiwa ’65 sampai Reformasi ’98. Mereka yang dibuang oleh negara, atau sekelompok orang yang membuang diri dari negara. Keduanya memiliki kesamaan, sama-sama mengalami kekerasan dan trauma atas peristiwa sejarah yang melingkupi mereka.
Mereka yang dibuang negara umumnya berasal dari kelompok yang kalah secara politis. Perubahan politik tanah air yang terjadi sepanjang kurun 1965 sampai tumbangnya Orde Baru (1998) turut memberi pengaruh buruk atas diri, keluarga, dan kelompok mereka.
Kelompok pertama ini yang paling terkenal adalah eksil yang berasal dari Peristiwa G30S/1965. Mereka “dibuang” negara karena diindikasikan terlibat dalam pembunuhan jenderal Angkatan Darat (AD), dan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Sukarno.
ADVERTISEMENT
Suharto dengan dukungan AD pada pertengahan tahun 1960-an mencoba menggusur PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai salah satu pondasi kekuasaan Presiden Sukarno. Pasca keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966, Soeharto memberangus PKI dan para pendukungnya.
Penghancuran PKI dan elemen pendukungnya menjadi sebuah gerakan masif, terstruktur, dan sistematis oleh pemerintah Orde Baru. Mereka yang dianggap komunis ditangkap, dan dijebloskan ke dalam penjara. Sementara mereka yang awalnya diutus Pemerintah Sukarno belajar ke negara-negara komunis dilarang kembali karena akan menghidupkan kembali PKI.
Pelarangan kembali itu telah menganiaya mereka yang sesungguhnya menjadi duta resmi negara. Tidak semua dari mereka adalah komunis, meski belajar di negara-negara sosialis. Namun negara kala itu telah menstigmatisasi mereka sebagai pendukung komunis, PKI, bahkan Sukarnois yang dicurigai sangat Marxist.
ADVERTISEMENT
Parahnya lagi keluarga para eksil itu di tanah air mendapat perlakuan diskriminasi. Mereka sebagian mesti menjalani Bersih Lingkungan, semacam “vaksinasi” nilai-nilai Pancasila a la Orde. Mereka pun diskrining mental sebagai usaha memutus hubungan emosional dengan sanaknya yang “dikomuniskan” pemerintah.
Sementara mereka yang membuang diri dari negara adalah para turunan Tionghoa yang terancam jiwa dan harta mereka pada Kerusuhan Mei 1998. Para warga keturunan itu pergi meninggalkan Indonesia karena luapan kebencian pribumi dan lemahnya kehadiran negara melindungi mereka sebagai warga negara.
Bagaimanapun para warga keturunan Tionghoa itu tetaplah warga-negara Indonesia asli. Sebagian besar dari mereka telah lahir, dan beranak-pinak di Indonesia. Mereka pun memilih menjadi WNI pasca keluarnya UU Kewarganegaraan tahun 1958. Realitas itu menguji apakah Indonesia siap menerima mereka sebagai warga-negara?
ADVERTISEMENT
Pasca Kerusuhan Mei 1998, banyak warga keturunan Tionghoa yang eksodus ke berbagai negara, seperti Singapura, Belanda, Amerika, bahkan ke China. Mereka rerata takut kembali, tapi rindu untuk pulang.
Dengarkanlah!
Mereka takut karena masih terbayang di depan mata mereka kerusuhan yang membakar, menjarah, dan memukuli mereka tanpa tahu apa alasannya. Anak-anak perempuannya dalam temuan Komnas HAM menderita trauma mendalam karena perkosaan disertai kekejian luar biasa. Sampai hari ini, pemerintah cenderung ibarat awan berarak petang, bakcando hari akan hujan.
Para eksil itu jelas warga negara yang hilang. Sebagian besar dari mereka telah sepuh, atau tinggal ingatan. Bagi mereka yang masih hidup tentu berharap pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD mendengar kisah mereka.
ADVERTISEMENT
Setelah sekian lama menderita di negeri orang. Orang yang tidak memiliki identitas kenegaraan sehingga sangat rentan mengalami kekerasan di luar sana. Mereka pertama kali ingin didengarkan. Didengarkan oleh negara. Jadi, dengarkanlah Pak Mahfud.