Politik Luar Negeri Bebas Aktif dalam Bipolar Dunia

Yudhi Andoni
Sejarawan. Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
Konten dari Pengguna
12 September 2023 10:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Politik bebas-aktif sebagai haluan pergerakan Indonesia dalam kancah dunia internasional terus dimainkan pemerintah selama 10 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Kondisi bipolar dunia, situasi masyarakat internasional yang naik turun, kadang adem-ayem, namun sering kali menaik dengan tensi tinggi membuat pemerintah mesti berhati-hati menempatkan diri dalam pergaulan internasional itu.
Saat ini Indonesia tidak perlu melarutkan diri pada kancah konfrontasi dalam blok-blok negara yang hendak menguasai dunia. Peran Indonesia sebagai ujung tombak perdamaian dunia sebagaimana amanat konstitusi hanya dapat berjalan pada rel politik bebas dan aktif.

Ganyang

Ilustrasi konfrontasi Indonesia vs Malaysia tahun 1960an. Foto Shutterstock.
Pada masa Presiden Sukarno Indonesia pernah terlibat dalam seteru panas dengan negara jiran dalam kebijakan “Ganyang Malaysia” atau pembentukan poros Jakarta-Hanoi-Peking. Sebuah poros yang mencoba menyaingi Amerika dan sekutu Baratnya dalam perlombaan menguasai dunia internasional.
Sejak tahun 1960 Indonesia menjadi “pemain baru” yang cukup diperhitungkan dunia internasional. Blok Barat yang diwakili AS dan negara Eropa kala itu berebut pengaruh di negara-negara baru merdeka di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan poros Komunis yang direpresentasikan Uni Soviet (Rusia), dan China.
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai negara baru merdeka dengan luas dan jumlah penduduk salah satu yang terbesar menjadi ajang pengaruh kedua kelompok. Dan Presiden Sukarno dengan flamboyannya “memainkan kartu truf” itu guna menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara berpengaruh.
Faktor geopolitik dalam dan luar negeri itu membuat Sukarno dapat melenggang memasuki pusat-pusat kekuasaan negara adidaya. Ia menjadi tamu JFK di Gedung Putih. Nikita Khruschev, pimpinan Kremlin, Uni Soviet, bahkan konon sempat kelimpungan kala Sukarno tidak mau mengunjungi negaranya kecuali menemukan makam Imam Bukhari, seorang periwayat Hadith Nabi terkenal. Ketua Mao di Peking tak pula mau ketinggalan mengundang Sukarno sebagai upaya mendekatkan Indonesia ke “kelompok Peking” ketimbang Barat atau Uni Soviet.
Besarnya minat negara-negara adidaya pada Indonesia membuat Presiden Sukarno “makin di depan” menyejajarkan diri dengan para pemimpin dunia tersebut. Ia pun melaju dengan gebrakan politik internasionalnya yang membikin berang musuh-musuhnya, namun membawa sorak-sorai pendukungnya di luar dan dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Pada bulan September 1961, Presiden Sukarno menyerukan pentingnya satu blok baru sebagai penyeimbang dua kekuatan adidaya dunia; Barat (Sekutu) dan Uni Soviet. Ia menyebutnya dengan NEFOS (Newly Emerging Forces), atau Kekuatan yang Baru Muncul. NEFOS kemudian mendapat banyak simpati dari berbagai negara dari dunia ketiga. Secara resmi NEFOS beranggota Indonesia, RRC, Kamboja, Vietnam Utara, dan Korea Utara.
Pada masa kejayaannya, Presiden Sukarno menggunakan NEFOS sebagai daya tawar politik Indonesia di kancah internasional. NEFOS berkembang menjadi “agen dunia” baru yang membawa ketakutan negara-negara Barat, termasuk Uni Soviet. Bersama negara-negara anggota NEFOS Presiden Sukarno laju dengan gebrakan mengguncang dunia.
Pada pertengahan bulan November 1963 NEFOS mengadakan iven olahraga antar-dunia, dan bertujuan mengganti perhelatan Olimpiade. NEFOS berhasil mengundang hampir 3000 atlet dari 50 lebih negara sahabat berlaga di Jakarta kala itu dalam helat GANEFO (Games of New Emerging Forces), Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang. Keberhasilan Indonesia itu makin membuat negara Barat waswas dengan kekuatan yang dibangun Presiden Sukarno dan NEFOS.
ADVERTISEMENT
Tak berapa lama pasca pembentukkan NEFOS, “blok baru” ini mendapat ujiannya yang pertama. NEFOS sebagai salah satu kekuatan yang anti-Nekolim (Neo-kolonialisme dan imperialisme) diuji dengan kengototan Inggris mengintervensi pembentukan Malaysia. Campur tangan Inggris dan Barat ini membuat Bung Besar murka. Apatah lagi tak lama pasca pembentukannya, Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Indonesia menyatakan keluar dari PBB pada 1965. Pada 7 Januari 1965 Indonesia bersama RRC, Korea Utara, dan Vietnam Utara mengadakan CONEFO (Conference of The New Emerging Forces) sebagai tandingan PBB. Namun beberapa bulan kemudian Indonesia mengalami serangkaian tragedi politik paling buruk dalam sejarahnya, dan tak lama kemudian Presiden Sukarno jatuh dari tampuk kekuasaannya.

Bebas dan aktif

Ilustrasi sidang KNIP 16 Oktober 1945. Foto Osman Ralliby/Commons Wikimedia.
Kebebasan dan keaktifan Indonesia dalam forum internasional merupakan salah satu haluan kebijakan negara yang sesuai amanat Konstitusi. Bung Hatta dalam satu pandangannya kala memimpin pemerintahan menegaskan bila politik luar negeri Indonesia bukanlah politik netral.
ADVERTISEMENT
Indonesia mengandung politik bebas dan aktif. Bung Hatta selaku pemerintah dalam sidang Badan Kerja KNIP pada 2 September 1948 menjelaskan posisi politik bebas Indonesia terkait tarik menarik negara-negara baru dalam dua kelompok; pro-Amerika dan pro-Rusia.
ADVERTISEMENT
Atas dasar dan prinsip Politik Bebas ini Indonesia sebut Bung Hatta, Indonesia aktif dalam usaha memperjuangkan perdamaian dunia. Perdamaian yang secara ideologis “bersandar pada Pantjasila, materiil pada kekajaan alam dan bumi Indonesia, serta kebutuhan Rakjat Indonesia. Demikian Bung Hatta lebih lanjut menulis dalam Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, 1984.