Tak Ada Tuyul di Minangkabau

Yudhi Andoni
Sejarawan. Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
Konten dari Pengguna
16 September 2023 15:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Tuyul. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tuyul. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tak ada tuyul, hantu gundul cebol, di ranah Minangkabau. Demikian seorang tetua di pedalaman Minangkabau menyampaikan. Ia menuturkan hal menarik soal ensiklopedia hantu-hantu di ranah ini.
ADVERTISEMENT
Tuyul adalah fenomena kehantuan baru yang masuk dalam kosa-istilah perdukunan di tanah Tuanku Imam Bonjol itu. Kata-kata ini mengikuti apa yang ada di Jawa. Kalau ada orang yang kehilangan uang tak seberapa, tapi rutin maka mereka merujuk itu sebagai kerjanya si tuyul.
Kerja siluman lain para pencuri harta adalah babi ngepet. Sama halnya dengan tuyul, orang Minang juga tak mengenal kata “babi ngepet”. Binatang jejadian yang mereka tahu adalah Cindaku. Cindaku adalah manusia harimau jejadian.
Secara garis besar hantu-hantu atau makhluk mitologis dalam masyarakat Jawa terkait dengan permasalahan ekonomi. Tuyul, babi ngepet, Nyai Blorong, dan pesugihan lain terkait dengan urusan uang, emas, atau beras.
Hantu lain dalam masyarakat Jawa adalah siluman atau makhluk gaib yang dianggap penguasa laut, darat, dan langit. Makhluk gaib paling terkenal adalah Nyai Ratu Kidul sang penguasa laut selatan. Keberadaan Nyai Ratu Kidul sangat lekat dengan mitos hubungan keraton Mataram dengan Laut Selatan.
ADVERTISEMENT
Konon untuk mendirikan Kerajaan Mataram Islam, Senopati, raja pertama kesultanan ini, bersedia menikah gaib dengan Nyai Ratu Kidul agar membantunya mengalahkan Kerajaan Pajang kala itu.
Atas kesediaan Nyai Ratu Kidul menikahi Senopati inilah ribuan tentara jin dari laut selatan mengobrak-abrik tentara Pajang dan mengalahkan Sultan Hadiwijaya yang sakti. Kekalahan Sultan Hadiwijaya membuat Senopati mendirikan kesultanan Mataram Islam pada abad ke-16 Masehi.
Kembali pada ensiklopedia hantu di ranah Minang, praktik “gaib”/ mistis paling terkenal dalam masyarakat etnis ini adalah Palasik dan Gasing Tengkorak. Keduanya masuk ke dalam rumpun ilmu gaib “kuno” dan “mudo”/muda.
Palasik satu rumpun dengan sijundai atau sibunian. Mereka masuk ke dalam rumpun dunia gaib kuno. Kuno dalam konteks ini adalah hantu atau siluman yang berasal dari masa tanah la-silam, sekitar seribu tahun lalu, atau lebih lama dari itu.
ADVERTISEMENT
Palasik, sijundai, dan sibunian konon telah menghuni ranah Minang semenjak negeri ini masih dihuni hutan-hutan larangan dan lautan-lautan sati nan bertuah.
Palasik mengambil tempat pada pemukiman warga. Konon palasik muncul karena adanya perjanjian darah nenek moyang mereka yang ingin sakti, dan berumur panjang. Namun syarat awal untuk jadi palasik adalah mengorbankan salah seorang anak atau istrinya ke sijundai atau jin jahat yang mau mereka bersekutu.
Palasik mesti diwariskan ke anak laki-laki. Bila si palasik tak ada pewaris maka ia akan menderita tak mati-mati sampai ada yang mau menerima warisnya. Ciri khusus dari seorang palasik adalah ketiadaan lekuk atau bandar di antara bibir atas dan bawah hidung. Palasik umumnya punya hasrat yang kuat pada bayi di bawah 1 tahun.
ADVERTISEMENT
Dulu para bayi yang dibawa orang tuanya ke pasar selalu menangis keras, dan tak lama kemudian sakit dengan tubuh layu dan malas makan. Kalau sudah begitu orang-orang menganggap anak ini telah diisap darahnya oleh palasik di pasar tadi. Untuk dapat kembali sehat sedia kala, orang tua bayi pergi ke palasik lain atau dukun lain meminta obat penangkal.
Ilustrasi perempuan lama Minangkabau memakai Tingkuluk. Foto Commons WIkimedia.
Saya sendiri pernah berhubungan dengan palasik ini. Kala itu anak kedua kami setelah umur beberapa bulan, diajak eteknya (bibinya) menemui seorang dukun perempuan yang ternyata seorang palasik.
Awalnya saya keberatan pergi ke dukun ini. Tapi karena keras desakan keluarga akhirnya saya menurut juga dan bertemu Mak Itam, seorang palasik yang dikenal oleh orang-orang tertentu.
ADVERTISEMENT
“Mak Itam ini kalau kita sodorkan anak, dan bilang tolonglah cucu Mak ini. Maka palasiknya tidak akan jalan. Anak akan menangis. Umurnya sudah lebih 100 tahun. Lihat sajalah!” sebut Etek anak saya ketika dia merasa saya masih keberatan membawa anak ke Mak Itam.
Satu hari kami pun berangkat ke rumah Mak Itam si palasik. Kami bertamu kala itu pada sore hari. Ia tampak tengah membersihkan halaman rumahnya. Ia bertumbuh bungkuk dengan baju lusuh dan kepala bertutup tingkuluk, atau selendang kumal. Setelah menjawab salam, akhirnya saya tahu dia itu muslimah, kami pun diminta masuk ke dalam.
Etek anak saya segera mengutarakan maksudnya, yakni membuat penangkal palasik. Ketika mereka bicara penulis perhatikan lekukan di bawah hidung Mak Itam. Tak ada lekukan kecil yang biasanya dimiliki orang biasa.
ADVERTISEMENT
Sepertinya Mak Itam tahu ia saya perhatikan. Suaranya yang berat seperti laki-laki mengagetkan penulis ketika menegur penulis dan bercerita soal dirinya yang Palasik.
Tanpa kuatir Mak Itam mengisahkan kalau kepandaian dia membuat penangkal Palasik turun dari ayahnya. Ayahnya kala itu tak memiliki anak lelaki yang dapat mewariskan ilmunya. Telah lama ia sakit keras dan menderita sekali, bilang Mak Itam.
“Sudah dokter Belanda yang obati ayah saya. Tapi mereka tak tahu apa sakit ayah saya, jadinya kami bawa pulang lagi,” kisah Mak Itam. Atas pengakuan ayahnya, akhirnya dia terpaksa menerima warisan kuno nenek moyang mereka, mengobati anak-anak yang kena palasik katanya.
Ia kemudian masuk ke kamarnya yang tak semua orang boleh masuk. Mak Itam tidak berapa lama keluar lagi menenteng satu kalung dengan kepala uang kuno. Saya perhatikan uangnya berasal dari masa VOC. Ada simbol VOC di uang kecil berdiameter setengah senti meter. Kalung itu sendiri merupakan jalinan benang tiga warna.
ADVERTISEMENT
“Kalung ini kamu lingkarkan ke leher anak kecil itu! Jangan dilepas sampai ia terputus sendiri,” sebut Mak Itam ke saya. Saya ucapkan terima kasih dan menyodorkan sesuatu ke tangannya. Mak Itam mendengus dan pergi ke kamarnya.
“Amak tak pernah mau menerima sesuatu dari orang yang minta obat,” jelas anaknya tersenyum. Saya pun akhirnya menyerahkan sejumlah uang “ala kadarnya” sebagai ucapan terima kasih.
Kami pun kembali pulang dan mendengar sesayup suara orang berdendang dari suara kama Mak Itam. Suara itu seperti dengungan mantra-mantra kuno yang sesayup melafalkan kata-kata asing dan magis.
Beberapa tahun lalu, saya dengar Mak Itam telah berpulang. Konon seorang anak lelakinya yang mewariskan ilmu kunonya itu.