Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Tragedi 1965 dan Narasi Baru
23 September 2023 12:59 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Berbagai elemen masyarakat, termasuk lembaga sipil dan militer berupaya mengingatkan kembali generasi mereka sekaligus pewaris bangsa ini tentang kekejaman PKI. Salah satu pengingat akan kekejaman itu adalah pemutaran film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” karya Arifin C. Noer.
Film ini rilis pada 1984 dan diperankan Amoroso Katamsi, Umar Kayam, dan Syubah Asa. Pemerintah Orde Baru memutar film ini setiap malam 30 September, dan mewajibkan semua anak sekolah menontonnya.
Dampak terbesar film ini adalah kepercayaan masyarakat awam bahwa apa yang ditampilkan dalam adegan itu sebagai sesuatu yang nyata adanya. Sebuah fakta sejarah yang tak bisa disangkal!
Tragedi
Pasca kekalahan gerakan militer yang menamakan dirinya Gerakan 30 September (G30S ) dan kegagalan membentuk Dewan Revolusi sebagai institusi tertinggi menggantikan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) kala itu.
ADVERTISEMENT
Soeharto dan Angkatan Darat menyerukan kalau PKI dan antek-anteknyalah yang berada di belakang gerakan itu, terlepas bahwa pimpinan Dewan Revolusi bentukan G30S lebih banyak berisi petinggi militer, bukan partai yang diketuai DN Aidit.
Suharto dengan cerdik mendapatkan wewenang dari Presiden Sukarno untuk memulihkan keadaan pasca kudeta G30S cum Dewan Revolusi. Ia segera mengumumkan pembubaran PKI dan organisasi massa pendukungnya, serta menangkapi semua orang yang dianggap komunis atau sosialis pada pertengahan tahun 1966. Wewenang itu terkenal dengan nama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).
Pengejaran berdarah para pimpinan Dewan Revolusi dan petinggi PKI serta massa pendukung organisasi bawahannya, memulai serangkaian tragedi kemanusiaan di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa tempat anggota PKI dan ormasnya ditangkap, bahkan banyak dibunuh, termasuk para perempuan dan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan kawasan lain menjadi ladang pembantaian terhadap orang-orang komunis. Tentara dengan massa mendatangi kantor-kantor PKI, BTI, Gerwani, CGMI, dan serikat mereka.
Mereka membakar isi kantor dan mendatangi rumah-rumah petinggi kelompok Komunis itu. Konon tersebar daftar para anggota komunis ini sehingga menjelaskan kenapa begitu banyak korban sepanjang 1965-66 itu.
Periode 1965-1966 merupakan masa paling pahit bagi rakyat Indonesia. Era ini melahirkan tragedi pembantaian massal orang-orang Komunis maupun yang dianggap dekat dengan PKI.
Terdapat istilah di-PKI-kan untuk mereka yang kadang tidak ada sangkut-pautnya dengan partai pimpinan Aidit itu, tapi ia kebetulan tengah berkonflik dengan orang yang tengah berkuasa. Beberapa sejarawan memperkirakan 500 ribu sampai 1 juta jiwa terbunuh pasca kegagalan G30S/1965 itu.
ADVERTISEMENT
Keruntuhan rezim Sukarno pada 1967 menandai era baru, dan propaganda pada hantu komunis. Indonesia yang dulunya dekat dengan poros komunis melalui koneksi Jakarta-Hanoi-Peking, mulai memutar kiblat pada AS dan sekutunya dalam Perang Dingin dengan Uni Soviet.
Selama tiga dekade lebih Orde Baru mencoba menyetir ingatan dan mendoktrinisasi warga-negaranya dengan hantu PKI melalui berbagai cara yang sistematis, masif, dan terstruktur.
Narasi Baru
Orde Baru membentuk lembaga indoktrinasi negara bernama BP7, Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila pada 1979. BP7 bertanggung jawab menyelenggarakan berbagai program penguatan Pancasila sebagai ideologi negara sekaligus counter attack dari ideologi komunisme di Indonesia.
BP7 kemudian mewajibkan semua aparat negara tanpa terkecuali mengikuti penataran P4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. P4 juga diikuti para siswa dari jenjang sarjana sampai tertinggi. BP7 dan P4 menjadi sarana Orde Baru membentuk ingatan dan narasi atas hantu PKI dan bahaya laten komunisme.
ADVERTISEMENT
Kejatuhan Orde Baru dan masuknya era Reformasi banyak pihak menyerukan pembacaan ulang narasi sejarah Orde Baru atas apa yang terjadi pada 1965-66. Beberapa rekonstruksi ulang sejarah menjadi tak terelakkan. Suara-suara rehabilitasi anak-cucu komunis yang terdampak oleh politik Orde Baru mulai kedengaran.
Beberapa waktu lalu pemerintahan Jokowi mengadakan simposium tentang peristiwa 1965-1966 di Jakarta pada 18-19 April 2016. Simposium itu salah satunya disponsori oleh pemerintah dengan mengundang para korban dari pihak tentara (keluarga Pahlawan Revolusi) dan PKI-Gerwani. Namun simposium itu tidak meraih hasil yang memuaskan kedua belah pihak.
Meskipun demikian, baru-baru ini Menko Polhukam Mahfud MD menemui para eksil 1965 di berbagai negara pada akhir Agustus 2023 lalu. Mahfud MD menegaskan mereka tidak memiliki kesalahan apapun terhadap negara. Pemerintah Indonesia tegas Mahfud akan memberi jalan agar mereka kembali ke Indonesia sebagai warga-negara yang merdeka dan dijamin hak-haknya.
ADVERTISEMENT
Namun di balik usaha baik pemerintah itu, hal paling penting ke depan adalah membangun narasi sejarah baru tentang apa yang terjadi 1965-66. Generasi milenial dan generasi Z negeri ini perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi tanpa tendensi indoktrinasi. Jangan biarkan mereka menjadi takut dengan hantu-hantu masa lalu dari kakek atau neneknya dulu.
Anak-anak muda itu mesti dapat ruang untuk mengerti bahwa sejarah kita memang penuh air mata dan darah. Mereka mesti berusaha menerima semua itu sebagai pembelajaran pahit.
Sejarah pada lahirnya memang penuh tragedi yang memilukan hati, tapi pada zahirnya memberi hikmah pada setiap warga-negara agar belajar dari masa lalu. Generasi Indonesia tangguh adalah mereka yang tak pernah melupakan sejarahnya, dan tiada pula memupuk dendam agar beranak-pinak di masa datang.
ADVERTISEMENT