Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Wapres Pilihan
9 Agustus 2023 14:45 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Calon presiden (Capres) dalam Pemilu 2024 mengerucut pada Anies R. Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. Ketiganya mantap maju setelah mendapat dukungan partai politik yang memiliki minimal 20% suara di Parlemen. Meski pengumuman nama mereka sebagai Capres relatif telah lama, namun publik masih bertanya-tanya siapa calon pendamping mereka berlaga nanti.
ADVERTISEMENT
Nama-nama seperti Erich Tohir, Sandiaga Uno, Mahfud MD, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Yenny Wahid, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, Airlangga Hartarto, Andika Perkasa, dan beberapa tokoh nasional lain masuk dalam bursa calon wakil presiden (Cawapres) yang akan berlaga pada Pemilu 2024 mendatang. Meskipun nama-nama tersebut semarak digadang-gadang, namun sampai hari ini belum tampak adanya hilal penentuan siapa yang akan diusung tiga calon presiden di atas.
Tampaknya di belakang publik negosiasi dan transaksi penentuan Cawapres masih berlangsung alot antara partai-partai pendukung dan si Capres sendiri. Realitas itu menunjukkan Cawapres di Indonesia tidaklah penting, dan dikesankan pelengkap penderita dalam sistem presidensial kita.
Salah Pilih
Kenyataan bahwa Cawapres tidak sepaket langsung diumumkan menunjukkan sistem pemilihan kepresidenan kita seperti “Salah Pilih” seperti halnya kisah Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar. Salah Pilih merupakan roman terkenal di awal abad ke-20 yang mengisahkan percintaan Asri dan Asnah yang terhalang struktur dominan, dan kepentingan ambisius segelintir orang.
ADVERTISEMENT
Asri karena halangan tradisi tidak bisa menikahi Asnah yang sangat dicintainya padahal si gadis hanyalah anak angkat. Jadi secara norma agama tidaklah haram ia bersanding dengan Asnah. Namun ia akhirnya memilih bergandeng tangan di pelaminan dengan Saniah.
Saniah adalah pilihan sesuai dengan kesepakatan tradisi kolot kala itu. Namun Saniah bukanlah pendamping yang elok bagi Asri menjalani kehidupannya. Saniah seorang perempuan tinggi hati, sombong, dan suka sekali bertengkar dengan Asri. Rumah tangga Asri-Saniah bagaikan neraka dunia.
Asri sangat menyesal telah memilih Saniah yang dipilihkan tradisi dan orang-orang sekelilingnya yang ambisius. Tapi nasi sudah jadi bubur.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang akan dinahkodai pasangan presiden dan wakil presiden hasil Pemilu 2024 mendatang, kita tentu tak ingin ada dalam bara pertengkaran presiden dan wakilnya. Kalaupun tidak ada pertengkaran, ingin pula masyarakat bertanya-tanya apa sih kerjaan wakil presiden kecuali berfoto untuk dipajang di depan kelas atau ruang kepala pejabat?
ADVERTISEMENT
Ideal
Sejak masa Orde Baru, wakil presiden tak lain pendamping Suharto. Pencarian wakil presiden sejak rezim ini memang lebih rempong ketimbang presidennya. Sang Presidennya sudah jelas, karena ia cuma satu dan satu-satunya. Tampaknya pasca Reformasi pendulum sejarah kembali ke era empat atau lima dekade lalu. Wakil presiden tak lain sebagai “pagar ayu” si empunya alek (Minang: artinya pemilik acara), yakni presiden dan rezimnya (baca: Parpol pendukung dan relawan).
Apakah posisi wakil presiden di Indonesia tidaklah se-vital presiden? Seperti apa sejarah wakil presiden Indonesia di awal-awal pelaksanaan sistem pemerintahan kita?
Sesuai UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, pasal 4 soal kekuasaan pemerintahan negara, ayat 2, dibunyikan; “Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”. Namun dalam kenyataannya presiden dan wakil presiden menjalankan formula Dwi-Tunggal. Artinya presiden dan wakilnya satu tubuh yang menjalankan fungsi kepala pemerintahan.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya jiwa dan praktek Dwi Tunggal itu terutama berbentuk kebulatan kami berdua (presiden dan wakil presiden—pen) yang tidak tertulis dengan resmi…bahwa di dalam memimpin negara dalam revolusi dan perjuangan kemerdekaan, kebijaksanaan dan tindakan-tindakan senantiasa diambil dengan kebulatan kami berdua” (“Bung Hatta Menjawab”, 1979; 155-156).
Atas kebulatan berdua itulah, bahwa Presiden Sukarno akan mendukung apa yang jadi keputusan Bung Hatta sebagai wakilnya meski apa yang diputuskannya sangat krusial, Indonesia berhasil melalui hari-hari yang mendebarkan dalam sejarahnya. Dalam sejarah, keputusan Bung Hatta sebagai wakil presiden sangat menentukan jalannya sejarah negeri ini. Tanpa keputusan itu, yang merupakan inisiatif Bung Hatta tanpa meminta persetujuan Bung Karno sebagai presiden, barangkali Indonesia sudah terjun bebas ke arah otoriterian atau tirani.
ADVERTISEMENT
Salah satu keputusan krusial Bung Hatta sebagai wakil presiden adalah “Maklumat Wakil Presiden” No X tanggal 16 Oktober 1945 tentang perluasan wewenang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Maklumat itu menetapkan KNIP berfungsi sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan memiliki wewenang membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Keluarnya Maklumat Wapres ini menunjukkan besarnya kekuasaan Bung Hatta dalam mengubah sistem ketatanegaraan waktu itu, dan tanpa adanya keberatan sama sekali dari presiden bahkan elite politik kala itu.
Pada tanggal 3 November 1945 Bung Hatta menandatangani Maklumat Pemerintah tentang pendirian partai politik bagi semua rakyat Indonesia. Maklumat ini dapat dikatakan menganulir keinginan Presiden Sukarno agar hanya ada satu partai di Indonesia, yakni Partai Nasional Indonesia. Dampak luar biasa dari Maklumat Pemerintah itu adalah berdirinya berbagai partai politik sampai hari ini.
ADVERTISEMENT
Namun kebijakan paling krusial yang dibuat seorang wakil presiden dalam sejarah negeri ini adalah menjadi pimpinan penyerahan kekuasaan dari Belanda ke pemerintah Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus-2 November 1949. Kepiawaian dan keputusan Bung Hatta dalam KMB itu sangat menentukan masa depan Indonesia hari ini.
Tanpa keputusan Bung Hatta dalam KMB yang berbelit-belit dan sarat manipulasi dari Belanda itu, bisa jadi Indonesia masih dalam pertempuran melawan tentara Belanda yang didukung militer pemenang Perang Dunia II. Entah berapa ratus ribu akan melayang nyawa pemuda-pemudi Indonesia, dan besarnya kehancuran infrastruktur yang akan ditanggung Indonesia bila KMB akhirnya gagal.
Meskipun semua kebijakan seorang wakil presiden. Namun Presiden Sukarno mendukung penuh segala kebijakan Bung Hatta. Ia memposisikan Bung Hatta bukanlah bawahan atau pembantunya, tapi partner dalam menjalankan roda pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Sejarah yang menjadi mitos
Dwi-Tunggal Sukarno-Hatta telah menjadi mitos dalam penyelenggaraan negara. Dwi-Tunggal berhasil menjadi formula pemersatu orang-orang Jawa dan luar-Jawa melawan kolonial Belanda, tapi gagal berhadapan dengan kepentingan politik sesaat dari dalam negeri sendiri.
Dwi-Tunggal menjadi Dwi-Tanggal ketika berbagai kepentingan, terutama partai politik, mempengaruhi salah satunya. Setelah Dekrit Presiden dan Pembubaran Konstituante oleh Sukarno atas desakan tentara, partai politik, dan ormas, Dwi-Tunggal menjadi legenda yang tak pernah bisa kembali. Formula ini jadi reruntuhan sejarah yang sulit disatukan lagi.
Dampak kerubuhan bangunan Dwi-Tunggal menempatkan wakil presiden tak lain sebagai “pembantu”. Ia diperlukan kala dibutuhkan presiden. Bila tidak ia akan menjadi pajangan kenegaraan.
Kita perlu konsep Dwi-Tunggal dalam sistem kekuasaan kita. Konsep ini lebih keren dan maju ketimbang trias-politika yang sarat transaksional dan penyanderaan kekuasaan oleh legislatif.
ADVERTISEMENT
Indonesia adalah negara yang ditemu-ciptakan. Jadi sistem kekuasaan mestinya tidak berkiblat pada Barat sebagaimana konstitusi awal digagas sebagai pengejawantahan naluri melindungi seluruh rakyat Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial!
Dalam konteks inilah kita perlu sebuah amandemen baru. Amandemen yang menyatakan adanya konsep Dwi-Tunggal dalam penyelenggaraan negara kita.